Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Rabu, 25 Mei 2011

Al-Hikam-Maqolah 2c

Perpindahan dari maqom asbab (amal dhohir) kepada maqom tajrid (amal batin) itu seharusnya menampakkan bekas kepada anggota-anggota tubuh seorang hamba.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الْمُلُوْكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوْهَا
Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri niscaya mereka akan merusaknya. [S. an-Naml: 34]
Tampaknya bekas pada anggota-anggota tubuh setelah perpindahan ke amal batin inilah yang disebut dengan tajrid.
Menurut ahli tasawuf tajrid itu ada 3 macam:
1. Tajrid adl-dlohir
2. Taajrid al-batin
3. Tajrid adl-dhohir wal batin
Tajrid adl-dlohir adalah meninggalkan sebab-sebab dunia dan penghalang-penghalang jasmani.
Artinya meninggalkan setiap hal yang menyibukkan anggota tubuhnya dari ingat kepada Allah.
Tajrid al-Batin adalah meninggalkan ikatan-ikatan jiwa dan pengahlang-penghalang keingingan.
Artinya meninggalkan setiap hal yang menyibukkan hati dari kehadiran hatinya bersama Allah.
Tajrid adl-dlohir wal batin adalah meninggalkan ikatan-ikatan batin dan penghalang-penghalang jasmani.
Artinya menyendirikan hati dan tubuhnya hanya untuk Allah saja.
Tajrid adl-dhohir yang sempurna adalah dengan meninggalkan sebab-sebab dunia dan mengosongkan tubuh dari pakaian-pakaian yang umum.
Tajrid batin yang sempurna adalah dengan mengosongkan hati dari setiap sifat yang tercela.
Abu al-Hasan asy-Syadzili berkata:
Adab seseorang yang tajrid ada 4 yaitu:
1. Memulyakan orang yang lebih tua
2. Menyayangi orang yeng lebih muda
3. Menyadari (insaf) akan nafsunya
4. Tidak menuruti (menolong) nafsunya
Adab orang yang asbab ada 4 yaitu:
1. Menyayangi dan membantu orang-orang yang baik
2. Menjauhi orang-orang yang fajir (durhaka)
3. Mengerjakan shalat berjama’ah
4. Menyayangi orang-orang miskin
Bagi orang di maqom asbab hendaknya ia juga berusaha melakukan adab orang yang tajrid, karena akan menjadi kesempurnaan baginya.
Termasuk adab orang di maqom asbab adalah terus menerus (konsisten) melakukan pekerjaannya sampai Allah SWT memindahnya dari maqom asbab ke maqom tajrid.
Tandanya ada isyarat dari gurunya atau jika semua usaha (pekerjaan) yang ia lakukan sudah tidak menghasilkan. Maka barulah ia berpindah ke maqam tajrid.

Kesimpulan:
Sesungguhnya orang yang tajrid dan orang yang asbab adalah 2 pekerja Allah SWT, karena kedua-duanya dapat menghasilkan ibadah kepada Allah SWT.
Hal ini dapat diibaratkan seperti majikan yang punya 2 pembantu, maka ia berkata kepada salah satunya : “Bekerjalah lalu makanlah”, dan ia berkata kepada yang lainnya :”Tetaplah bersamaku nanti aku akan memberimu makan.”
Seseorang yang melakukan tajrid tanpa ijin dari Allah maka sebenarnya ia tetap dalam maqom sabab. Dan orang yang melakukan asbab dengan ijin Allah maka sebenarnya ia telah melakukan tajrid.

Kembali ke bagian 2a
Kembali ke bagian 2b

Al-Hikam-Maqolah 2b

Jadi setiap orang itu memiliki maqom (kedudukan) sendiri-sendiri yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Dan ia tidak dapat berpindah ke satu maqom ke maqom yang lain kecuali telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Jika seseorang tidak tahu apakah ia termasuk maqom asbab ataukah maqom tajrid maka hendaklah ia mencari guru yang soleh dan makrifat yang dapat menunjukkan atau menetapkan maqomnya di dunia ini.
Jika seseorang telah ditentukan oleh Allah di maqom asbab kemudian ia berpindah ke maqom tajrid dengan kemauannya sendiri maka perbuatannya ini sebenarnya adalah sayhwat (nafsu) yang tersembunyi.
Misalnya karena ia melihat orang lain yang tidak bekerja hanya tinggal di rumah sudah memperoleh rezeki tanpa perlu bekerja maka ia pun meninggalkan pekerjaan dan hanya beibadah saja dan mengharapkan kedatangan rezeki. Mungkin dalam hatinya ada rasa malas untuk bekerja dan tidak ingin bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mungkin pula ia ingin mendapatkan penghormatan atau kedudukan di masyarakat. Ini sebenarnya adalah syahwat (nafsu) yang tersembunyi yang diselubungi dalam bentuk kebaikan dan ibadah. Tandanya jika ia dalam keadaan miskin atau kebutuhannya tidak tercukupi maka ia kembali lagi sibuk mencari pekerjaan.
Demikian pula jika seseorang telah ditaqdirkan Allah di maqom tajrid maka ia berpindah ke maqom asbab dengan keinginannya sendiri, maka sebenarnya ia telah menurunkan derajatnya sendiri baik di sisi Allah maupun di sisi manusia.
Misalnya ia melihat orang lain sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia pun meninggalkan ibadahnya untuk bekerja. Padahal meskipun ia tidak bekerja selalu ada rezeki yang dating kepadanya. Maka ini dalam dirinya terjadi 2 penurun derajat. Yang pertama, penurunan derajat disisi Allah karena berkurangnya rasa tawakkalnya. Yang kedua, berkurangnya kehormatannya di sisi manusia, misalnya seorang ulama yang biasa dihormati masyarakatnya kemudian jika ia bekerja maka ia menjadi menjadi bawahan atau pesuruh majikannya.
Jadi seseorang ditempatkan oleh dalam maqom asbab atau tajrid itu karena adanya hikmah dan kehendak yang baik dari Allah. Kita harus menerima maqom kita masing-masing dengan baik dan ikhlas karena kita tidak mengetahui rahasia Allah saat menentukan kedudukan maqom kita.
Allah SWT berfirman:
وَعَسَى اَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ، وَعَسَى اَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ، وَاللهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah lah yang mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahuinya. [S. al-Baqoroh: 216]


Bersambung ke bagian 2c
Kembali ke bagian 2a

Al-Hikam-Maqolah 2a

Perkataan ke-2

إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدِ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِى اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ، وَإِرَادَتُكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ التَّجْرِيْدَ انْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ
Keinginanmu akan at-tajrid bersamaan dengan pendirian (penegakan) Allah kepadamu akan al-asbab itu termasuk dari syahwat yang tersembunyi.
Dan keinginanmu akan al-asbab bersamaan dengan pendirian (penegakan) Allah kepadamu akan at-tajrid itu penurunan dari cita-cita (keinginan) yang tinggi.

Keterangan:
Asbab (bentuk jamak dari sabab) yaitu hal-hal yang dijadikan perantara untuk mendapatkan sesuatu yang dituju (diinginkan) dalam kehidupan dunia.
Misalnya kesibukan seseorang dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Tajrid adalah memperoleh sesuatu yang dituju dalam kehidupan dunia tanpa perlu melakukan hal-hal yang menjadi perantaranya.
Misalnya seseorang yang mendapatkan rezeki tanpa perlu melakukan suatu pekerjaan.
Jika dilihat dari perlu atau tidaknya seseorang melakukan kegiatan untuk mendapatkan sesuatu dalam kehidupan dunia, maka kedudukan manusia terbagi menjadi 2 yaitu :
1. Maqom Asbab
Kedudukan seseorang yang memerlukan kegiatan (pekerjaan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِى اْلأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَ
Dan sesungguhnya kami telah menempatkan kalian di bumi, dan kami telah menjadikan bagi kalian pekerjaan-pekerjaan di dalamnya [S. al-A’raf : 10]
Rasulullah SAW bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَظُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Tiada seseorang yang memakan makanan yang lebih baik daripada makanan dari (hasil) pekerjaan tangannya, dan sesungguhnya nabi Dawud AS memakan (makanan) dari pekerjaan tangannya
[HR al-Bukhori]
Tandanya:
Jika ia merasa tenang dalam beribadah saat ia memiliki pekerjaan, dan ia dapat melakukan kedua hal itu (ibadah dan bekerja) dengan baik, lancar dan kebutuhannya tercukupi.
2. Maqom Tajrid
Kedudukan seseorang yang tidak memerlukan kegiatan (pekerjaan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
Tandanya adalah jika merasa tidak tenang dalam beribadah jika ia bekerja dan ia tidak dapat melakukan keduanya dengan baik atau adanya halangan-halangan saat ia bekerja.
Allah SWtT berfirman:
وَلَوْ اَنَّهُمْ اَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَاْلإِنْجِيْلَ وَمَا اُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ َلأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ اَرْجُلِهِمْ
Seandainya mereka (orang-orang ahli kitab) sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (al-Quran) yang diturunkan kepada mereka niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. [S. al-Maidah: 66]

Rasulullah SAW bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلىَ اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزَقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا، وَتَرُوْحُ بِطَانً
Seandainya kamu bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sesungguhnya maka Allah akan memberi rezeki kalian seperti Allah memberi rezeki pada burung yang berangkat dalan keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.
[HR Ahmad, an-Nasa-I dalam Sunan al-Kubra dan at-Tirmidzi beliau berkata: Hadis hasan sohih.
Hadis ini dsohihkan pula oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim]

bersambung ke bagian 2b

Ke bagian 2c

Minggu, 15 Mei 2011

Al-Hikam-Maqolah 1b

Suatu tanda kekurangan atau kecelakaan pada seseorang adalah jika ia memiliki pemikiran bahwa ia kelak akan selamat dari neraka dan masuk surga karena amal perbuatannya.
Memang benar ada ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits nabi yang menyatakan bahwa seseorang dapat masuk karena amalnya.
Allah SWT berfirman :
﴿ وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُوْرِثْـتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ﴾ [الزحرف: ٧٢]
Dan itulah surga yang kalian peroleh sebab perbuatan-perbuatan kalian. [S. az-Zuhruf: 72}
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ أَخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa akhir perkataannya adalah : Tada Tuhan selaian Allah maka ia masuk surga. [HR Abu Dawud dan Ahmad]
Tetapi adapula hadits-hadits nabi yang menjelaskan bahwa sebenarnya kita dapat selamat dari nerka dan masuk surga adalah semata-mata karena rahmat dari Allah SWT.
Rasulullah SAW suatu saat berkata:
لَنْ يُدْخِلْ أَحَدًا عَمَلُهُ الْحَنَّةَ
Amal seseorang itu tidak menyebakan ia masuk surga.
Para sahabat bertanya: Anda juga demikian, wahai Rasulullah ?
Beliau menjawab:
لاَ، وَلاَ أَنَا، إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَلاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ، إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَزْدَادَ خَيْرًا، وَإِمَّا مَسِيْئًا فَلَعَلَّهُ أنْ يَسْتَعْتِيْبَ.
Tidak, bahkan aku pun tidak (masuk surga) kecuali Allah telah meliputiku dengan anugrah dan rahmat. Maka berbuat benarlah (dengan mengikuti sunnah) dan berbuat tengah-tengah (tidak berlebihan atau sembrono). Janganlah seseorang dari kalian mengharapkan kematian, adakalanya ia adalah orang yang berbuat kebaikan, maka semoga ia bertambah kebaikannya. Dan adakala ia orang yang berbuat kejelekan, semoga ia akan mencela dirinya (bertaubah). [HR Bukhori dan Muslim].
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang menunjukkan sesorang masuk surga karena amalnya oleh para ulama ditafsirkan dengan amal-amal yang diterima oleh Allah SWT, jadi bukan ia masuk surga bukan disebabkan oleh amal itu sendiri. Sedangkan diterima atau tidaknya amal seseorang itu tergantung atas anugrah dan rahmat Allah SWT..Dengan demikian tidak terjadi pertentangan antara ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits tersebut.
Jadi jika seseorang hanya bersandar kepada amalnya tidak bersandar kepada Allah dan rahmatnya, maka apabila ia melakukan kesalahan atau dosa terkadang dapat menyebabkan ia putus asa atau kurang berharap akan rahmat dan ampunan Allah SWT. Dan sebaliknya, jika ia banyak melakukan amal soleh terkadang menyebabkan ia menjadi takabur dan meremehkan orang lain yang tidak dapat beramal seperti ia.
Karena itulah pengarang menyatakan bahwa salah satu tanda bersandarnya seseorang kepada amalnya ialah kurangnya harapan saat ia melakukan kesalahan (dosa).
Imam al-Munawi berkata: Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa balasan Allah kepada orang yang taat adalah semata-mata anugrah dari-Nya, dan siksaan Allah kepada orang yang durhaka kepada-Nya adalah keadilan dari-Nya.
Imam ar-Rafi’i berkata: tidaklah layak bagi seseorang untuk bersandar (bergantung) kepada amalnya untuk memperoleh keselamatan dan derajat yang tinggi, karena jika ia beramal maka hal karena ia mendapatkan pertolongan dari Allah SWT dan jika ia meninggalkan maksiat hal ini karena ia mendapatkan penjagaan dari Allah SWT.

Kesimpulan:
Allah SWT memerintahkan kita untuk beramal, maka kita sebagai hambanya wajib mengerjakan tugas ini dengan sebaik-baiknya.
Balasan akan amal itu sendiri tergantung kepada Allah SWT bukan kepada diri kita atau amal kita.
Allah lah yang akan memutuskan untuk menerima atau menolak amal-amal kita, dan memasukkan kita ke dalam surga atau neraka.

Kembali ke bagian 1
Ke Maqolah 2

Al-Hikam-Maqolah 1a

Perkataan ke-1

مِنْ عَلاَمَةِ اْلإِعْتِمَادِ عَلىَ اْلعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُْودِ الزَّلَلَ
Termasuk dari tanda-tanda bersandar pada amal ialah kurangnya harapan saat adanya kesalahan (dosa).

Keterangan:
Ilmu tasawuf merupakan hasil dari amal-amal yang benar dan buah dari keadaan-keadaan yang suci karena itu pengarang (Ibnu Atho-illah) memulai kitabnya dengan pembahasan tentang amal.
Para ulama berkata: Barang siapa yang beramal dengan ilmu yang ia ketahui maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang ia tidak ketahui.
I’timad adalah bersandar kepada sesuatu dan cenderung kepadanya.
Sedangkan amal adalah gerakan dari tubuh atau hati.
Jika amal itu sesuai dengan syariat maka disebut ketaatan, dan jika bertentangan dengan syariat maka disebut maksiat.
Berdasarkan hadis sohih dari Umar bin al-Khottob, maka amal itu terbagi menjadi 3 macam:
1. Islam (Syari’at)
2. Iman (Thariqah)
3. Ihsan (Haqiqat)
Islam (Syariat) adalah cara agar kita dapat menyembah Allah SWT secara benar sehingga dengannya kita dapat memperbaiki keadaan-keadaan lahir (anggota tubuh) kita.
Adapun caranya memperbaiki keadaan lahir kita adalah dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, yang dapat kita jalankan dengan 3 macam cara yaitu: taubah, takwa dan istiqomah.
Iman (Thariqah) adalah cara kita agar kita dapat mengenal dan mengetahui Allah SWT sehingga kita dapat menuju ke hadapan Allah SWT sehingga kita dapat memeperbaiki hati-hati kita.
Adapun cara memperbaiki hati kita adalah dengan berusaha menghilangkan dari hati kita dari akhlak-akhlak yang tercela dan menghiasinya dengan akhlak-aklak yang terpuji, yang dapat kita jalankan dengan 3 macam cara yaitu ikhlas, jujur dan tuma’ninah (tenang).
Ihsan (Haqiqat) adalah cara agar kita dapat menyaksikan atau merasakan kehadiran Allah SWT dalam diri kita sehingga kita dapat memperbaiki jiwa kita.
Adapun cara memperbaiki jiwa kita adalah dengan merendahkan dan memecahkannya sehingga menjadi bersih dan terlatih dengan tata krama, kerendahan hati dan ahklak yang baik, yang dapat kita jalankan dengan 3 cara yaitu muroqobah (intropeksi diri), musyahadah (merasakan kehadiran Allah) dan ma’rifah (mengenal Allah)
Inilah proses atau fase yang seharusnya ditempuh seseorang dalam kehidupannya adalah Islam (syari’at) , Iman (thariqat) dan Ihsan (haqiqat).
Jika seseorang itu telah mengetahui hakekat dari Islam maka ia tidak akan mampu untuk malas dalam beramal.
Jika seseorang telah mengetahui hakekat dari Iman maka ia tidak akan memalingkan amalnya kepada selain Allah SWT.
Jika seseorang telah mengetahui hakikat dari Ihsan maka ia tidak mampu untuk berpaling (bersandar) selain kepada Allah
Inilah maqom-maqom (tingkatan) yang harus dilalui seseorang yang ingin mebersihkan jiwanya. Dan seseorang tidak boleh berpindah dari satu maqom ke maqom berikutnya kecuali ia telah menyelesaikan maqom itu dengan baik dan benar. Seseorang tidak boleh mempelajari Thariqoh jika ia belum mempelajari Syariat terlebih dahulu dan mengerjakannya yaitu dengan cara mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan bertaubah, bertaqwa.dan istiqomah. Jika ia telah membersihkan dirinya secara lahiriah maka barulah ia mulai membersihkan dirinya secara batiniah dengan mejauhkan hatinya dari akhlak yang tecela dan menghisainya dengan akhlak yag terpuji. Jika hal ini telah terlaksana dengan baik, barulah ia mulai membersihkan jiwanya dengan memperbaiki tata krama atau kesopanan saat ia berhadapan dengan Allah SWT.

Bersambung ke bagian 2

Rabu, 11 Mei 2011

KISAH LUCU TENTANG MUROQOBAH

Saat membaca kata pengantar pada kitab Tanwirul Qulub tulisan Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili saya menemukan suatu kisah lucu tentang pengalaman beliau yang berkaitan dengan masalah muraqabah (intropeksi diri) yang beliau alami. Hal ini terjadi saat beliau masih menjadi santri Syeikh Umar, guru beliau dari tariqah Naqsabandi.
Berikut ini adalah kisah beliau yang akan saya coba terjemahkan dengan bahasa yang sederhana.
Suatu saat datanglah seorang murid Syeikh Umar yang telah berusia lebih dari 80 tahun dan ditunjuk menjadi khalifah (pengganti) Syeikh di tempat lain. Kebetulan oleh Syeikh Umar murid ini diperintahkan untuk tidur sekamar Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi. Kegiatan para santri saat itu adalah mereka sibuk bermujahadah (beribadah dengan sungguh-sungguh) sepanjang hari, dan jika malam hari mereka menyepi di tempat-tempat tertentu untuk beristirahat.
Saat kedatangan santri ini, maka saat datang waktu istirahat ia masuk ke kamarku dan aku pun menyangka ia akan tidur. Ternyata aku melihatnya duduk dan bermuraqabah, maka aku pun mengikutinya. Setiap saat aku mengangkat kepalaku maka aku melihatnya dalam keadaan itu, dan setiap aku merasa lelah, aku mencela diriku sendiri dan aku berkata kepadanya: "Apa kamu tidak merasa malu akan kelemahan ini dan kamu berada dalam lembaran baru umurmu dan masa-masa mudamu, dan (lihatlah) orang tua ini kekuatannya telah lemah tetapi ia masih bersemangat."
Demikianlah keadaan yang terjadi kepada kami dalam beberapa malam, aku tidak pernah beristirahat baik siang dan di malam hari.
Sampai suatu saat Syeikh Umar bertanya murid penggantinya itu: "Bagaimana bermalammu dengan al-Irbili (Syeikh Amin) ?"
Maka ia menjawab: "Capek sekali."
Syeikh bertanya: "Kenapa ?"
Ia menjawab: "Ia tidak membiarkan aku tidur, setiap kali aku mengangkat kepalaku aku melihatnya duduk bermuraqabah. Aku pun mencela diriku dan berkata kepadanya: Orang ini dalam masa mudanya lebih memerlukan tidur dan beristirahat, (tetapi) ia tidak beristirahat, dan bagaimana kamu tidur sedangkan kamu akan meninggalkan dunia dan menghadapi akhirat ?"
Maka Syeikh Umar -semoga Allah meridloinya- sambil tersenyum berkata: "Sesungguhnya ia darimu juga mengalami apa yang kamu alami darinya."
Maka hilanglah dari (hatiku) akan rasa takut.