Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Selasa, 30 Oktober 2012

Hukum Bersedekah Dengan Benda Yang Tidak Disukai



Saat teman saya yang berhaji berada di Mina, ia SMS bertanya tentang hukum mensedekahkan barang yang kurang baik, bagaimana hukumnya  dan apa ta’birnya (dalilnya)?
Setelah terdiam beberapa jenak (karena waktu sejenak tidak cukup bagi saya) maka akhirnya saya pun menjawabnya.

Hukum bersedekah dengan barang yang kurang disukai hukumnya makruh hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
يَا آيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ، وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيْهِ إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [S. Al-Baqarah: 267]

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk bersedekah dengan benda yang baik dari hasil pekerjaan kita atau dari apa yang kita peroleh dari bumi. Dan Allah mencela orang-orang yang bersedekah kepada  orang lain dengan harta yang kurang baik (jelek).
Selain itu kita tidak akan mencapai kebaikan yang sempurna kecuali jika kita mau bersedekah dengan harta milik kita yang paling baik.

Allah SWT berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتىَّ تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ، وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. [S. Ali Imran: 92]

Selain itu ada hadits nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah :
أيُّهَا النَّاسُ ، إنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّباً
Wahai para manusia, sesungguhnya Allah itu dzat yang baik dan tidak menerima kecuali perkara yang baik. [HR Muslim no: 1014 ]

Pada saat saya menulis posting ini, saya teringat akan kisah 2 putera nabi Adam – Habil dan Qabil - saat mereka diperintah untuk berqurban untuk menyelesaikan masalah diantara mereka yang di sebutkan dalam S. Al-Maidah ayat 27.  Saat itu Habil memilih hasil panen yang paling baik dan hewan ternak yang paling gemuk, sedangkan Qabil sebaliknya. Akhir ceritanya mudah ditebak.  Allah menerima qurban yang dipersembahkan Habil dan tidak menerima qurban dari Qabil.

Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat.


Jumat, 26 Oktober 2012

Pakai Kentungan menurut KH Hasyim Asy'ari Bid'ah



Kisah yang akan saya tulis di bawah ini akan menunjukkan betapa indahnya agama Islam jika kita dapat bertoleransi dan menghargai perbedaan pendapat yang terjadi di antara kita sesama umat Islam.

Kyai Maskur, salah seorang kiai tua terhormat dari generasi pendiri, menceritakan kisah mengenai Kyai Hasyim Asy’ari pada awal berdirinya NU.
Dijelaskan oleh kyai ini bagaimana Kyai Hasyim Asy’ari telah menulis artikel dalam suara Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, beberapa bulan setelah berdirinya NU. Dalam artikel ini ia mengajukan argumentasi bahwa oleh Karena kentungan tidak disebutkan dalam hadits nabi maka tentunya diharamkan dan tidak dapat digunakan untuk menandakan waktu shalat . Seperti banyak kyai lainnya, Kyai Hasyim Asy’ari juga beralasan bahwa dalam hal-hal pemujaan (ibadah-pen), tradisi harus dipertahankan dan inovasi dibatasi hanya pada penerapan sosial ajaran itu, bukan pada cara pemujaan (ibadah-pen) dasar.
Tidak semuanya sepakat.  Bahkan pada awal berdirinya, tradisi pluralisme dalam NU sudah cukup kuat.
Sebulan setelah dipublikasikannya artikel Kyai Hasyim itu, seorang kyai senior lainnya, Kyai Fakih, menulis sebuah artikel untuk menentangnya. Ia beralasan bahwa Kyai Hasyim salah karena prinsip yang digunakan dalam masalah ini adalah masalah qiyas ,atau kesimpulan yang didasarkan atas prinsip yang sudah ada. Atas dasar ini maka kentungan Asia Tenggara memenuhi prinsip untuk digunakan sebagai beduk untuk menyatakan waktu shalat.
Sebagai tanggapannya, Kyai Hasyim mengundang ulama Jombang untuk bertemu dengannya di rumahnya dan kemudian meminta agar kedua artikel itu dibaca keras.
Ketika hal ini telah dilakukan, ia mengumumkan kepada mereka yang hadir:
“Anda bebas mengikuti pendapat yang mana saja, karena kedua-duanya benar, tapi saya mendesakkan bahwa di pesantren saya kentungan tidak dipergunakan.”
Beberapa bulan kemudian Kyai Hasyim diundang untuk menghadiri perayaan Maulid Nabi  di Gresik. Tiga hari sebelum tiba, Kyai Fakih, yang merupakan kyai senior di Gresik membagikan surat kepada seluruh masjid dan mushala untuk meminta mereka menurunkan kentungan untuk menghormati Kyai Hasyim dan  untuk tidak menggunakannya selama kunjungan Kyai Hasyim di tempat itu.

Sumber:
Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid)
Oleh: Greg Barton
Hal 162-163

Catatan
Dalam masalah ini saya lebih cenderung kepada pendapat Kyai Fakih karena kentungan itu tidak menyangkut langsung pada prosesi ibadah (yaitu shalat ) dan hanya merupakan perantara (wasilah) agar ibadah ini menjadi lebih mudah dan lancar seperti halnya maksud Khalifah ketiga Usman bin Affan saat beliau menambahkan adzan kedua pada shalat jum’at.
Selain itu pada saat saya masih menjadi santri di Tebuireng (tahun 1994-1997) di Masjid Tebuireng ada beduk yang digunakan sebagai penanda waktu shalat.  Sehingga kemungkinan besar pendapat Kyai Hasyim Asy’ari di pesantren beliau sendiri saat ini sudah kurang populer.

Gus Dur - 20 kepala Ikan - 20 Anjing - 20 Mahasiswa dan 20 Hari


Pada saat saya membaca buku Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid) tulisan Greg Barton yang diterbitkan LKiS ada satu cerita di mana Gus Dur masih menjadi mahasiswa di Baghdad yang membuat saya tertawa dan bahkan hampir tak mampu untuk menahannya saat menulis cerita ini.
Berikut ini kisahnya:

Selama tiga tahun pertama Gus Dur tinggal bersama dengan sesama mahasiswa Indonesia. Bersama dengan 19 orang lainnya, ia menyewa sebuah vila di luar Baghdad dan menjadikannya sebagai tempat kediaman. Mereka cukup mempunyai uang dari beasiswa  yang diterimanya dan dari hasil kerja paro waktu mereka sehingga vila ini pun menjadi tempat tinggal yang menyenangkan untuk ukuran mahasiswa. Sebagai tempat tinggal mahasiswa , vila ini ditandai dengan suasana kebersamaan yang menyenangkan serta percakapan-percakapan yang hidup dan kebanyakan menarik. Para mahasiswa itu mengumpulkan iuran untuk membiayai urusan rumah tangga sehari-hari dan sewa vila itu.
Para mahasiswa ini mendapat giliran untuk menyiapkan hidangan setiap 20 hari sekali. Keistimewaan Gus Dur adalah menyiapkan kari kepala ikan. Ini merupakan makanan sangat lezat bagi orang Indonesia yang jauh di rantau. Diakui oleh Gus Dur bahwa pilihan masakan ini bukanlah sepenuhnya kebetulan.
Pada masa awal ia tinggal di Baghdad, demikian  ceritanya, ia sempat menjumpai sebuah toko yang menjual ikan dekat tempat tinggalnya itu. Diperhatikan olehnya bahwa orang Irak tidak makan kepala ikan. Kepala ikan dibuang begitu saja atau diberikan pada binatang peliharaan. Oleh karena itu, pada suatu hari ia mendatangi pemilik toko itu dan meminta 20 kepala ikan ukuran besar. Pemilik toko itu terkejut.
“Untuk apa kepala ikan sebanyak itu ?”
“Hmm, saya memelihara banyak anjing.” kata Gus Dur.
“Berapa banyak ?”
“Dua puluh .” jawab Gus Dur sambil menahan tawanya .
Si pemilik toko pun setuju dan sejak itu setiap 20 hari sekali Gus Dur mendatangi toko itu dan membawa pulang 20 kepala ikan ukuran besar. Sebagai tanda membeli, ia memberikan kepada pemilik toko itu beberapa buah mata uang logam. Setibanya di rumah, ia pun membuat kari kepala ikan yang lezat. Masakan itu hampir sepenuhnya gratis, lagi pula teman-teman serumahnya sangat menyukainya. Hal itu berlangsung lebih dari satu tahun dan merupakan suatu pengaturan yang hampir ideal.
Akan tetapi kemudian, pada suatu hari mahasiswa-mahasiswa ini menerima tamu resmi dari Indonesia. Kedutaan  besar Indonesia mengusulkan diadakan jamuan makan khusus di rumah tersebut. Lalu, para mahasiswa ini, dengan gaya khas Indonesia yang sukar ditiru oleh orang lain, membentuk sebuah panitia dan mulai mengadakan persiapan. Salah seorang teman Gus Dur diberi tugas memasak dan ia ingin menyiapkan hidangan ikan di samping hidangan daging kambing dan daging sapi yang telah direncanakan sebelumnya. Ia pergi ke toko yang biasa dikunjungi Gus Dur.
Si pemilik mengenali orang ini dan berkomentar sambil tertawa: “Temanmu sangat aneh .”
“Kenapa ?”
“Ia memelihara banyak anjing. Bayangkan, 20 anjing!”
Mahasiswa ini pulang ke rumah dan menumpahkan kemarahannya pada Gus Dur.
“Sampai hati kau samakan kami dengan anjing ?”katanya sambil meminta keterangan.

Sumber:
Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid)
Oleh: Greg Barton
Hal 106-108

Rabu, 24 Oktober 2012

Hukum Membuat Gambar Manusia atau Makhluk Hidup Haram ?


Selasa sore kemarin, saat saya sedang enak-enaknya kerja memaku senar di rak yang rencananya mau digunakan untuk perpustakaan Bu Nyai datang dan bertanya tentang hukum menggambar lukisan. Beliau berencana akan mengadakan kursus / pelatihan melukis  untuk anak-anak jika Perpustakaan DR. KH. Maghfur Usman sudan berjalan.  Meskipun kurang siap dan menjawab dengan tergagap-gagap akhirnya saya pun bisa menjawabnya. Untungnya saya ingat  pernah membaca masalah ini dalam muqaddimah kamus Idris al-Marbawi yang berbahasa Malaysia dan menjawab sesuai dengan apa yang masih ada di pikiran saya.
Mungkin pertanyaan  ini juga sering terlontar dari sebagian rekan muslim apalagi melihat maraknya lukisan-lukisan dan foto-foto yang muncul di berbagai media baik koran, majalah,  TV, internet dan media yang lainnya.
Berikut ini saya kutipkan hukum gambar dari muqaddimah Kamus Idris al-Marbawi yang telah saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia beserta takhrij haditsnya.

***

HUKUM SYAR’I DALAM MASALAH LUKISAN (GAMBAR YANG DILUKIS)

Dengan sebab kedua juz Kamus Idris al-Marbawi mempunyai lebih dari 1200 kalimat yang diterangkan dengan gambar, padahal membuat gambar itu hukumnya haram maka pantaslah kami terlebih dahulu menyebut hukumnya di bawah ini.

( HADITS SOHIH YANG MENGHILANGKAN PERBEDAAN PENDAPAT, MENOLAK KESYUBHATAN DAN MEMPERKUAT KEYAKINAN )

Telah sampai kepada kami saat kami sedang mentashih (membenarkan) Kamus Idris al-Maebawi satu surat yang isinya:
Sesungguhnya kamus ini mengandung gambar yang dilukis - dan itu haram (hukumnya) – maka bagaimana kami bisa memilihnya ?
Dengan anugrah Tuhan kami akan menjawabnya, dan  untuk lebih memberikan faidah secara umum kami akan menulis sebagian yang telah kami tuliskan, dan kami akan menjelaskan  akan gambar secara lughat (bahasa) dan istilah (term) agar kita dapat menjadi dasar tujuan kita.
Gambar menurut bahasa dan syar’I (agama) :
إِيْجَادُ الصُّوْرَةِ وَإِحْدَاثُهَا
Mewujudkan gambar dan membuat yang baru.
Dengan arti inilah datang beberapa hadits  yang melarangnya , diantaranya:
1. Hadits Riwayat Qotadah:
Aku disamping Ibnu Abbas RA dan orang-orang menanyainya, dan ia tidak menyebutkan (nama) Nabi SAW sehingga ia ditanyai. Maka ia berkata: Aku mendengar Muhammad SAW bersabda:
مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فِى الدُّنْيَا كُلِّفَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَنْفُخُ فِيْهَا الرُّوْحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
Barangsiapa menggambar satu gambar di dunia maka di hari kiamat ia dibebani untuk meniupkan ruh (jiwa) ke dalamnya dan ia tidak akan mampu meniupkannya.
(Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari hadits no 7042)

2. Hadits Riwayat al-A’masy dari Muslim
Kami bersama Masruq di dalam rumah Yasar bin Numair. Maka ia melihat di situ semacam gambar-gambar. Ia berkata: Aku mendengar Abdullah berkata: Aku mendengar Nabi SAW bersabda:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُوْنَ.
Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya di hari kiamat adalah tukang-tukang  gambar.
(Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari hadits no: 5950 dan Muslim no: 2019  )

3. Hadits Riwayat Abdullah bin Umar RA sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
الَّذِيْنَ يَصْنَعُوْنَ هَذِهِ الصُّوَرَ بُعَذَّبُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يُقَالُ لَهُمْ: احْيَوْا مَا خَلَقْتُمْ
Orang-orang yang membuat gambar-gambar  ini disiksa di hari kiamat, dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang kamu ciptakan.
(Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari hadits no: 5951 dan Muslim no: 2108)

Hadits-hadits ini dan hadits yang semacam ini datang dalam masalah perbuatan yaitu gambar dengan arti mewujudkannya secara jasmani dan membuat yang baru.

Ada pula hadits-hadits  sohih  yang menunjukkan kebolehan menggunakan gambar jika berupa lukisan di baju atau daun seperti yang ada di dalam kamus ini. Diantaranya:
1. Hadits yang diriwayatkan Zaid bin Khalid RA, sesungguhnya Abu Tolhah menceritakan kepadanya bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ صُوْرَةٌ
Para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang ada gambar didalamnya.
(Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari hadits no: 3225 dan Muslim no: 2106)
Yasr berkata: Zaid bin Khalid kemudian sakit, maka kami pun mengunjunginya dan ternyata kami melihat di rumah satir (kain penghalang) yang ada gambar-gambarnya.
Maka aku berkata pada Abdullah al-Khoulaniy: Bukankah anda membacakan hadits kepada kami tentang masalah gambar-gambar ?
Ia pun berkata: Sesungguhnya beliau berkata: Kecuali lukisan di baju, apakah kamu tidak pernah mendengarnya ?
Yasr berkata: Tidak
Maka Abdullah al-Khoulaniy pun menyebutkannya.

2. Hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi  dengan sanadnya dari ‘Utbah sesungguhnya ia masuk ke rumah Abu Tolhah al-Anshori mengunjunginya. Ia mendapatinya di samping Sahl bin Hanif. Abu Tolhah memanggil seseorang untuk mencopot seprai kasurnya.
Sahl pun bertanya: Mengapa kau copot ?
Abu Tolhah berkata: Karena ada gambar-gambarnya, dan Nabi SAW telah berkata akan perkara yang telah kau dengar.
Sahl berkata: Bukankah beliau berkata kecuali lukisan dalam baju ?
Abu Tolhah berkata: Benar, akan tetapi aku ingin mensucikan diriku.
At-Tirmidzi berkata: Hadits Hasan Sohih.
(Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari hadits no: 1750)

3. Hadits riwayat Anas RA: Aisyah RA menjadikan kain tipis milik nya sebagai penutup  rumahnya. Nabi SAW berkata kepadanya:
اَمِيْطِيْ عَنِّيْ فَإِنَّهُ لاَ تَزَالُ تَصَاوِيْرُهُ تُعْرِضُ لِي فِى صَلاَتِيْ
Jauhkanlah (kain itu) dariku, karena gambar-gambarnya selalu muncul (tampak) padaku dalam shalatku.
(Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari hadits no: 374)


Hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan kebolehan lukisan apalagi foto yang berlaku saat ini yang menangkap bayangan yang timbul yang diciptakan Allah SWT seperti gambar dalam cermin dan bukan termasuk gambar dalam arti mewujudkan gambar sehingga terlarang (hukumnya).
Bahkan al-Khithobi berkata:
Sesungguhnya tukang gambar yang menggambar bentuk binatang , maka sesungguhnya saya berharap tidak termasuk dalam ancaman (hadits) ini karena ini  hanyalah lukisan. Dan Allahlah Yang Maha Mengetahui.
Semoga Allah memberikan pertolongan kepada kami dan kalian, dan semoga Allah  mengampuni (dosa-dosa)ku dan kalian. 

***

Kurang lebih demikianlah yang dapat saya terjemahkan dari muqaddimah Kamus Idris al-Marbawi.
Semoga bermanfaat.






Minggu, 21 Oktober 2012

Jatuh .......



Part 1
Ruangan kelas saat itu mulai terisi oleh murid-murid  karena pelajaran nahwu – shorof untuk para santri pemula (SP) di Madrasah Diniyah Assalam akan segera di mulai.
Ustadz pengajar pun sudah mulai bersiap-siap untuk menerangkan materi pelajaran  hari itu.
Tapi ada seseorang santriwati  yang sibuk  berjalan kesan-kemari bak peragawati  kesasar di dalam kelas.
Di tengah-tengah kesibukannya mendadak ia lenyap dari pandangan si ustadz diikuti dengan suara
Gedubrak !!!!
Ternyata saking asyiknya ia berlenggak-lenggok , tanpa sadar ia dengan sukses terjatuh karena tersandung oleh sesuatu (entah kakinya sendiri atau kaki temannya atau kaki kursi  atau kaki meja  atau kaki lainnya).
Lalu tubuh si santriwati pun perlahan-lahan tampak kembali di depan ustadz tadi yang terpaksa tersenyum untuk menahan geli  (ustadz kan gak boleh tertawa ngakak).

Part 2
Beberapa minggu berikutnya terjadi pula suatu peristiwa yang lucu.
Saat itu para santriwati Madrasah DIniyah Assalam baru saja bubaran dan mau kembali pulang ke pondoknya di gang 2.  Seperti biasanya, para santriwati berjalan dengan bergerombol di jalanan yang agak gelap menuju ke pondok.
Si ustadz  pun mulai menstater  sepeda motor  tuanya yang umurnya seimbang dengan umurnya. Ia mulai menjalankan sepada motornya pelan-pelan di belakang para santriwati yang berjalan bergerombol  itu.
Mendadak dari gerombolan santriwati tadi terdengar suara keras dari sebelah kiri jalan.
Brakkk …!!!
Para santriwati pun tertawa geli  dan ada yang terbahak-bahak.  
Di susul dengan bangkitnya sesosok tubuh dari salah seorang santri SP yang masih kecil dan imut-imut.  Ia  jatuh dengan manis karena tersandung bak sampah yang ada di pinggir jalan yang kurang begitu kelihatan sebab penerangan yang remang-remang di tempat itu.
Si ustadz itu kali ini tidak bisa menahan ketawanya meski pun hanya sedikit  melihat kejadian konyol itu.

***
Untuk menjaga kehormatan dan martabat para pelaku, saya mohon maaf terpaksa merahasiakan dan tidak menyebutkan nama-nama mereka. Tapi yang jelas ini adalah peristiwa nyata bukan fiktif.

Kamis, 18 Oktober 2012

Hukum Bersuci Dengan Air Tawas


Kemarin malam sehabis ngaji kitab Fath al-Muin di kediaman K.H. Maghfur Usman, seorang  teman menghampiri saya karena ingin menanyakan sesuatu. Di kampungnya saat pengajian ia ditanyai tentang masalah boleh tidaknya berwudlu dengan air PDAM yang berbau dan berasa tawas ? Saat itu saya merasa agak bingung untuk  menjawabnya dan saya sarankan untuk bertanya kepada K.H. Maghfur saja. Tapi katanya ia segan dan malu untuk bertanya kepada beliau.  Maka saya pun berjanji untuk memberikan jawabannya setelah saya membuka kitab-kitab fiqih yang saya miliki karena secara samar-samar saya kelihatannya pernah membaca masalah ini  dalam salah satu kitab (maklumlah sudah lama saya tidak buka-buka kitab).  Dan setelah saya temukan jawabannya maka saya pun segera menghubunginya lewat  HP.  Karena masalah ini mungkin banyak terjadi pada rekan-rekan muslim lainnya, saya tergerak untuk menulis jawabannya dalam blog ini.

Air yang dicampuri dengan tawas selama tidak berubah warna, rasa dan baunya maka boleh digunakan untuk bersuci karena hal ini tidak menyebabkan hilangnya nama air tersebut sebagai air mutlak.
Tetapi jika penambahan  tawas ini menyebabkan perubahan warna, rasa dan baunya jika hanya sedikit tetapi tidak menyebabkan hilangnya  nama air itu sebagai air mutlak maka boleh bersuci dengan menggunakan air tersebut karena Nabi sendiri pernah berwudlu dari wadah air yang di dalamnya ada bekas adonan roti
(Syarah Minhaj al-qowim  hal 15 dalam kitab al-Hawasyi al-Madaniyah)

Tetapi jika penamabahan tawas ini menyebabkan perubahan  warna, rasa dan baunya dengan perubahan yang banyak maka tidak sah berwudlu dengan menggunakan air  ini.
Hal ini disamakan dengan tir (قطران   ) yang dimasukkan ke dalam air dengan tujuan untuk memperbaiki (kualitas) air itu, maka menurut sebagian ulama madzhab syafi’i meskipun suci tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci.

Imam Syihab al-Barlasi berkata:
إن كان وضعه (أي القطران) فيها (أي فى الظرف) لإصلاح الظرف التحق بما فى المقر، وإن كان لإصلاح الماء وهو الظاهر ضر بشرطه.
Jika orang itu memasukkan tir dalam wadah-wadah untuk memperbaikinya maka (hukumnya) sama dengan air yang berubah karena tempatnya (boleh digunakan bersuci), dan jika tir itu untuk memperbaiki (kualitas) air dan ini yang dhohir maka berbahaya (artinya tidak boleh digunakan untuk bersuci).
(Tarsyikh al-Mustafidin hasyiah kitab Fath al-Muin hal 14)

Abdurrahman al-Jaziri berkata:

وكذا إذا تغير تغيرا كثيرا يقينا بقطران فإنه يصير طاهرا فقط بشرطين: أن يكون القطران خال من الدهنية، ثانيها: أن لا يكون الغرض من استعمال القطران إصلاح قربة الماء وإلا فلا يضر.
Dan demikian pula jika air itu berubah dengan perubahan yang banyak dengan yakin sebab tir maka air itu menjadi suci saja (tidak mensucikan) dengan 2 syarat:
1. Tir itu tidak ada (tidak mengandung) minyaknya
2. Tujuan menggunakan tir tidak untuk memperbaiki wadah air,  jika ini tujuannya maka tidak apa-apa (artinya air itu dapat digunakan untuk bersuci)
(Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah hal 36 juz 1)

Semoga bermanfaat.