Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Senin, 26 November 2012

Titip Pada Tuhan - Tuan Rumah Kurang Ajar - Murid Tidak Berbakti


Habib bin Muhammad al-‘Ajami al-Bashri adalah seorang Persia yang menetap di kota Bashrah, perawi hadits dari Hasan al-Bashri,  Ibnu Sirin dan tokoh-tokoh hadits lainnya.
Berikut ini adalah tiga cerita lucu (anekdot) yang terjadi antara beliau dengan gurunya Hasan al-Bashri saat saya membaca buku Warisan Para Auliya karya Fariduddin Attar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A.J. Arberry lalu diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas Mahyuddin.
****

TITIP PADA TUHAN
Rumah Habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota Bashrah. Ia mempunyai sebuah mantel bulu yang selalu dipakainya baik di musim panas maupun di musim hujan. Sekali peristiwa ketika Habib hendak bersuci, mantel itu dilepaskannya dan dengan seenaknya dilemparkan ke atas tanah.
Tidak berapa lama kemudian Hasan al-Bashri lewat di tempat itu.
Melihat mantel Habib terletak di atas jalan, ia bergumam. ”  Dasar Habib seorang Ajam (non Arab – dalam buku aslinya diterjemahkan Barbar), tak perduli berapa harga mantel bulu ini! Mantel yang seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, bisa-bisa hilang nanti,”
Hasan berdiri di tempat itu untuk menjaga mantel tersebut. Tidak lama kemudian Habib pun kembali.
“Wahai  Imam kaum muslimin.” Habib menegur Hasan setelah memberi salam kepadanya. “Mengapakah engkau berdiri di sini ?”
“Tahukah engkau bahwa mantel seperti ini tidak boleh ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang. Katakan kepada siapakah engkau titipkan mantel ini?”
‘Kutitipkan kepada Dia (Allah) yang selanjutnya menitipkannya kepadamu.” Jawab Habib,
***

TUAN RUMAH KURANG AJAR
Pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah Habib. Kepadanya Habib menyuguhkan dua potong roti gandum dan sedikit garam. Hasan sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti beserta garam itu kepadanya.
Hasan terheran-heran lalu berkata: “Habib, engkau memang seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah engkau suguhkan ke ujung hidung tamu lalu mememberikan semuanya kepada seorang pengemis. Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebagian lagi kepada tamumu.”
Habib tidak mau memberi jawaban.
Tidak lama kemudian seorang budak dating sambil menjunjung sebuah nampan. Di atas nampan tersebut ada daging domba panggang, penganan yang manis-manis dan uang limaratus dirham perak. Si budak menyerahkan nampan tersebut ke hadapan Habib. Kemudian Habib membagikan uang tersebut kepada orang-orang miskin dan menempatkan nampan tersebut di samping Hasan.
Ketika Hasan mengeyam daging panggang itu, Habib berkata kepadanya: “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan. Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan.”

***

MURID TIDAK BERBAKTI
Pada suatu hari ketika perwira-perwira Hajjaj mencari-cari Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib.
“Apakah engkau telah melihat Hasan pada hari ini?” Tanya mereka pada Habib.
“Ya, aku telah melihatnya.” Jawab Habib.
“Di manakah Hasan saat ini?”
“Di dalam pertapaan ini.”
Para perwira tersebut memasuki tempat Habib dan mengadakan penggeledahan, namun mereka tidak menemukan Hasan.
“Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka.” Hasan mengisahkan.”namun mereka tidak melihat diriku.”
Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu Hasan mencela Habib. ”Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada guru. Engkau telah menunjukkan tempat persembunyianku.”
“Guru karena aku berterus terang itulah engkau dapat selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap.
“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga mereka tidak melihat diriku?” Tanya Hasan.
“Aku membaca ayat Kursi sepuluh kali, Aamanar rasul sepuluh kali dan Qul Huwaallah Ahad sepuluh kali. Setelah itu aku berkata: Ya Allah, telah kutitipkan Hasan kepada-Mu dan oleh karena itu jagalah ia.”

Sumber:
Warisan Para Awliya
Fariduddin Attar - A,J, Arberry hal 44-46 dengan sedikit perubahan dan penambahan judul cerita.

Mandi = Wudlu ???


Sekitar dua minggu yang lalu ada seorang teman saya yang menjadi ustadz dan punya jamaah pengajian di kampungnya  sms dan bertanya: “Apakah apakah jika seseorang mandi besar juga sekaligus suci dari hadats kecil ?”
Saya jawab bahwa dengan mandi besar otomatis hadats kecilnya juga hilang.
Rupanya ia belum puas dengan jawaban ini dan meminta dalil (ta’bir) dari kitab apa.
Karena saat itu saya masih di pasar (maklumlah saya adalah seorang pedagang dan saat ia sms adalah pagi hari saat saya sedang berjualan) maka saya janjikan kepadanya untuk mencarikan dalilnya (ta’birnya). Setelah membuka kiatb-kitab saya yang jarang dibaca hingga berselimut debu, akhirnya saya pun mendapatkan dalilnya.
Karena saya rasa masalah ini mungkin bermanfaat pula bagi rekan-rekan lainnya, maka saya pun berniat menulisnya di blog ini.
Imam Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari berkata:
( وَلَوْ أَحْدَثَ ثُمَّ أَجْنَبَ كَفَى غُسْلٌ وَاحِدٌ ) وَإِنْ لَمْ يَنْوِ مَعَهُ الْوُضُوْءَ وَلاَ رَتَّبَ أَعْضَاءَهُ.
Jika seseorang berhadats (kecil) lalu ia junub maka cukuplah satu mandi saja, meskipun ia tidak berniat wudlu dalam mandi itu dan tidak menertibkan (mengurutkan) anggota-anggota tubuhnya.
(Fathul Mu’in hal 10-11)
Sayyid Alawi bin Ahmad As-Saqqaf mengomentari kalimat di atas dengan perkataan:
بَلْ وَلَوْ نَفَاهُ لَمْ يَنْتَفِ
Bahkan seandainya orang itu meniadakan wudlu itu, maka wudlu itu tidaklah hilang.
(Tarsyikhul Mustafidin Hasyiah Fathul Mu’in hal 34 juz 1,
Imam Ad-Dimyati berkata:
قَالَ فِى النِّهَايَةِ: وَقَدْ نَبَّهَ الرَّافِعِيُّ عَلىَ أَنَّ الْغُسْلَ إِنَّمَا يَقَعُ عَنِ الْجَنَابَةِ وَأَنَّ اْلأَصْغَرَ يَضْمَحِلُّ مَعَهُ – أَيْ لاَ يَبْقَى لَهُ حُكْمٌ فَلِذَلِكَ عَبَّرَ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ كَفَى اهـ
Imam ar-Romli dalam kitab Nihayatul Muhtaj berkata: “Imam ar-Rafi’i telah mengingatkan bahwa sesungguhnya mandi yang dilakukan karena jinabat sesungguhnya hadats itu hilang (lenyap) bersamanya – artinya hukumnya sudah tidak ada, karena itulah pengarang menggunakan kata mencukupi (  كَفَى)
(I’anatut Tholibin hal 79 juz 1)
Sayyid Sabiq berkata:
إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، لَمْ يَكُنْ قَدْ تَوَضَّأَ يَقُوْمُ الْغُسْلُ عَنِ الْوُضُوْءِ.
قَالَتْ عَائِشَةُ: ( كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْضَ الْغُسْلِ ). 
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ لِرَجُلٍ قَالَ لَهُ : إِنِّي أَتَوَضَّأُ بَعْضَ الْغُسْلِ، فَقَالَ لَهُ: لَقَدْ تَغَمَّقْتَ.
وَقَالَ ابْنُ الْعَرَبِيُّ: لَمْ يَخْتَلِفِ الْعُلَمَاءُ أَنَّ الْوُضُوْءَ دَاخِلٌ تَحْتَ الْغُسْلِ، وَأَنّ نِيَّةَ طَهَارَةِ الْجَنَابَةِ تَأْتِي عَلَى طَهَارَةِ الْحَدَثِ وَتَقْضِي عَلَيْهِ، ِلأَنَّ مَوَانِعَ الْجَنَابَةِ أَكْثَرَ مِنْ مَوَانِعِ الْحَدَثِ، فَدَخَلَ اْلأَقَلُّ فِى نِيَّةِ اْلأَكْثَرِ، وَأَجْزَأَتْ نِيَّةُ  اْلأَكْبَرِ عَنْهُ.
Jika seseorang mandi jinabat, dan ia tidak berwudlu, maka mandinya itu menempati kedudukan wudlu.
Aisyah berkata: “Rasulullah SAW tidak berwudlu setelah mandi.”
Ibnu Umar RA berkata kepada seorang laki-laki yang mengatakan: Sesungguhnya saya berwudlu setelah mandi. “Engkau sungguh-sungguh telah berlebihan (arti aslinya memperdalam -pen).
Ibnu al-Arabiy berkata: “Para ulama tidak berbeda pendapat  bahwa sesungguhnya wudlu  termasuk di dalam mandi. Dan sesungguhnya niat bersuci dari jinabat menyempurnakan dan memenuhi bersuci dari hadats (kecil), karena perkara-perkara yang dilarang karena jinabat lebih banyak dari perkara-perkara yang dilarang karena hadats, maka masuklah (hadats) yang lebih kecil kepada yang lebih banyak, maka cukuplah niat (menghilangkan) hadats besar dari yang kecil.”
(Fiqih Sunnah hal 65 juz 1)
Dengan demikian jelaslah bahwa jika seseorang mandi besar maka hadats kecilnya secara otomatis juga hilang (lenyap) dan seandainya ia shalat tana berwudlu maka menurut para ulama shalatnya sah.
Meskipun demikian dalam mandinya ia tetap disunnahkan untuk berwudlu sebagaimana tersebut dalam kitab-kitab hadits.
Semoga bermanfaat, Wallahu A’lam bish-showab.