Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Senin, 28 Oktober 2013

Hukum Membaca Doa Iftitah Setelah Membaca Ta’awudz Atau Basmalah



Ada suatu pertanyaan sederhana dari salah seorang peserta jamaah pengajian rutin yang diadakan oleh salah seorang teman saya yang ternyata membuat  dia (juga saya) agak bingung dan ragu-ragu untuk menjawabnya secara langsung.
Yaitu bolehkan membaca iftitah jika ia sudah terlanjur membaca ta’awudz atau basmalah?

Untung saja para ulama dengan kedalaman ilmu mereka telah menjawab masalah ini dengan jelas dalam kitab-kitab mereka.

Ibn Hajar al-Haitami berkata:
(وَيَفُوْتُ) دُعَاءُ اْلاِفْتِتَاحِ (بِالتَّعَوُّذِ) فَلاَ يُنْدَبُ لَهُ الْعَوْدُ إِلَيْهِ لِفَوَاتِ مَحَلِّهِ (وَ) يَفُوْتُ (بِجُلُوْسِ الْمَسْبُوْقِ مَعَ اْلإِمَامِ) كَذَلِكَ، فَلَوْ سَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ لَمْ يَفُتْ، وَ(لاَ) يَفُوْتُ (بِتَأْمِيْنِهِ مَعَهُ) أَيْ مَعَ إِمَامِهِ ِلأَنَّهُ يَسِيْرٌ.
Dan do’a iftitah itu hilang(berlalu) dengan bacaan ta’awudz, maka tidak disunnahkan bagi orang yang shalat kembali membaca do’a iftitah karena telah berlalu tempatnya. Dan hilang pula do’a iftitah dengan duduknya makmum masbuq (ketinggalan) dengan bersama dengan duduknya Imam, kalau imam itu salam sebelum makmum masbuq duduk maka ia dapat membaca do’a iftitah. Dan do’a iftitah tidak berlalu waktunya dengan bacaan amin makmum bersamaan dengan imamnya karena itu hanya sedikit.
[Syarh al-Minhaj al-Qowim hal 246]

Imam Nawawi Banten berkata:
وَيَفُوْتُ دُعَاءُ اْلاِفْتِتَاحِ بِالشُّرُوْعِ فِيْمَا بَعْدَهُ عَمْدًا أَوْسَهْوًا، وَخَرَجَ بِذَلِكَ مَا لَوْ سَبَقَ لِسَانُهُ فَلاَ يَفُوْتُ
Dan do’a iftitah itu hilang(berlalu) dengan melakukan (ucapan-ucapan) sesudahnya baik sengaja atau lupa. Kecuali bila lidahnya tidak sengaja (mengatakannya) maka dia boleh membaca iftitah.
[Nihayah al-Zain hal 63]

Sayyid al-Ba’lawi berkata:
يَفُوْتُ دُعَاءُ اْلاِفْتِتَاحِ وَالتَّعَوُّذُ بِاْلاِتْيَانِ بِمَا بَعْدَهُمَا مِنَ التَّعَوُّذِ فِى اْلأَوَّلِ وَالْبَسْمَلَةِ فِى الثَّانِيَةِ عَمْدًا أَوْ سَهْوًا بِخِلاَفِ مَا لَوْ سَبَقَ لِسَانُهُ
Dan do’a iftitah dan ta’awaudz itu hilang(berlalu) dengan melakukan (ucapan-ucapan) sesudahnya, yakni ta’awudz dalam masalah pertama (yaitu do’a iftitah) dan basmalah dalam masalah kedua (yaitu membaca ta’awudz)  baik sengaja atau lupa. Berbeda halnya jika lidahnya tidak sengaja (terlanjur mengatakannya)  
[Bughyah al-Mustarsyidin hal 44]

Kesimpulannya:
Jika pembacaan ta’awudz atau basamalah sebelum membaca iftitah dilakukan dengan sengaja atau lupa maka tidak disunnahkan bagi orang yang shalat membaca do’a iftitah karena waktunya telah lewat (hilang)
Jika pembacaan ta’awudz atau basamalah sebelum membaca iftitah dilakukan karena lidahnya tidak sengaja atau terlanjur (padahal di hatinya sudah berniat membaca do’a iftitah) maka ia boleh membaca do’a iftitah.

Semoga bermanfaat

Minggu, 06 Oktober 2013

Hukum Meletakkan Tangan Dan Kaki Ketika Sujud

Suatu waktu –saat saya sedang asyik membaca buku cerita- ada telpon dari seorang teman yang bertanya tentang hukum meletakkan tangan dan kaki ketika sujud, apakah wajib atau tidak ?
Jika wajib bagaimana pelaksanaannya?
Saat itu saya menjawabnya sesuai dengan apa yang saya ingat saja bahwa hukumnya memang wajib, karena teman saya masih belum puas maka ia meminta saya untuk mencari kalau ada hukum lainnya. Karena saat itu saya masih punya sedikit kesibukan hingga belum sempat menindak lanjuti permintaannya.
Alhamdulillah hari ini bisa juga saya menyempatkan diri membaca kitab-kitab fiqih yang sudah agak kotor dan  berdebu karena sudah lama sekali tidak saya sentuh dan baca.
Karena mungkin hal ini juga pernah menjadi pertanyaan sebagian pembaca maka akhirnya saya membuat dan menuliskan jawabannya.

Dalam madzhab Syafi’i (demikian pula madzhab-madzhab yang lain) dalam sujud yang hukumnya wajib adalah meletakkan dahinya (meski hanya sebagian) ke tempat sujud.
Hal ini karena hadits:
إِذَا سَجَدْتَ فَمَكِّنْ جَبْهَتَكَ مِنَ اْلأَرْضِ وَلاَ تَنْقُرْ نَقْرًا
Apabila kau bersujud maka kokohkanlah  dahimu pada tanah, dan janganlah mencocokkannya.
[HR Ibnu Hibban no 1887 dari Abdullah bin Umar RA, Ibnu Hajar berkata: Imam Nawawi berkata; hadits yang tidak dikenal, dan ia menyebutkannya dalam kitab al-Khulasah dalam fasal hadits dlo’if –lihat Talkhis al-khabir hadits no 374]

Sedangkan meletakkan hidung ketika bersujud hukumnya adalah sunnah saja (kecuali dalam madhab hanbali yang mewajibkannya).
Hal ini, dikarenakan meskipun ada hadits:
أَنَّ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَجَدَ أَمْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتَهُ مِنَ اْلأَرْضِ
Sesungguhnya Nabi SAW bersujud dan mengokohkan dahi dan hidungnya pada tanah.
[HR Abu Dawud no 734 dengan sedikit perbedaan kalimat dari Abu Humaid al-Sa‘idiy]

Akan tetapi ada hadits lain yang menjadi pertanda bahwa meletakkan hidung dalam sujud hanya sunnah saja yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Jabir RA:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجَدَ بِأَعْلَى جَبْهَتِهِ عَلىَ قِصَاصِ شَعْرٍ
Aku melihat Rasulullah SAW bersujud dengan bagian atas dahinya  di atas ujung  tempat tumbuhnya rambut.
[HR al-Daraqutni no 1336, dari Jabir RA, Ibnu Hajar berkata: Di dalam sanadnya ada ‘Abdul ‘aziz bin ‘Abdullah, al-Daraqutni berkata: rowi yang tidak kuat, al-Nasai berkata: matruk (ditinggalkan  ulama). Hadits ini diriwayatkan al-Tabarani dalam Mu’jam al-Ausath dari jalur lain Abu Bakr bin Abi Maryam, dari Hakim bin ‘Umair, dari Jabir. Ibnu Hibban menganggap hadits ini cacat karena Ibnu Abi Maryam hafalannya jelek, dia meriwayatkan hadits dan salah.- lihat Talkhis hadits no: 375]

Adapun dalam hukum meletakkan kedua tangan, kedua lutut dan kedua telapak kaki dalam sujud, dalam madzhab Syafi’i  ada 2 pendapat:
1.    Tidak wajib karena seandainya wajib maka bagi orang yang tidak dapat melakukannya (‘ajz) sujud, ia akan wajib membuat isyarat pula dengan anggota-anggota tubuh ini saat sujud
Ini adalah pendapat yang masyhur dan merupakan pendapat Imam Rafi’i.
2.    Wajib
Ini adalah pendapat Imam Nawawi dan kebanyakan ulama madzhab Syafi’i belakangan ini (mutaakhkhirin) dan madzhab hambali.
Hal ini karena hadits:
أَمَرَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْضَاءٍ وَلاَ يَكُفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا: الْجَبْهَةِ، وَالْيَدَيْنِ، وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَالرِّجْلَيْنِ. 
Nabi SAW memerintahkan bersujud di atas tujuh anggota tubuh dan tidak menghalanginya rambut dan pakaian: dahi, kedua tangan, kedua tangan, kedua lutut dan kedua kaki.
[HR al-Bukhari no 809 dan Muslim no 490, dari Ibnu Abbas]

Dalam riwayat lainnya
اُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلىَ سَبْعَةِ أَعْظَمٍ: عَلىَ الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلىَ أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ، وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ 
Aku diperintahkan bersujud di atas tujuh tulang: dahi –beliau memberi isyarat dengan tangannya pada hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut dan ujung-ujung telapak kaki.
[HR al-Bukhari no 812 dan Muslim no 490, dari Ibnu Abbas]

Jika kita perhatikan, pendapat yang terkuat dari segi dalilnya adalah pendapat yang kedua, yaitu wajibnya  meletakkan ketujuh anggota tubuh (yaitu dahi, kedua tangan, kedua lutut dan kedua ujung mata kaki) ketika sujud.

Ibnu Rusyd berkata:
اِتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلىَ أَنَّ السُّجُوْدَ يَكُوْنُ عَلىَ سَبْعَةِ أَعْضَاءٍ: الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ ( اُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلىَ سَبْعَةَ أَعْضَاءٍ ). وَاخْتَلَفُوْا فِيْمَنْ سَجَدَ عَلىَ وَجْهِهِ وَنَقَصَهُ السُّجُوْدُ عَلَى عَضْوٍ مِنْ تِلْكَ اْلأَعْضَاءِ هَلْ تَبْتُطُلُ صَلاَتُهُ أَمْ لاَ؟ فَقَال قَوْمٌ: لاَ تَبْطُلُ صَلاَتُهُ ِلأَنَّ اسْمَ السُّجُوْدَ إِنَّمَا يَتَنَاوَلُ الْوَجْهَ فَقَطْ. وَقَالَ قَوْمٌ: تَبْطُلُ إِنْ لَمْ يَسْجُدْ عَلىَ السَّبْعَةِ اْلأَعْضَاءِ لِلْحَدِيْثِ الثَّابِتِ.
Para ulama sepakat bahwasanya sujud itu terjadi atas ketujuh anggota tubuh: wajah, kedua tangan, kedua lutut, dan ujung-ujung kedua kaki karena ucapan Nabi SAW: “Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh anggota tubuh.”.
Mereka berbeda pendapat dalam masalah orang yang bersujud dengan wajahnya, dan ada salah satu anggota tubuh tadi yang tidak ikut bersujud apakah shalatnya batal atau tidak?
Sebagian ulama berkata: “Shalatnya tidak batal, karena yang namanya sujud hanya mencakup wajah saja.”
Sebagian ulama berkata: “Shalatnya batal jika tidak bersujud dengan ketujuh anggota tubuh karena hadits yang tsabit (tetap).”

Selain itu ada kaidah fiqhiyyah:
الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّ

Keluar dari masalah yang diperselisihkan itu dianjurkan.

Jika kita mengikuti pendapat yang kedua ini, maka saat bersujud kita tidak wajib membuka kaki dan lutut kita, karena ini akan mengakibatkan terbukanya aurat yang menjadi sebab batalnya shalat.

Sedangankan untuk membuka tangan, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
1.    Tidak wajib membukanya
Alasannya karena tangan ini sama dengan kaki yang tidak wajib dibuka kecuali karena ada hajat (keperluan)
Ini adalah pendapat yang masyhur dan biasa disebutkan dalam kitab-kitab fiqih.
2.    Wajib
Imam Syafi’i dalam Kitab al-Sabq wa al-Ramy berkata: Ada ulama yang mengatakan bahwa ada pendapat lain, bahwa membuka tangan saat sujud hukumnya wajib karena hadits Khabbab bin al-Arats.
Mungkin yang dimaksud adalah hadits:
شَكَوْنَا إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَرَّ الرَّمْضَاءِ فَلَمْ يُشْكِنَا 
Kami mengadu kepada Rasulullah SAW akan panasnya tanah karena sinar matahari, maka beliau tidak menjawab (tidak memberi keringanan)
[HR Muslim no 619 dari Khabbab al-Arats]
Dalam riwayat Imam al-Baihaqi ada penambahan
فِى جِبَاهِنَا وَاَكُفِّنَا
Di dahi-dahi dan telapak-telapak tangan kami.


Semoga bermanfaat.



Sumber Rujukan
  1. Al-Muhadzdzab fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i, Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali al-Fairuzabadi, juz 1, hal 106-107, Dar al-Fikr, 2005 M/1425-1426 H.
  2. Kifayat al-Akhyar fi Hall Ghayat al-Ikhtishar, Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, juz 1, hal 90,  Dar al-Fikr, 1994 M/1414 H.
  3. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, ‘Abdurrahman al-Jaziri, juz 1, hal 210-211, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet ke-2, 2003 M/1434 H.
  4. Fiqh al-Sunnah, al-Sayyid Sabiq, juz 1, hal 117-118, Dar al-Fikr, cet ke-4, 1983 M/1403 H.
  5. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Ab al-Walid Muhammad bin Ahmad (Ibnu Rusyd),  hal 132, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. Ke-2, 2004 M/1425 H.
  6. Talkhis al-Khabir fi Ahadits al-Rafi’i al-Kabir, Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Ali bib Hajar, juz 1

Selasa, 01 Oktober 2013

Education Game – Petualangan


Permainan petualangan ini bisa digunakan untuk mengajak para siswa untuk mempelajari sesuatu dengan cara asyik dan menyenangkan.
Ide dasar dari permainan ini adalah kerja kelompok (beregu) untuk berpetualang agar dapat menemukan soal-soal yang telah disembunyikan guru di tempat-tempat tertentu melalui petunjuk yang dapat dibaca di bagian bawah soal.
Selain itu, yang membuat permainan ini lebih seru adalah sebagian soal-soal ini ditulis dengan bahasa sandi sehingga mengasah ketajaman otak dan kreatifitas para siswa.
Agar para siswa lebih bersemangat lagi ini tidak ada salahnya jika ada hadiah yang disediakan untuk regu yang memenangkan permainan ini.
Sebagai contoh penerapan permainan ini anda dapat mendownload file PDF-nya yang telah saya praktekkan di Madin Assalam Cepu beberapa hari yang lalu.
Dan anda bebas merubah, mengganti dan memodifikasi permainan ini sehingga dapat digunakan sesuai dengan lingkungan, kemampuan siswa dan mata pelajaran anda.
Semoga bermanfaat

Download
PDF      Doc