Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Minggu, 09 November 2014

Hadits ke-7 dari al-Jamiush Shoghir bag 5

Faidah 4

Hadits ini juga menunjukkan anjuran untuk mengucapkan lafal hasbiyallah wa ni’mal wakil (Cukuplah bagiku Allah dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung) bagi orang yang sedang tertimpa masalah atau bencana yang besar.
Nabi SAW bersabda:
إِذَا وَقَعْتُمْ فِى اْلأَمْرِ الْعَظِيْمِ فَقُوْلُوا حَبْسُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلِ
Apabila kalian tertimpa urusan (masalah) yang besar maka ucapkanlah: Cukuplah bagi kami Allah dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung.
[HR Ibn Marduwaih dari Abu Hurairah, Tafsir Ibn Katsir hal 430 juz 1, dan beliau berkata: Ini adalah hadits gharib]

Ketika Rasulullah mendengar Abu Sufyan mengumpulkan orang-orang untuk menghadangnya maka beliau berkata: Cukuplah bagi kami Allah dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung.
Lalu turunlah ayat ini:
  الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung [S. Ali Imran: 173]
Dalam suatu peristiwa, Rasulullah SAW sedang memberikan keputusan hukum kepada dua orang lelaki, dan salah satu dari mereka saat pergi berkata: hasbiyallah wa ni’mal wakil (Cukuplah bagiku Allah dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung)
Rasulullah kemudian meminta agar lelaki itu kembali, lalu beliau bertanya: Apa yang kau katakana tadi?
Orang itu berkata: hasbiyallah wa ni’mal wakil
Lalu Rasulullah berkata: Sesungguhnya Allah mencela orang yang lemah, akan tetapi cerdaslah kalian, dan apabila kalian dikalahkan oleh suatu urusan (masalah) maka katakanlah: hasbiyallah wa ni’mal wakil
[HR Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai dari ‘Auf bin Malik]

Takhrij hadits
Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh:
- Al-Khotib al-Baghdadi, dalam kitab Tarikh dalam biografi Muhammad bin Yazdad, dan beliau berkata: gharib.
- Ad-Dailami
Al-Khotib berkata: yang diketahui dalam kalangan ahli hadits (al-mahfudz) bahwa hal ini diriwayatkan mauquf (terhenti pada ucapan) Ibn Abbas.
As-Suyuti menshohihkan hadits ini.
Al-Munawi berkata: Meskipun ini adalah hadits mauquf (hadits yang disandarkan pada sahabat), tetapi hukumnya adalah hadits marfu’ (hadits yang disandarkan kepada nabi) karena tidak mungkin dikatakan berdasarkan dari akal/pendapat Ibn Abbas.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Sohihnya hadits no 4564 dari Ibn Abbas dengan lafal:
كَانَ آخِرُ قَوْلِ إِبْرَاهِيْمَ حِيْنَ أُلْقِيَ فِى النَّارِ: حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلِ
Akhir perkataan Ibrahim saat ia dilemparkan ke dalam api: “Cukuplah bagi kami Allah dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung.”

Dalam riwayat lain hadits no 4563, dari Ibn Abbas:
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ قَالَهَا إِبْرَاهِيْمُ حِيْنَ أُلْقِيَ فِى النَّارِ، وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ قَالُوْا:  إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ 
Cukuplah bagi kami Allah dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung adalah perkataan yang Ibrahim ucapkan saat ia dilempar ke dalam api, dan Muhammad SAW ucapkan saat orang-orang (Quraisy) berkata: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka",

Wallohu a’lam.

Sebelumnya
(mufrodat)      (faidah 1)     (faidah 2)      (faidah 3)
download       pdf     doc    

Hadits ke-7 dari al-Jamiush Shoghir bag 4

Faidah 3

Hadits ini juga menunjukkan betapa pentingnya sifat tawakkal bagi orang Islam yang sedang tertimpa musibah.
Tawakkal adalah percaya dengan apa yang ada di sisi Allah dan tidak mengharapkan kepada selain Allah.
Atau dengan perkataan lain, tawakkal adalah berpegang teguhnya hati kepada satu-satunya orang yang diserahi (dijadikan wakil) yaitu Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
  وَتَوَكَّلْ عَلىَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ وَكِيْلاً 
Dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung. [S. An-Nisa; 81]
  فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلىَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ، إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللهُ فَلاَ غَالِبَ لَكُمْ وَإِن يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِى يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ، وَعَلىَ اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ 
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. [S. Ali Imran: 160]

Rasulullah SAW bersabda:
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِى سَبْعُوْنَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ، هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَعَلىَ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
Akan masuk surga 70 ribu dari umatku, mereka adalah orang-orang yang tidak minta dibuatkan jimat (jampi-jampi), tidak meramalkan hal-hal buruk, tidak men-cos  (membakar kulitnya dengan besi biasanya untuk pengobatan) dan mereka bertawakkal kepada tuhan mereka. (HR Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas)

Beliau juga bersabda:
مَنْ قَالَ إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ: تَوَكَّلْتُ عَلىَ اللهِ وَلاَ خَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، يُقَالُ لَهُ: هُدِيْتَ وَوُقِيْتَ وَكُفِيْتَ وَوُقِيْتَ، فَيَقُوْلُ الشَّيْطَانُ لِشَيْطَانٍ أَخَرَ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَوُقِيَ وَكُفِيَ؟
Barangsiapa yang apabila keluar dari rumahnya berkata: Aku bertawakkal kepada Allah yang tiada daya dan kekuatan selain dengan Allah, maka dikatakan kepadanya: Kau telah mendapat petunjuk, telah dijaga dan telah dicukupi. Maka satu setan berkata kepada setan lainnya: Bagaimana (keadaannya) untukmu dengan lelaki yang telah benar-benar diberi petunjuk, dijaga dan dicukupi?
[HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Hibban dari Anas)

Beliau juga berkata:
لَو أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلىَ اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَفَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِصَامًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
Jika kalian sungguh-sungguh bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sebenarnya, maka Allah akan memberi kalian rezeki seperti halnya Allah memberi burung rezeki, ia berangkat dengan perut kosong dan kembali dengan perut kenyang.
[HR at-Tirmidzi dari Umar]

Tawakkal menurut sebagian ulama itu terdiri tiga hal:
-    Mengetahui Tuhan, sifat-sifat-Nya,  kekuasaan-Nya, pencukupan-Nya, pengaturan-Nya dan kembalinya urusan-urusan kepada ilmu-Nya, dan muncul urusan-urusan itu dari kehendak-Nya.
-    Mengikuti sebab-sebab dan musabab (perkara yang menjadi sebab)nya, dan menjalaninya.
Barangsiapa yang meniadakan sebab dan musabab ini maka tawakkalnya itu batal.
-    Berpegangan dan bersandarnya hati kepada Allah, dan berbaik sangka kepada-Nya.
Sesuai dengan persangkaan baiknya dan harapannya kepada Allah,  maka itulah ukuran tawakkalnya kepada Allah.
Karena itulah sebagian ulama menafsirkan bahwa tawakkal itu adalah berbaik sangka kepada Allah.

Sebelumnya       Selanjutnya
(mufrodat)     (faidah 1)      (faidah 2)      (faidah 4)      (takhrij)
download     doc     pdf

Hadits ke-7 dari al-Jamiush Shoghir bag 3

Faidah 2

Hadits ini menunjukkan keutamaan dari Nabi Ibrahim dan sebab mengapa ia dipilih  menjadi kekasih Allah.
Kisah antara Nabi Ibrahim dan Raja Namrudz ini terjadi lebih dari 40 abad yang lalu di negara Rafidin (sekarang Iraq) yang memiliki kebudayaan yang maju.
Namrudz merupakan salah satu raja penerus dari Hamurabi (raja yang telah berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil seperti Babilonia, Samuria, dan Akadia menjadi satu kerajaan yang besar dan kuat).
Saat itu di negara itu, para penduduknya menyembah banyak berhala seperti Nana, Ba’al dan Astun, serta berhala yang paling  besar bernama Mardukh.
Kemudian Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang kecil, lalu mengalungkan kapaknya kepada berhala yang paling besar yaitu Mardukh.
Saat para penduduk mengetahui kejadian itu, maka mereka melaporkan kejadian itu kepada raja Namrudz yang kemudian menangkap Nabi Ibrahim karena pebuatannya itu.
Ketika mereka menanyainya, maka nabi Ibrahim menjawab:  "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” [S. Al-Anbiya: 63]
Saat mereka sadar itu tidak mungkin terjadi, mereka berkata sambil tertunduk: "Sesungguhnya kau (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara." [S. Al-Anbiya: 64]
Lalu Nabi Ibrahim mencela mereka yang menyembah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan mendatangkan bahaya.
Sebagai akibatnya, Raja Namrudz memerintahkan mereka untuk membakar Nabi Ibrahim.
Al-Hakim a-Tirmidzi menceritakan bahwa saat Nabi Ibrahim diletakkan dalam manjaniq (alat perang pelempar batu jaman dahulu) di gunung untuk dilemparkan dalam api, pakaiannya dilepas dan kedua tangannya diikat ke belakang pundak, lalu ia berkata: “Cukuplah Allah bagiku”, lalu Jibril menghadap kepadanya di udara untuk menguji dan mencobanya, dan  berkata: “Apakah kau ada keperluan wahai Ibrahim?” dan saat itu Nabi Ibrahim (dalam keadaan) turun dari angkasa. Maka Nabi Ibrahim berkata: “Kalau denganmu tidak ada.”
Langit-langit, para malaikat dan para penjaga hujan menangis karena perkara yang menimpa Nabi Ibrahim,  memohon pertolongan kepada Allah ta’ala, lalu Allah memerintahkan untuk menolongnya sejak hambanya meminta pertolongan-Nya, maka Nabi Ibrahim tidak berpaling pada seorang pun dari makhluk-Nya, dan tidak kepada malaikat Jibril, hingga Allah sendirilah yang menolongnya, Allah SWT berfirman:
  قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَسَلاَمًا عَلىَ إِبْرَاهيم 
Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim. [S. Al-Anbiyaa: 69]
Malaikat Jibril menghadap Nabi Ibrahim di udara dengan menawarkan bantuannya untuk menunjukkan kesungguhan ucapan Nabi Ibrahim AS “Cukuplah Allah bagiku” dari rahasia hatinya, dan agar orang-orang yang benar sesudahnya mengetahui batas kesungguhan dari ucapan-ucapan, lalu Allah menjadikannya kekasih dan memenuhi alam semesta dengan namanya.
Nabi Ibrahim adalah orang yang pertama kali diberi pakaian di hari Kiamat karena ia ditelanjangi di dunia karena Allah, maka dimulailah (pemberian pakaian) dengannya di antara para rasul dan nabi AS
Seperti inilah ucapan ahli yakin dalam “Cukuplah Allah bagiku”.

Sebelumnya      Selanjutnya
(mufrodat)      (faidah 1)      (faidah 3)       (faidah 4)       (takhrij)
download       pdf    doc   

Hadits ke-7 dari al-Jamiush Shoghir bag 2

Faidah 1

Hadits ini menjadi dalil bagi ulama yang berpendapat terjadinya mu’arrab (masuknya bahasa selain arab ke dalam bahasa arab) baik dalam al-Quran mau pun dalam al-hadits, atau  pun yang lainnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang adanya mu’arrab dalam al-Quran.
Imam asy-Syafi’i, Ibn Jarir, Abu ‘Abdah, al-Qadhi Abu Bakr, Ibn Faris dan kebanyakan ulama lainnya menyatakan tidak terjadinya mu’arrab dalam al-Quran.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
 إِنَّا أَنْزَلْنَا قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ 
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. [S. Yusuf: 2]
Bahkan Imam Asy-Syafi’i benar-benar mengingkari pada orang yang mengatakan terjadinya mu’arrab dalam al-Quran.
Ibn Jarir berkata: Adapun apa yang diriwayatkan dari Ibn Abbas dan yang lainnya dari penafsiran lafal-lafal al-Quran dengan bahasa Persia, Habsyah, Nibti dan semisalnya adalah lafal-lafal yang disepakati dalam bahasa, yang orang Arab, Persia dan Habsyah ucapkan dalam satu lafal.
Imam asy-Syafi’i berkata dalam ar-Risalah: Tidaklah mengetahui dengan baik (semua segi) bahasa kecuali seorang nabi.
Sebagian ulama yang lain berpendapat akan terjadinya mu’arrab dalam al-Quran.
Mereka menjawab akan ayat al-Quran itu bahwa kalimat-kalimat yang sedikit selain bahasa arab tidaklah mengeluarkan al-Quran dari bahasa Arab, demikian pula qasidah bahasa Persia tidaklah keluar dari bahasa Persia meskipun di dalamnya ada lafal bahasa Arab.
Dan tentang ayat al-Quran:
 وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا أَعْجَمِيًّا لَقَالُوْا لَوْ لاَ فُصِّلَت آيَاتُهُ، ءَاعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ
Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? [S. Fushshilat: 44]
Mereka menjawab bahwa maksud ayat ini adalah: Apakah al-Quran itu bahasa selain Arab sedangkan orang yang diajak bicara adalah orang Arab.
Mereka juga berdalil bahwa ahli nahwu sepakat bahwa lafal semacam Ibrahim tidak menerima tanwin karena ‘alamiyah (nama) dan ‘ajam (bahasa selain arab)
Imam as-Suyuti menyatakan bahwa pendapat inilah yang terkuat, karena ada atsar dari Abu Maisaroh seorang tabi’in yang agung yang berkata: Dalam al-Quran ada berbagai macam bahasa.
Demikian pula perkataan Sa’ad bin Jubair dan Wahb bin Munabbih.
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa  hikmah adanya lafal-lafal ini dalam al-Quran bahwasanya al-Quran itu mengandung ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang yang terakhir, dan menceritakan akan segala sesuatu, pastilah terjadi di dalamnya isyarat akan berbagai macam bahasa agar meliputi segala sesuatu dengan sempurna, maka al-Quran memilih dari setiap bahasa lafal yang paling manis, paling ringan dan paling banyak digunakan orang arab.
Imam Suyuti berkata: Lalu aku melihat Ibn an-Naqib menyatakan hal ini dan berkata: Termasuk dari keistimewaan al-Quran dari kitab-kitab lain yang Allah turunkan adalah kitab-kitab itu (selain al-Quran)  diturunkan dengan bahasa kaum yang kepada mereka kitab itu diturunkan yang tidak diturunkan di dalamnya sesuatu dari bahasa selain mereka, dan al-Quran mengandung semua bahasa orang arab dan banyak diturunkan di dalamnya (yaitu al-Quran) dengan bahasa selain arab seperti bahasa Romawi, Persia dan Habsyah.

Sebelumya        Selanjutnya
(mufrodat)       (faidah 2)       (faidah 3)       (faidah 4)       (takhrij)
download        pdf      doc 

Hadits ke-7 dari al-Jamiush Shoghir bag 1

Hadits ke- 7

آخِرُ مَا تَكَلَّمَ بِهِ إِبْرَاهِيْمُ حِيْنَ أُلْقِىَ فِى النَّّارِ: حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ.
Ucapan terakhir diucapkan (nabi) Ibrahim saat ia dilemparkan ke api:“Cukuplah bagiku Allah dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung.”

Mufrodat
Ibrahim: nama ‘ajam (selain arab) yang kemudian masuk ke dalam bahasa arab (mu’arrab) asalnya adalah Abraham (أَبْرَاهَام  ) seperti yang dikutip oleh Sibawaih.
Tapi dalam Qomus al-Muhit: إِبْرَاهِيْم وإِبْرَاهَام وَإِبْرَاهُوْم وَأَبْرَهَم   adalah nama ‘ajam.
Menurut Ibnu al-Kammal: berdasarkan hal ini maka lafal Ibrahim tidaklah mu’arrab.
Tetapi kesepakatan ahli bahasa bahwa lafal Ibrahim termasuk isim ghoiru munshorif (kata benda yang tidak menerima tanwin) karena disebabkan oleh ‘alamiyah (nama) dan ‘ajam (selain arab) menunjukkan terjadinya mu’arrab dalam al-Quran.
As-Suyuti berkata: Ibrahim adalah nama kuno yang bukan bahasa Arab, Orang-orang arab telah mengatakannya dengan beberapa cara, yang paling masyhur adalah Ibrahim (  إِبْرَاهِيْم ), mereka juga berkata: Ibraham (  إِبْرَاهَام ). Dan ini dibaca dalam qiro’ah sab’ah. Dan Ibrahim (  إِبْرَاهِيْم ) dengan dibuang ya’-nya adalah nama (dari bahasa) Suryani yang artinya Ayah yang penyayang, berasal dari kata al-Barhamah yang artinya sangat memperhatikan, seperti yang diriwayatkan oleh al-Karmani dalam kitab ‘Ajaaib-nya.
Beliau adalah putra dari Azar (آزَر  )yang nama aslinya adalah Tarah (تَارَح  ), putra dari Nahur (نَاحُور  ) , putra dari Syarukh (شَارُوْخ  ), putra dari Raghu (راغو  ), putra dari Falakh (فالخ  ), putra dari Amir (عامر  ), putra dari Syalakh (شالخ  ), putra dari Arfakhdz ( ارفخذ   ), putra dari Sam (سام  ), putra dari Nuh (نوح  ).
Menurut al-Waqidi beliau dilahirkan 2000 tahun dari masa penciptaan nabi Adam AS.
Dalam al-Mustadrak diriwayatkan bahwa beliau berkhitan setelah berusia 120 tahun dan meninggal dalam usia 200 tahun.
Imam an-Nawawi dan yang lainnya menyebutkan suatu pendapat yang menyatakan bahwa beliau hidup selama 175 tahun.

Dilemparkan: oleh raja Namrudz. Saat itu nabi Ibrahim berusia sekitar 26 tahun, menurut kitab al-Kasysyaf dan Tarikh Ibn ‘Asakir.         

Api: (nar) materi halus yang bersinar bersifat panas dan membakar, berasal dari kata naaro yanuuru yang artinya lari karena didalamnya ada gerakan dan goncangan-goncangan.

Sebaik-baik: (ni’ma) kalimat yang menunjukkan arti berlebih-lebihan (mubalaghoh) yang menurut al-Harrani adalah kalimat yang mengumpulkan semua pujian.
Pelindung: menurut Ibnu Atsir al-wakiil adalah Dzat yang mengatur urusan dan menjamin rezeki hamba-hamba-Nya, yang pada kenyataannya Dia-lah Dzat tunggal yang yang menangani urusan yang diserahkan kepada-Nya.

Selanjutnya
(faidah 1)      (faidah 2)      (faidah 3)      (faidah 4)       (takhrij)
download      pdf      doc

Rabu, 05 November 2014

Hukum Aqiqoh yang digabungkan dengan kurban



Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya apabila ada orang-orang yang bergabung untuk membeli sapi yang akan dijadikan kurban akan tetapi salah satu dari mereka berniat untuk aqiqah, boleh atau tidak ?
Jawab:
Sebelum kita menjawab pertanyaan  ini, kita harus tahu terlebih dahulu hukum ber-aqiqah dengan hewan selain kambing, apakah ini diperbolehkan atau tidak?
Ibn al-Mundzir berkata:
وًاخْتَلَفُوا فِى الْعَقِيْقَةِ بِغَيْرِ الْغَنَمِ، فَرَوَيْنَا عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ كَانَ يَعُقُّ عَنْ وَلَدِهِ الْجَزُوْرَ، وَعَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ ابْنِهِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ جَزُوْرًا فَأَطْعَمَ أَهْلَ الْبَصْرَةِ.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah aqiqah dengan selain kambing, kami meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ia ber-aqiqah untuk anaknya seekor unta, dan kami meriwayatkan dari Abu Bakrah bahwa ia menyembelih untuk anaknya Abdurrahman seekor unta kemudian ia memberi makan penduduk Basrah.
Beliau juga berkata:
وَلَعَلَّ حُجَّةَ مَنْ رَأَى أَنَّ اْلعَقِيْقَةَ تَجْزِى بِاْلإِبِلِ وَالْبَقَرِ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ، فَأَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا.
Mungkin saja dalil yang digunakan oleh orang yang berpendapat bahwa ber-aqiqah dengan unta dan sapi itu mencukupi adalah ucapan Nabi SAW:
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ، فَأَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا
Bersamaan dengan anak  itu ada aqiqah, maka kalian alirkan darah (hewan aqiqah) darinya.
(Tuhfah al-Maudud fi Ahkam al-maulud, hal 47-48)
Ibnu Rusyd berkata:
وَأَمَّا مَحَلُّهَا فَإِنَّ جُمْهُوْرَ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ فِى الْعَقِيْقَةِ إِلاَّ مَا جَازَ فِى الضَّحَايَا مِنَ اْلأَزْوَاجِ الثَّمَانِيَةِ، وَأَمَّا مَالِكٌ فَاخْتَارَ فِيْهَا الضَّأْنَ عَلىَ مَذْهَبِهِ فِى الضَّحَايَا، وَاخْتُلِفَ قَوْلُهُ هَلْ يَجْزِى فِيْهِ اْلإِبِلُ وَالْبَقَرُ أَوْ لاَ يَجْزِى؟ وَسَائِرُ الْفُقَهَاءِ عَلىَ أَصْلِهِمْ أَنَّ اْلإِبِلَ أَفْضُ مِنَ الْبَقَرِ وَالْبَقَرَ أَفْضَلُ مِنَ الْغَنَمِ. 
Adapun tempatnya maka mayoritas ulama (menyatakan) bahwa tidak boleh ber-aqiqah kecuali dengan hewan yang diperbolehkan untuk kurban dari azwaj ats-tsamaniyah (domba, kambing, sapi dan unta). Sedangkan Imam Malik lebih memilih domba dalam aqiqah sesuai dengan madzhabnya dalam kurban. Dan ucapannya diperselisihkan dalam masalah apakah unta dan sapi mencukupi dalam aqiqah? Ahli fiqih lainnya berpendapat bahwa unta lebih utama dari sapi, dan sapi lebih utama dari kambing.
(Bidayatul Mujtahid hal 420)
As-Sayyid Abdurrahman Ba’lawi berkata:
(فَائِدَةٌ) عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ يَكْفِى فِى اْلأُضْحِيَةِ إِرَاقَةُ الدَّامِ وَلَوْ مِنْ دَجَاجَةٍ وَأَوْزٍ كَمَا قَالَهُ الْمَيْدَانِيُّ، وَكَانَ شَيْخُنَا يَأْمُرُ الْفَقِيْرَ بِتَقلِيْدِهِ، وَيَقِيْسُ عَلىَ اْلأُضْحِيَة الْعَقِيْقَةَ، وَيَقُوْلُ لِمَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ عَقِّ بِالدِّيْكَةِ           عَلىَ مَذْهَبِ ابْنِ عَبَّاسٍ  
Faidah: Dari Ibn Abbas RA sesungguhnya cukuplah dalam kurban mengalirkan darah (hewan) meskipun dari ayam dan bebek, seperti ucapan al-Maidaniy, dan guru kami memerintahkan orang yang faqir untuk mengikutinya, dan dia menyamakan aqiqah pada kurban, dan berkata kepada orang yang punya anak: “Aqiqahilah dengan ayam sesuai madzhab Ibn Abbas.  
(Bughyat al-Mustarsyidin hal 257)
Dari uraian di atas maka pendapat yang kuat adalah bolehnya beraqiqah dengan hewan selain kambing, bahkan kebanyakan ulama mengutamakan aqiqah dengan unta dan sapi daripada kambing. Sedangkan ada yang berpendapat jika orangnya tidak mampu maka ia boleh beraqiqah dengan ayam atau bebek berdasarkan madzhab Ibn Abbas.

Lalu bagaimana hukumnya apabila ada orang-orang yang bergabung untuk membeli sapi yang akan dijadikan kurban akan tetapi salah satu dari mereka berniat untuk aqiqah, boleh atau tidak ?
Abdul Malik al-Maimuniy bertanya kepada Imam Ahmad: “Apakah boleh untuk berkurban bagi seorang anak sebagai ganti aqiqah?”, Imam Ahmad berkata: “Aku tidak tahu,” lalu beliau berkata: “Ada lebih dari seorang (ulama) yang mengatakannya (memperbolehkannya).” Aku berkata: “Dari kalangan tabi’in?” Imam Ahmad berkata: ”Ya.”
Dalam riwayat lain Abdul Malik al-Maimuniy menyebutkan bahwa Imam Ahmad berkata: “Sebagian ulama berkata jika menyembelih (untuk berkurban) maka mencukupi  untuk aqiqah.”
Ahmad bin Hambal berkata: “Aku berharap bahwa kurban itu mencukupi  dari aqiqah –jika Allah menghendaki- bagi orang yang belum ber-aqiqah.”
Dalam riwayat lain beliau berkata: : “Jika ia  (menyembelih) kurban darinya, maka kurban itu mencukupi dari aqiqah.”
Hanbal (salah seorang perowi hadits) berkata: : “Aku melihat Abu Abdillah (yaitu Imam Ahmad) membeli hewan kurban, yang ia sembelih untuk dirinya dan keluarganya, dan saat itu putranya masih kecil maka dia menyembelih hewan itu. Aku merasa dia memaksudkannya untuk aqiqah dan kurban. Dan dia membagi dagingnya dan memakan sebagian darinya.”
Abdullah bin Ahmad bertanya kepada ayahnya tentang aqiqah di hari idul Adha, apakah itu mencukupi sebagai kurban dan aqiqah. Ayahnya (Imam Ahmad) berkata: “ Ada kalanya itu adalah kurban, dan adakalanya aqiqah, tergantun akan apa yang dikatakannya.
Ibn al-Qayyim berkata:
Dari (riwayat-riwayat) ini ada tiga macam pendapat dari Ima Ahmad bin Hanbal:
1.       Sembelihan itu mencukupi akan keduanya (aqiqah dan kurban)
2.       Sembelihan itu menjadi salah satu dari keduanya (aqiqah saja atau kurban saja).
3.       Sembelihan itu mauquf (tidak jelas hukumnya)
Dasar dari pendapat yang pertama, adalah bahwa kedua sembelihan itu dikarenakan dua sebab yang berbeda, maka sembelihan yang satu tidaklah mencukupi untuk sembelihan yang lainnya seperti denda mut’ah dan denda fidyah.
Dasar dari pendapat kedua, hasilnya maksud dari keduanya (aqiqah dan kurban) dengan satu sembelihan,  karena menyembelih kurban untuk anak disyariatkan seperti menyembelih aqiqah untuknya, maka jika dia menyembelih kurban dan berniat untuk aqiqah dan kurban maka keduanya terjadi, hal ini seperti kalau dia shalat dua rakaat dimana dia berniat shalat tahiyatul masjid dan shalat sunnah rawatib.
(Tuhfah al-Maudud fi Ahkam al-maulud, hal 50)

Sayyid Sabiq berkata:
قَالَ الْحَنَابِلَةُ: وَإِذَا اجْتَمَعَ يَوْمُ النَّحْرِ مَعَ يَوْمِ الْعَقِيْقَةِ فَإِنَّهُ يُمْكِنُ اْلإِكْتِفَاءُ بِذَبِيْحَةٍ وَاحدَةٍ عَنْهُمَا، كَمَا اجْتَمَعَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ وَاغْتَسَلَ ِلأَحَدِهِمَا
Para ulama madzhab Hanbali berkata: “ Apabila hari penyembelihan (kurban) berkumpul dengan hari aqiqah, maka memungkinkan untuk  mencukupkan dengan sembelihan salah satu dari keduanya (kurban dan aqiqah). Seperti halnya apabila hari raya dan hari jum’ah berkumpul (jadi satu) dan dia mandi untuk salah satunya (hari raya atau hari jum’at)
(Fiqih Sunnah hal 280, juz 3)
Syaikh Ali Bashbirin berkata:
لَوْ نَوَى الْعَقِيْقَةَ وَاْلاُضْحِيَةَ لَمْ تَحْصُلْ غَيْرُ وَاحِدَةٍ عَنْ حج وَيَحْصُلُ الْكُلُّ عن م ر
Apabila ada orang yang berniat aqiqah dan kurban maka tidaklah tercapai (kecuali) salah satunya saja menurut Ibnu Hajar al-Haitami, dan menurut Imam ar-Romli semuanya tercapai.
(Itsmad al-‘Ainain fi Ba’di ikhtilaf asy-Syaikhain hal 77)
Imam al-Bajuri berkata:
وَهَذَا مَبْنِيٌّ عَلىَ قَوْلِ الْعَلاَّمَةِ ابْنِ حَجَرٍ أَنَّهُ لَوْ أَرَادَ بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ اْلاُضْحِيَةَ وَالْعَقِيْقَةَ لَمْ يَكْفِ لَكِنَّ الَّذِى صَرَّحَ بِهِ الْعَلاَّمَةُ الرَّمْلِيُّ أَنَّهُ يَكْفِى.
Didasarkan atas ucapan Ibnu Hajar: “Kalau seseorang dengan kambing satu bermaksud untuk kurban dan aqiqah maka tidaklah mencukupi.” Akan tetapi Imam Romli menganggapnya mencukupi.
(Hasyiah al-Bajuri ‘ala Ibn Qosim al-Ghozi hal 304, juz 2)

Dari uraian tersebut di atas maka pendapat yang terkuat (menurut saya) adalah pendapat yang memperbolehkan untuk ber-aqiqah yang dilaksanakan bersamaan waktunya dengan kurban dan kedua maksud ini akan tercapai (yaitu kurban dan aqiqah) meskipun ini bukanlah pendapat yang mu’tamad (terkuat) dalam madzhab Syafi’i.
Jadi jika ada orang yang bergabung bersama-sama untuk membeli sapi untuk dijadikan kurban, dan ada salah satu dari mereka yang berniat untuk aqiqah, maka niat orang yang ber-aqiqah itu tercapai dan demikian pula niat orang-orang yang berkurban pun juga tercapai.
Wallohu a’lam bish-showab.

Jumat, 17 Oktober 2014

Kitab Taisirul Khollaq

Alhamdulillah tadi siang selesai juga saya menulis Kitab Taisirul Khollaq fi 'Ilmil Akhlaq karya Haufidz Hasan al-Mas'udiy.

Kitab ini adalah suatu kitab kecil tentang akhlak yang banyak diajarkan di pondok pesantren dan menurut saya sangat penting untuk dipelajari oleh kebanyakan umat Islam di zaman sekarang di saat kita lihat banyak sekali kemorosotan moral dan berkurangnya adab (tatakrama) di antara kita.

Kitab ini berisi sekitar 30 bab tentang masalah akhlak yang dimulai dari bab taqwa dan diakhiri dengan bab keadilan (serta ihsan). Dalam isinya kadang disertai dengan ayat-ayat al-Quran, hadits-hadits nabi dan sya'ir-syair.
Untuk memudahkan para pembacanya, saya mencoba menunjukkan nomor surat dan nomor ayat al-Quran yang ada, menyebutkan tempat para pengarang kitab yang menyebutkan hadits-hadits yang ada serta derajatnya (jika saya tahu)  dan memberi sedikit keterangan akan kata-kata yang sulit.

Mudah-mudahan amal yang kecil dan sederhana ini dapat bermanafaat.

Download
pdf     doc


Jumat, 10 Oktober 2014

Hadits ke-6 dari al-Jamiush Shoghir bag 4

Takhrij hadits
Hadits diriwayatkan dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah al-Badriy oleh:
Ibnu ‘Asakir, dalam Tarikhus Syam
dan Al-Baihaqi dalam Su’abul Iman hadits no: 7733 dan 7734

Imam as-Suyuthi melemahkan hadits ini.
Demikian pula Imam al-Bukhori melemahkan hadits ini karena lemahnya Fath al-Mishriy (salah satu perowinya).
Tapi hadits ini memiliki syahid (hadits penguat) dari riwayat al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman no 7736 dari hadits Abu Mas’ud tadi dengan lafal:
إِنَّ آخِرَ مَا بَقِيَ مِنَ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلىَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Ucapan terakhir yang tersisa dari kenabian yang pertama adalah “Jika kau tidak malu maka kerjakanlah apa pun yang kau inginkan.”
Bahkan al-Bukhori [hadits no 3483 dan 3484] meriwayatkan dari Abu Mas’ud sendiri:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Sesungguhnya salah satu perkara yang didapati orang-orang dari ucapan kenabian adalah “Jika kau tidak malu maka kerjakanlah apa pun yang kau inginkan.”

Catatan:
Dalam cetakan kitab Faidul Qodir syarah al-Jami’ush Shoghir terbitan Darul Fikr dalam keterangan hadits ini disebutkan dari riwayat Ibnu Mas’ud, mungkin saja ini salah cetak dari penerbitnya karena pada matannya disebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan dari Abu Mas’ud.

Wallohu a’lam.

Sebelumnya
(mufrodat)      (faidah 1)      (faidah 2)
Download      pdf     doc

Hadits ke-6 dari al-Jamiush Shoghir bag 3

Faidah 4
Imam al-Hulaimi menyatakan bahwa dalam hadits ini ada 2 penafsiran.
Yang pertama: Sesungguhnya tidak adanya rasa malu kan mendorong seseorang terlepas dari kendali yang tidak dapat menjamin dari dirinya akibat yang buruk. Menurut orang-orang yang berakal (sehat) penghalang terbesar dari perbuatan-perbuatan yang jelek adalah rasa penyesalan (adz-dzamm), dan ini lebih berat daripada siksaan tubuh.
Barang siapa merasa baik dengan penyesalan dan tidak mengkhawaitirkannya, maka ia tidak akan tertahan dari perbuatan yang jelek dan ia tidak behenti melakukan sesuatu hingga ia mengoyak sesuatu yang tertutup, merobek kehormatan dan kehilangan cahaya wajahnya. Ia tiada berarti dan tiada berkuasa orang-orang menganggapnya binatang dan memasukkannya ke dalam golongannya.
Maka nabi mengingatkan dengan ucapan ini bahwa meninggalkan rasa malu akan menyebabkan suatu bahaya, supaya ia berhenti (dari perbuatan yang buruk), merasakan perasaan malu yang menahannya dari peebuatan buruk dan menjadi aman (selamat) dari orang-orang yang menggunjingkannya.
Yang kedua: Jika kau tidak mengerjakan sesuatu yang membuatmu merasa malu maka tidak ada dosa bagimu untuk mengerjakan hal yang semisalnya, maka kerjakanlah apa pun yang kamu inginkan.
Penafsiran kedua ini hampir sama dengan keterangan sebelumnya tentang kaidah umum untuk menentukan antara perbuatan yang baik dan yang buruk dengan pertimbangan rasa malu.

Bisyr bin al-Hakam berkata tentang hadits ini: Ini bukanlah perbuatan orang yang fujur (tidak tahu malu) tapi (maksudnya) jika niat seseorang itu benar dan ia ingin shalat di samping orang-orang maka janganlah ia malu kepada mereka dan ia benar-benar ikhlas karena Allah. 


Faidah 5
Hadits ini juga menunjukkan kebolehan melakukan suatu ancaman kepada orang lain jika memang hal ini diperlukan atau untuk mencegah suatu perbuatan yang munkar dan jelek.
Hanya saja sebelum menggunakan ancaman ini hendaklah dipertimbangkan  dengan seksama apakah hal ini bermanfaat atau tidak? Apakah hal ini bisa membuat tujuan kita tercapai atau tidak?
Seandainya orang yang kita ancam itu mau menuruti perintah kita atau menghentikan perbuatan munkar atau jeleknya maka metode ini dapat kita gunakan.
Akan tetapi jika ancaman ini tidak dapat menghentikannya dan malah memperburuk keadaan maka sebaiknya kita jangan memakai metode ini tapi carilah cara dan metode lain yang lebih efektif dan bermanfaat.
Allah SWT berfirman:
اُدْعُ إِلىَ سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [S. An-Nahl: 125]


Sebelumnya      Selanjutnya
(Mufrodat)       (faidah 1)     (faidah 2)
Download      pdf     doc

Hadits ke-6 dari al-Jamiush Shoghir bag 2

Faidah 1
Hadits ini menunjukkan syari’at para nabi itu terbagi menjadi 2.
Syari’at yang mengalami perubahan atau penghapusan, yaitu hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan ‘amaliah (perbuatan) sehari-hari seperti makan minum, jual beli. pernikahan, dan yang lainnya.
Syari’at yang tidak mengalami perubahan dan penghapusan  yaitu hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan keyakinan (I’tiqod) dan sopan santun (akhlak).
Hal ini seperti yang dikatakan oleh nabi Isa AS dalam firman Allah SWT:
 وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَ ِلأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِى حُرِّمَ عَلَيْكُمْ
Dan (aku datang kepada kalian untuk) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan  untuk menghalalkan sebagian yang telah diharamkan untuk kalian. [S. Ali ‘Imran: 50]

Faidah 2
Hadits ini juga menunjukkan bahwa sifat malu merupakan salah satu ajaran agama Islam yang terpenting, bahkan menurut sebagian ulama hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi dasar agama Islam.
Hal ini dikarenakan ada pekerjaan yang menimbulkan rasa malu untuk mengerjakannya dan menjauhi perbuatan itu disyariatkan yaitu perbuatan yang haram, makruh atau khilaful aula (menyalahi yang utama). Dan ada pula pekerjaan yang dianjurkan untuk dikerjakan tanpa rasa malu dan perbuatan itu disyariatkan yaitu perbuatan yang wajib atau sunnah.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ وَالْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ
Malu itu semuanya baik, dan malu itu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.
Seperti yang diterangkan sebelumnya bahwa rasa malu itu terbagi menjadi 2 macam: Nafsaaniy dan Iimaniy. Adapula ulama yang menyebutnya malu Thobi’iy (sebangsa watak) dan Syar’iy (sebangsa syari’at /agama).
Jika kita tidak mengerjakan sesuatu karena rasa malu Nafsaaniy (dari tabiat diri kita) maka kita tidak mendapatkan pahala atas perbuatan ini.
Akan tetapi jika kita meninggalkan suatu perbuatan karena rasa malu Iimaniy (karena takut kepada Allah) maka kita akan mendapatkan pahala akan perbuatan kita itu.
Rasulullah SAW bersabda:
الْحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ
Malu itu sebagian dari iman.

Faidah 3
Hadits ini juga memberikan kaidah umum yang bisa dijadikan untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pekerjaan.
Jika kita hendak melakukan suatu perkara atau mengerjakan sesuatu dan kita ragu-ragu apakah kita teruskan atau tidak, maka pertimbangkanlah apakah urusan atau perbuatan itu membuat kita malu atau tidak di hadapan Allah dan rasul-Nya. Jika kita tidak merasa malu maka kerjakanlah urusan atau perbuatan itu dan janganlah perduli dengan komentar orang lain. Akan tetapi jika kita merasa malu pada Allah dan rasul-Nya maka tinggalkanlah urusan atau perbuatan itu meskipun orang-orang menganjurkannya.
Hal ini melengkapi ucapan nabi Muhammad SAW:
دَعْ مَا لاَ يَرِيْبُكَ إِلىَ مَا لاَ يَرِيْبُكَ
Tinggalkanlah perkara yang membuatmu ragu-ragu kepada perkara yang tidak membuatmu ragu-ragu.

Sebelumnya      Selanjutnya
(Mufradat)      (faidah 2)      (takhrij)
Download       pdf     doc

Hadits ke-6 dari al-Jamiush Shoghir bag 1

Hadits 6
آخِرُ مَا أدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلاُوْلىَ: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ.
Ucapan terakhir yang orang-orang dapati dari ucapan kenabian yang pertama adalah “Jika kau tidak malu maka kerjakanlah apa pun yang kau inginkan.”

Mufrodat
Orang-orang: An-naas berasal dari kata an-Naus yang artinya    bergerak, atau berasal dari kata al-Uns yang artinya karena tenang, karena sebagian orang merasa tenang dengan adanya orang lain.
Lafal an-Naas dibaca rofa menjadi fa’il (pelaku) dari adraka seperti yang disebutkan dalam semua jalur  hadits, tapi boleh juga dibaca nashob menjadi maf’ul (obyek) dari adraka artinya ucapan terakhir yang sampai kepada orang-orang. 
Dapati: al-Idraak menurut Ibnul Kammal: mengetahui dengan baik akan sesuatu  dari segala seginya dengan sempurna.  
Dari ucapan kenabian yang pertama: maksudnya ucapan yang disepakati oleh para nabi, mulai dari nabi Adam AS hingga nabi Muhammad SAW, yang tidak dihapus hukumnya dan setiap nabi pasti menganjurkannya.
Malu : yaitu menjauhkan diri sesuatu dan meninggalkannya karena khawatir dicela.
Al-Jurjani berkata: malu itu ada 2 macam:
Nafsaniy: yaitu rasa malu yang Allah ciptkan pada semua jiwa, seperti rasa malu saat auratnya terbuka dan berjima’ (bersetubuh) di hadapan orang banyak.
Iimaaniy: yaitu tercegahnya orang yang beriman untuk berbuat maksiat karena takut pada Allah SWT.
Maka kerjakanlah apa pun yang kau inginkan: ucapan ini merupakan suatu bentuk tahdid (ancaman).
Artinya kerjakanlah apa pun yang kau inginkan jika kau tidak memiliki rasa malu dan kau akan melihat akibat (hasil) yang buruk dari perbuatanmu itu.
Hal ini seperti firman Allah:
:
 إِِنَّ الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِى آيَاتِنَا لاَ يُخْفَوْنَ عَلَيْنَا، أَفَمَنْ يُلْقَى فِى النَّارِ أَمْ مَنْ يَأْتِى آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، اعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ 
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka  lebih baik ataukah orang-orang yang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [S. Fushhilat: 40]








Selanjutnya
(faidah 1)      (faidah 2)     (takhrij)
Download      pdf      doc


Minggu, 28 September 2014

Hadits ke-5 dari al-Jamiush Shoghir bag 4

Takhrij hadits
Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairoh oleh:
Al-Hakim, dalam al-Mustadrak ‘alash Shohihain, hadits no 8690
Beliau berkata: Hadits sohih sesuai dengan al-Bukhori dan Muslim, dan mereka berdua tidak meriwayatkannya.
Pendapat beliau ini disetujui oleh ad-Dzahabi, sedangkan as-Suyuti menyatakan hadits ini adalah hadits hasan.
Al-Munawi mengkrtitik al-Hakim karena penyebutan hadits ini dalam kitab Mustadraknya, demikian pula penilaian hasan as-Suyuti karena hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Bukhori dan Muslim dalam kitab sohihnya:
Berikut ini adalah lafal dari riwayat al-Bukhori dalam Kitab al-Hajj bab Man Raghiba ‘anil Madinah hadits no 1874:
يَتْرُكُونَ الْمَدِينَةَ عَلَى خَيْرِ مَا كَانَتْ لاَ يَغْشَاهَا إِلاَّ الْعَوَافِ - يُرِيدُ عَوَافِيَ السِّبَاعِ وَالطَّيْرِ - وَآخِرُ مَنْ يُحْشَرُ رَاعِيَانِ مِنْ مُزَيْنَةَ يُرِيدَانِ الْمَدِينَةَ يَنْعِقَانِ بِغَنَمِهِمَا فَيَجِدَانِهَا وَحْشًا حَتَّى إِذَا بَلَغَا ثَنِيَّةَ الْوَدَاعِ خَرَّا عَلَى وُجُوهِهِمَا
Mereka meninggalkan Madinah dalan keadaan yang yang baik, tidaklah meliputinya kecuali para pencari rezeki – maksudnya hewan buas dan burung- dan orang terakhir yang dibinasakan (meninggal) adalah dua orang penggembala dari Muzainah, mereka berdua hendak ke Madinah, keduanya meneriaki kambingnya. Maka mereka mendapatinya (telah menjadi) hewan liar, hingga keduanya sampai ke Tsaniyyatal Wada’ mereka berdua jatuh tertelungkup di atas wajahnya (meninggal dunia).

Dan Muslim meriwayatkannya dalam Kitab al-Hajj bab ke-91 Fil Madinah hiina yatrakuha ahluhaa hadits no 1389.
 
Imam al-Qosthollani dan yang lainnya menyatakan ada kemungkinan lafal آخِرُ مَنْ dan seterusnya bukanlah merupakan bagian dari hadits yang pertama yang tidak ada kaitannya dengan yang kalimat pertama.
Jika kita mengikuti pendapat ini maka al-Hakim tidaklah keliru saat menyebutkan hadits ini dalam kitab al-Mustadrak, dan penilaian hasan as-Suyuti mungkin berdasarkan sanad dari jalur al-Hakim ini bukan dari jalur al-Bukhori dan Muslim.

Wallohu a’lam.


Sebelumnya
(mufrodat)     (faidah 1)      (faidah 2)
download      doc     pdf

Hadits ke-5 dari al-Jamiush Shoghir bag 3

Faidah 3
Ucapan nabi “keduanya meneriaki kambingnya” menunjukkan kebolehannya berteriak-teriak jika memang diperlukan seperti saat menggembala, berperang, berpidato, dan yang lainnya.
Bahkan menurut sejarah asal muasal dari bahar (pola lagu) dalam syair bahasa arab adalah dari para pengendara unta.
Bahar pertama yang diucapkan dalam syair arab adalah bahar ramal yang mengikuti wazan:
فَاعِلاَتٌ فَاعِلاَتٌ فَاعِلاَتٌ ÷ فَاعِلاَتٌ فَاعِلاَتٌ فَاعِلاَتٌ
Yaitu kata-kata yang diucapkan oleh Mudlor bin Nizar ketika tangannya patah akibat jatuh dari untanya. Dalam keadaan sakit ia mengucapkan:
وَايَدَاهْ وَايَدَاهْ
Aduh tanganku! Aduh tanganku!.
Suara itu membikin untanya bertambah semangat dalam perjalanannya, yang akhirnya kemudian ditirukan oleh para kabilah Arab ketika mereka mengendarai unta, sambil berjalan mereka selalu mngucapkan:
هَيْدَا هَيْدَا
Bergeraklah! Bergeraklah!.
Dengan demikian ucapan-ucapan itu mulai berkembang menjadi potongan-potongan sajak tradisional terutama saat mereka melakukan perjalanan dagang yang menempuh jarak yang jauh dan lama. Hal ini mengundang mereka untuk berkhayal sambil melagukan  lagu-lagu sebagai pelepas lelah dan pengisi waktu dalam perjalanan itu.
Kemudian pada abad pertengahan kedua sebelum Hijriyah (antara 491-531 M) kasidah Arab disempurnakan irama dan sajaknya oleh ‘Ady bin Rabi’ah al-Muhalhil. Lalu pada awal ke-7 Masehi (antara tahun 600-630 M) syair Arab diperindah lagi oleh seorang penyair Jahiliyah yang bernama Junduh bin Hajar al-Kindy yang terkenal dengan nama “Imru-ul Qais” yang masih seketurunan dengan al-Muhalhil yaitu dari suku bani Taghlib. Dan pada zamannya syair Arab berkembang pesat sehingga banyak tokoh penyair yang muncul dari masing-masing kabilah Arab.
Bahkan para sahabat nabi saat membangun masjid Madinah ada yang bersyair:
لَئِنْ قَعَدْنَا وَالنَّبِيُّ يَعْمَلُ     ÷ لَذَاكَ مِنَّا الْعَمَلُ الْمُضَلَّلُ
Kalau kami duduk dan nabi bekerja, maka hal itu dari kami adalah perbuatan yang  sesat.
Banyak pula sahabat-sahabat yang lain yang mengucapkan syair dalam bahar rajaz:
لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْشَ اْلآخِرَةِ     ÷ اللَّهُمَ ارْحَمِِ اْلأَنْصَارِ وَالْمَهَاجِرَةْ
Tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat. Ya Allah sayangilah Anshor dan Muhajirin.
Maka rasulullah SAW pun berkata:
لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْشَ اْلآخِرَةِ، اللَّهُمَ ارْحَمِِ الْمُهَاجِرِيْنَ واْلأَنْصَارِ
Tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, ya Allah sayangilah Muhajirin dan Anshor.
Ada pula riwayat yang menyatakan bahwa beliau mengucapkan syair ini:
اَللَّهُمَّ اِنَّ اْلأَجْرَ أَجْرُ اْلآخِرَةْ ÷ فَارْجَمِ اْلأَنْصَارَ وَالْمُهَاجِرَةْ
Ya Allah sesungguhnya pahala itu adalah pahala akhirat, maka sayangilah Anshor dan Muhajirin.

Sebelumnya      Selanjutnya
(mufrodat)      (faidah 1)     (takhrij)
download     doc     pdf

Hadits ke-5 dari al-Jamiush Shoghir bag 2

Faidah 1
Hadits ini menunjukkan bahwa profesi penggembala masih akan terus dilakukan manusia hingga di hari kiamat nanti.
Profesi ini merupakan salah satu profesi terpenting dalam kehidupan manusia dan seingat saya hampir setiap nabi pasti pernah melakukan profesi ini dalam salah satu tahap kehidupannya.
Mengapa profesi ini menjadi begitu penting bagi para nabi ?
Karena dalam proses pelaksaanaan profesi ini ada beberapa hal positif yang akan berpengaruh kepada kepribadian seorang:
1.    Melatih kesabaran seseorang saat menghadapi berbagai tingkah polah hewan ternaknya, sehingga saat seorang nabi atau pemimpin menghadapi tingkah umatnya  yang beraneka ragam maka ia sudah terbiasa untuk bersabar.
2.    Menempa sifat kepemimpinan seorang karena saat ia menggembalakan hewan-hewan ternaknya ia akan berusaha mengatur dan mengurus mereka dengan sebaik dan selembut mungkin agar hewan-hewan itu menurut kepadanya sehingga kelak saat ia memimpin ia sudah terbiasa dengan sikap baik dan lembut kepada umatnya.
3.    Mengasah ketajaman indra dan akal seseorang karena saat hewan-hewan ternaknya tertimpa masalah atau terancam bahaya ia akan bertindak secepat mungkin untuk mencari jalan keluar dari masalah itu dan menjaga keselamatan hewan ternaknya. Dengan demikian saat ia menjadi pemimpin nanti ia telah terbiasa bertindak cepat dan efektif saat menghadapi masalah atau mengatasi bahaya yang menimpa umatnya.

Faidah 2
Hadits ini menunjukkan kota Madinah akan masih tetap ada hingga hari kiamat tiba.
Hal ini ditunjukkan dengan tujuan kedua penggembala ini menuju ke kota Madinah untuk mencarikan rumput untuk hewan ternaknya.
Hanya saja saat itu kota Madinah dalam keadaan kosong tidak berpenghuni karena semua orang-orang yang beriman telah meninggal dunia disebabkan oleh asap yang menyebar ke seluruh dunia.
Sedangkan pendapat yang menyatakan kedua orang ini ke kota Madinah untuk berkumpul dengan orang-orang yang beriman dan terhindar dari orang-orang yang melewati batas, maka pendapat  ini akan mengalami masalah (kontradiksi) dengan hadits bahwa kiamat tidak akan menimpa umat Islam seperti yang telah saya sebutkan sebelum dan hadits tentang asap yang membuat semua orang Islam meninggal dunia.
Imam al-Qurtubhi mengatakan apabila Allah menghendaki lehancuran dunia maka Allah akan mencabut jiwa-jiwa orang yang beriman dan mencabut nama ini –yaitu Allah- dari lidah orang-orang yang menentang,  inilah arti hadits:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَعَلىَ وَجْهِ اْلأَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ اللهْ اللهْ
Kiamat tidaklah berdiri sedangkan di atas bumi masih ada orang yang berkata Allah Allah.

Sebelumnya      Selanjutnya
(mufrodat)      (faidah 2)      (takhrij)
download     doc     pdf

Hadits ke-5 dari al-Jamiush Shoghir bag 1

Alhmadulillah setelah sempat sakit beberapa hari lamanya akhirnya saya dapat meneruskan terjemahan hadits al-Jam'iush Shogir meski sekarang masih dalam keadaan proses penyembuhan.

=====================

Hadits 5
آخِرُ مَنْ يُحْشَرُ رَاعِيَانِ مِنْ مُزَيْنَةَ، يُرِيْدَانِ الْمَدِيْنَةَ، يَنْعَقَانِ بِغَنَمِهِمَا فَيَجِدَانِ وُحُوْشًا، حَتىَّ إِذَا بَلَغَا ثَنِيَّةَ الْوَدَاعِ خَرَّا عَلىَ وُجُوْهِمَا.
Orang terakhir yang dibinasakan (meninggal) adalah dua orang penggembala dari Muzainah, mereka berdua hendak ke Madinah, keduanya meneriaki kambingnya. Maka mereka mendapatinya (telah menjadi) hewan liar, hingga keduanya sampai ke Tsaniyyatal Wada’ mereka berdua jatuh tertelungkup di atas wajahnya (meninggal dunia).

Mufrodat
Digiring: Al-hasyr menurut bahasa  mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (adl-dlomm), menurut istilah adalah menggiring dari arah yang berbeda-beda ke tempat yang satu.    
Menurut az-Zamakhsyari: al-hasyr adalah menggiring orang-orang ke padang mahsyar.
Menurut saya definisi beliau ini kurang tepat karena di dalamnya ada daur (lingkaran/berbelit-belit) karena kata mahsyar sendiri tidak diketahui artinya sebelum kita mengetahui arti hasyr.
Penggembala: menurut bahasa artinya penjaga hewan, baik dari segi makanannya atau menjaganya dari musuh yang menyerangnya. Kemudian lafal ini digunakan untuk orang yang menggiring hewan baik miliknya sendiri atau milik orang lain.  
Muzainah : suku dari bani Qudlo’ah, namanya Ibnu Zaid bin Laits bin Suud  bin Aslum bin al-Haaf bin Qudlo’ah.
Ada pula yang  berpendapat namanya adalah Zaid bin Laits.
Mereka menempati daerah Bashroh dan Kufah.
Dalam riwayat lain seorang lelaki dari Juhainah dan seorang lelaki dari Muzainah.
Hendak: ke Madinah untuk menetap di sana bersama orang-orang yang beriman dan menjaga diri dari orang-orang yang melewati batas atau pergi ke sana untuk mencari rumput untuk hewan ternaknya.
Menurut saya pendapat kedua-lah yang lebih tepat, karena jika kita mengikuti pendapat yang pertama berarti kedua penggembala orang itu termasuk orang yang beriman dan kemudian akan menjadi orang yang terakhir meninggal di hari kiamat, padahal hadits-hadits menunjukkan bahwa kiamat akan menimpa kepada orang-orang yang tidak beriman dan tidak akan dialami oleh orang-orang yang beriman.
Madinah: Kota Madinah memiliki sekitar 100 nama lain, di antaranya Thoobah (baik/bagus), Thiibah (yang bagus/baik atau yang paling utama dari sesuatu), Thoyyibah, Thooyib (keduanya berarti yang baik/bagus), Darul Akhyar (kampung orang-orang pilihan/baik),  Darul Abrar (kampung orang-orang  baik), Darul Iman (kampung Iman), Darus Sunnah (kampung sunnah), Darus Salaamah (kampung keselamatan), Darul Fath (kampung kemenangan), Darul Hijrah (kampung hijrah) dan yang lainnya.
Banyaknya nama kota Madinah menunjukkan akan kemuliaan kota Madinah.
Imam Nawawi berkata:Tidak diketahui ada kota  yang memiliki nama lebih banyak dari Madinah dan Makkah.
Meneriaki: lafal na’aqa bisa mengikuti wazan mana’a yamna’u atau dloroba yadlribu, artinya meneriaki atau membentak binatang ternaknya untuk menggiring atau menghalaunya.
Mendapatinya: dhomir Ha pada lafal yajidaaniha bisa kembali kepada binatang ternak maka arti dari lafal wuhuusyan adalah menjadi binatang liar seperti dalam terjemahan hadits di atas.
Dapat pula dhomir Ha kembali ke kota Madinah, maka lafal wuhuuysan berarti berubah keadaannya, artinya mereka mendapati kota Madinah dalam keadaan kosong atau sepi tanpa ada seorang pun.
Pendapat kedua ini dianggap kuat oleh Imam Nawawi, sedangkan Ibnu Hajar memilih untuk menguatkan pendapat yang pertama.
Tsaniyyatul Wada’: berasal dari dua kata: Tsaniyyah yang berarti jalan perbukitan, atau gunung dan wada’ yang artinya perpisahan.
Ini adalah nama tempat setelah tanah haram (mulia) Madinah, dinamakan demikian karena orang-orang yang akan berpisah dengan orang yang akan bepergian berjalan bersama-sama dari kota Madinah ke tempat tersebut. Ini adalah nama lama di jaman jahiliyyah.
Jatuh tertelungkup di atas wajahnya: dalam keadaan meninggal dunia karena mengalami sambaran tiupan sangkakala yang pertama.
Imam al-Munawi menyatakan bahwa ini jelas menunjukkan bahwa keduanya menjumpai hari kiamat.




Selanjutnya
(faidah 1)     (faidah 2)     (takhrij)
download      doc      pdf

Kamis, 11 September 2014

Hadits ke-4 dari al-Jamiush Shoghir bag 3

Faidah 3
Penyebutan nama Madinah daripada Yatsrib memberi isyarat pada kita jika akan memberikan nama pada sesuatu, entah itu anak, tempat, kendaraan atau pun yang lainnya maka hendaknya dengan nama yang baik sebagai tafa-ul (pengharapan nasib baik) dari sesuatu yang kita namai tadi.
Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ
Sesungguhnya Allah itu bagus, dan mecintai kebagusan.
Beliau juga bersabda:
حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى وَالِدِهِ أَنْ يُحْسِنَ اسْمَهُ وَيُحْسِنَ مُرْضِعَهُ وَيُحْسِنَ آدَبَهُ
Hak anak pada orang tuanya adalah untuk memperbagus namanya, memperbagus susuannya, dan memperbagus adab (tatakrama)nya.
Disebutkan dalam banyak riwayat Nabi Muhammad SAW sering mengganti nama sahabat yang punya arti jelek dengan nama baru yang punya arti yang baik seperti yang disebutkan dalam kitab Tuhfatul Wadud fi Ahkamil Maulud-nya Ibnu al-Qoyyim.


Takhrij hadits
Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairoh oleh

At-Tirmidzi, di bagian akhir kitab beliau, bab ma jaa-a fi fadlil madinah,  hadits no 4011
Beliau berkata: Hadits hasan ghorib, tidak kami ketahui kecuali dari hadits Junadah dari Hisyam.
Imam as-Suyuti mendhoifkan hadits ini, dan al-Munawi menyetujuinya, karena a-Tirmidzi dalam kitab al-‘Ilal bertanya kepada al-Bukhori tentang Junadah dan beliau tidak mengetahuinya. Sekelompok ulama dengan mantap melemahkan Junadah, di antaranya adalah al-Muzani. Ibnu Hajar berkata: Shoduq (jujur) memiliki beberapa kekeliruan.

Wallohu a’lam.





Sebelumnya
(Mufrodat)     (faidah 1)
Download      doc      pdf


Hadits ke-4 dari al-Jamiush Shoghir bag 2

Faidah 1
Hadits ini menunjukkan bahwa kelangsungan hidup umat Islam tergantung pada kota Madinah.
Ada yang mengatakan bahwa kota Madinah akan selalu ramai hingga hari kiamat tiba.
Al-Munawi berkata: sesungguhnya dalam hadits ini tidak ada dalalah (petunjuk) akan hal ini. Karena tidak disebutkan di dalamnya bahwa desa-desa orang kafir akan runtuh sebelum runtuhnya desa-desa orang Islam yang akhirnya merupakan reruntuhan Madinah. Hal ini dapat disimpulkan dari kandungan hadits sesudahnya (yaitu hadits  no 5 yang Insya Allah akan menyusul terjemahannya). Ada pun penyebutan Islam tidaklah dimengerti maksudnya, karena sesudah turunnya Nabi Isa, maka akan menghapuskan jizyah (pajak) dan memerangi orang-orang kafir sehingga semua desa akan menjadi  desa Islam.
Menurut saya, penyebutan Islam dalam hadits ini untuk menunjukkan bahwa Madinah merupakan desa terakhir dari desa-desa Islam lainnya yang akan mengalami asap yang akan membuat semua orang Islam meninggal dunia. Dan setelah semua orang Islam meninggal maka tinggallah orang-orang kafir yang akan hidup tanpa aturan hingga datanglah hari kiamat

Faidah 2
Hadits ini menunjukkan keutamaan kota Madinah dari kota-kota yang lain.
Nabi SAW bersabda:
الْمَدِيْنَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ، لاَ يَدَعُهَا أَحَدٌ رَغْبَةً عَنْهَا إِلاَّ أَبْدَلَ اللهُ فِيْهَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ، وَلاَ  يَثْبُتُ أَحَدٌ عَلَى َلأْوَائِهَا وَجَهْدِهَا إِلاَّ كُنْتُ لَهُ شَفِيْعًا، أَوْ شَهِيْدًا، يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Madinah itu lebih baik bagi mereka jika mereka tahu. Tidaklah seseorang meninggalkannya karena benci padanya kecuali Allah akan menggantikannya dengan orang yang lebih baik darinya. Tidaklah seseorang menetap (kuat) akan  kesulitan (kesempitan hidup) dan kepayahannya kecuali aku akan menjadi penolong atau saksi baginya di hari kiamat.
Beliau juga bersabda:
وَلاَ يُرِيْدُ أَحَدٌ أَهْلَ الْمَدِيْنَةِ بِسُوْءٍ إِلاَّ أَذَابَهُ اللهُ فِى النَّارِ ذَوْبَ الرَّصَاصِ أَوْ ذَوْبَ الْمِلْحِ فِى الْمَاءِ
Dan tidaklah seseorang yang bermaksud buruk kepada penduduk Madinah kecuali Allah akan mencairkannya di neraka seperti pencairan timah atau pencairan garam dalam air.
Beliau juga bersabda akan penduduk Madinah:
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ قِى مِكْيَالِهِمْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِى صَاعِهِمْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِى مُدِّهِمْ
Ya Allah berkatilah takaran mereka, berkatilah sho’ mereka, dan berkatilah mud mereka.
1 mud = 0,6 ons
1 sho’ = 4 mud.

Bahkan beliau juga bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَمُوْتَ بِالْمَدِيْنَةِ فَلْيَفْعَلْ فَإِنِّيْ أَشْهَدُ لِمَنْ مَاتَ بِهَا
Barang siapa di antara kalian mampu untuk meninggal di Madinah, maka hendaklah ia melakukannya, karena sesungguhnya aku akan menjadi saksi bagi orang yang meninggal di dalamnya.
Dan masih banyak hadits-hadits lainnya yang menunjukkan keutamaan kota Madinah.

Sebelumnya      Selanjutnya
(Mufrodat)     (Faidah 2)       Takhrij
Download     doc      pdf

Hadits ke-4 dari al-Jamiush Shoghir bag 1

Hadits 4

آخِرُ قَرْيَةٍ مِنْ قُرَى اْلإِسْلاَمِ خَرَابًا الْمَدِيْنَةُ.
Desa terakhir dari desa-desa Islam adalah reruntuhan Madinah.

Mufrodat
Desa  : menurut bahasa artinya pengumpulan atau perhimpunan, desa (qoryah) disebut demikian karena berkumpulnya orang-orang di dalamnya.
Islam : menurut bahasa artinya tunduk (khudu’) atau menurut (inqiyaad).
Dalam istilah menurut al-Jurjani: tunduk dan menurut akan apa yang diberitakan oleh rasulullah SAW.
Dalam kitab al-Kasysyaf disebutkan: sesungguhnya segala sesuatu yang merupakan pengakuan dengan lisan tanpa disertai dengan kesepakatan (persetujuan) hati disebut dengan Islam, dan apa yang disepakati oleh hati dengan lisan disebut dengan Iman.
Al-Jurjani menyatakan ini adalah pendapat Imam Syafi’i, sedangkan menurut pendapat Abu Hanifah tidak ada perbedaannya.
Reruntuhan : (Khorob) yaitu hilangnya keramaian dan kesibukan penduduknya.
Madinah :  menurut bahasa berasal dari kata madana yang artinya menempati, atau benteng yang didirikan di tengah-tengah bumi. Lalu diartikan kota karena banyaknya orang-orang yang menempatinya.
Dapat pula berasal dari kata daana artinya taat, karena ditaatinya raja/kepala pemerintahan di dalamnya.
Madinah adalah daerah dimana banyak rumah di dalamnya yang melebihi qoryah (desa) dan tidak sebesar mishr (kota).
Jika nama Madinah disebutkan dengan alif lam maka biasanya yang dimaksud adalah kota tempat kediaman Nabi Muhammad SAW yang sering disebut dengan al-Madinah al-Munawwaroh.
Madinah memiliki banyak nama diantaranya: Thayyibah dan  Thabah (keduanya berarti baik). Dulu kota ini sering disebut dengan Yatsrib, nama yang tidak disukai oleh nabi karena kata ini bisa berasal dari kata Tatsrib yang berarti menjelekkan atau menghinakan, atau dari kata Tsarab yang artinya rusak, sedangkan nabi lebih suka dengan nama yang baik dan membenci nama yang buruk.
Batas kota Madinah menurut nabi:
Dari sebelah selatan dan  utara: antara bukit ‘Ayr dan bukit Tsur (± 15 km)
Dari sebelah timur dan barat: antara 2 labah Madinah.
Labah adalah tanah yang diliputi oleh bebatuan hitam, salah satunya berada di sebelah timur Madinah dan salah satunya berada di sebelah barat.

Selanjutnya
(Faidah 1)     (faidah 2)      (Takhrij)
Download     pdf     doc  

Kamis, 04 September 2014

Ringkasan Kitab Qowaidul I'lal dan Terjemahnya

Shorof merupakan salah satu ilmu bahasa Arab  yang penting untuk dipelajari selaian Nahwu.
Seperti yang sering kita dengan bahwa kalau Nahwu itu Bapaknya bahasa Arab maka Shorof itu adalah Ibunya.
Salah satu bagian ilmu Shorof yang terpenting adalah I'lal yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu kata karena suatu kondisi yang  tertentu.
Salah satu kitab I'lal yang terpenting adalah kitab Qowaidaul I'lal karya salah seorang ulama Indonesia yang terkenal yaitu K. Mundzir Nadzir.
Kitab ini memuat 19 Kaidah i'lal yang terpenting dan sebaiknya diketahui oleh orang yang mempelajari bahasa Arab dan satu peringatan tentang kaidah yang pertama.
Untuk memudahkan hapalan dan mempelajari kaidah-kaidah ini, saya menulis kembali kitab ini dengan membuang isinya yang berbahasa jawa dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Semoga amal yang kecil ini dapat bermanfaat.

Download bahasa Arab
pdf         doc

Download bahasa Indonesia
pdf         doc

Hadits ke-3 dari al-Jamiush Shoghir bag 3

Faidah 5
Hadits ini juga menunjukkan siksaan neraka bagi orang- orang beriman yang berdosa tidaklah kekal (abadi).
Kecuali bagi orang yang menyekutukan Allah, karena Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik  dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu. [S. an-Nisaa: 48]
Sedangkan pendapat sebagian umat Islam yang berpendapat bahwa orang beriman yang masuk neraka akan tetap berada di dalamnya dan tidak akan pernah keluar adalah pendapat yang tidak tepat dan tidak didasari oleh dalil-dalil yang kuat.
Adapun ayat-ayat yang menunjukkan pelaku suatu kejahatan akan kekal di neraka (misalnya kekalnya pembunuh orang Islam dengan sengaja dalam surat an-Nisaa ayat 93) menurut ulama hukumnya telah dinasakh oleh ayat al-Quran di atas tadi.

Faidah 6
Pernyataan bahwa orang kafir akan berada di neraka dan mengalami siksaan selamanya adalah pendapat mayoritas ulama baik salaf maupun kholaf berdasarkan ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits nabi Muhammad SAW.
Sebagian ulama yang menyatakan bahwa neraka akan hancur (binasa) karena Allah telah menjadikannya waktu yang ada batasnya kemudian akan hilang siksaannya berdasarkan firman Allah :
النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِيْنَ فِيْهَا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ
Neraka itulah tempatmu tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain). [S. al-An’aam: 128]
خَالِدِيْنَ فِيْهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلاَرْضُ إِلاَّ مَا شَاءَ رَبُّكَ
Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi kecuali jika Tuhanmu menghendaki yang lain. [S. Huud: 107]
لاَ ِبِثِيْنَ فِيْهَا أَحْقَابَا
Mereka tinggal berabad-abad lamanya [S. an-Naba: 23]
Lafal ahqaab jamak dari hiqb yaitu 80 tahun. Satu tahun adalah 360 hari. 1 hari di akhirat sama dengan seribu tahun penduduk dunia.
Ibnu Taimiyyah telah mengutip riwayat pendapat hancurnya neraka dari Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Amr. Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, al-Hasan al-Bashri, Hammad bin Salamah dan yang lainnya.
‘Abd bin Humaid telah meriwayatkan dengan perowi-perowi yang terpercaya dari Umar:
لَوْ لَبِثَ أَهْلُ النَّارِ فِى النَّارِ عَدَدَ رَمَلٍ عَالِجٍ لَكَانَ لَهُمْ يَوْمٌ يَخْرُجُوْنَ فِيْهِ
Seandainya para penduduk neraka tinggal di dalam neraka sebanyak jumlah pasir yang kasar pasti ada hari dimana mereka keluar dari dalam neraka.
Dan dari Ibnu ‘Amr bin al-‘Ash
لَيَأْتِيَنَّ عَلىَ جَهَنَّمَ يَوْمٌ تُصْفَقُ فِيْهِ أَبْوَابُهَا لَيْسَ فِيْهَا أَحَدٌ
Akan datang bagi neraka Jahanam suatu hari  pintu-pintunya dibuka dan tidak ada seorang pun di dalammya.
Imam al-Baghawi dan yang lainnya juga meriwayatkannya dari Abu Hurairah dan sahabat yang lain.
Ibnu al-Qoyyim menyokong pendapat ini sebagaimana gurunya Ibnu Taimiyyah, akan tetapi ini adalah pendapat yang matruk (ditinggalkan) dan mahjuur (dijauhi) yang tidak diikuti atau dilihat para ulama.
Mereka telah menakwilkan ayat-ayat al-Quran di atas sebanyak kurang lebih 20 cara, dan hadits-hadits yang disebutkan di atas berkaitan dengan neraka orang-orang beriman yang beriman yang nerakanya berbeda dengan orang-orang kafir.
Demikian pula penggunaan lafal ahqaaba, menurut  Imam ar-Razi orang-orang Arab kadang memakai lafal ini untuk sesuatu yang kekal.


Takhrij hadits
Hadits diriwayatkan dari Abdullah bin Umar oleh:
Al-Khotib al-Baghdadi dalam Ruwat Malik (Para perowi Imam Malik), dari dua jalur:
  • Dari hadits Abdullah bin Hakam, dari Malik, dari Nafi, dari Ibnu Umar,
  • Dari Jami’ bin Siwar, dari Zuhair bin ‘Ibad, dari Ahmad bib al-Husain al-Lahabi, dari Abdul Malik bin al-Hakam
Ad-Daraquthni meriwayatkan dua jalur ini dalam Gharaa-ib Maalik, dan ia berkata: Ini adalah hadits yang bathil, dan Jami’ itu dhoif (lemah) demikian pula Abdul Malik.

Dan dari Anas bin Malik
Ibnu Hajar dalam Fathul bari berkata al-Uqoili meriwayatkan dari jalur yang dho’if dari Anas

Imam as-Suyuti mendhoifkan hadits ini.

Catatan:
Lafal hadits yang benar menurut Imam  al-Munawi:
آخِرُ مَنْ يَدْحُلُ الْجَنَّةَ رَجُلٌ مِنْ جُهَيْنَةَ يُقَالُ لَهُ "جُهَيْنَةَ"، فَيَقُوْلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ: عِنْدَ جُهَيْنَةَ الْخَبَرُ الْيَقِيْنُ، سَلُوْهُ هَلْ بَقِيَ أَحَدٌ مِنَ الْخَلاَئِقِ يُعَذَّبُ؟ فَيَقُوْلُ: لاَ.  
Orang yang terakhir masuk surga adalah seorang lelaki dari Juhainah yang dipanggil “Juhainah:, maka para penghuni surga berkata: ”Di sisi Juhainah ada berita yang menyakinkan, tanyailah apakah masih ada seorang makhluk yang disiksa ? Maka ia menjawab: Tidak.

Wallohu a’lam.

Sebelumnya       Awal
(Mufrodat)      (faidah 1)      (faidah 2)
Download      doc     pdf