Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Jumat, 17 Oktober 2014

Kitab Taisirul Khollaq

Alhamdulillah tadi siang selesai juga saya menulis Kitab Taisirul Khollaq fi 'Ilmil Akhlaq karya Haufidz Hasan al-Mas'udiy.

Kitab ini adalah suatu kitab kecil tentang akhlak yang banyak diajarkan di pondok pesantren dan menurut saya sangat penting untuk dipelajari oleh kebanyakan umat Islam di zaman sekarang di saat kita lihat banyak sekali kemorosotan moral dan berkurangnya adab (tatakrama) di antara kita.

Kitab ini berisi sekitar 30 bab tentang masalah akhlak yang dimulai dari bab taqwa dan diakhiri dengan bab keadilan (serta ihsan). Dalam isinya kadang disertai dengan ayat-ayat al-Quran, hadits-hadits nabi dan sya'ir-syair.
Untuk memudahkan para pembacanya, saya mencoba menunjukkan nomor surat dan nomor ayat al-Quran yang ada, menyebutkan tempat para pengarang kitab yang menyebutkan hadits-hadits yang ada serta derajatnya (jika saya tahu)  dan memberi sedikit keterangan akan kata-kata yang sulit.

Mudah-mudahan amal yang kecil dan sederhana ini dapat bermanafaat.

Download
pdf     doc


Jumat, 10 Oktober 2014

Hadits ke-6 dari al-Jamiush Shoghir bag 4

Takhrij hadits
Hadits diriwayatkan dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah al-Badriy oleh:
Ibnu ‘Asakir, dalam Tarikhus Syam
dan Al-Baihaqi dalam Su’abul Iman hadits no: 7733 dan 7734

Imam as-Suyuthi melemahkan hadits ini.
Demikian pula Imam al-Bukhori melemahkan hadits ini karena lemahnya Fath al-Mishriy (salah satu perowinya).
Tapi hadits ini memiliki syahid (hadits penguat) dari riwayat al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman no 7736 dari hadits Abu Mas’ud tadi dengan lafal:
إِنَّ آخِرَ مَا بَقِيَ مِنَ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلىَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Ucapan terakhir yang tersisa dari kenabian yang pertama adalah “Jika kau tidak malu maka kerjakanlah apa pun yang kau inginkan.”
Bahkan al-Bukhori [hadits no 3483 dan 3484] meriwayatkan dari Abu Mas’ud sendiri:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Sesungguhnya salah satu perkara yang didapati orang-orang dari ucapan kenabian adalah “Jika kau tidak malu maka kerjakanlah apa pun yang kau inginkan.”

Catatan:
Dalam cetakan kitab Faidul Qodir syarah al-Jami’ush Shoghir terbitan Darul Fikr dalam keterangan hadits ini disebutkan dari riwayat Ibnu Mas’ud, mungkin saja ini salah cetak dari penerbitnya karena pada matannya disebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan dari Abu Mas’ud.

Wallohu a’lam.

Sebelumnya
(mufrodat)      (faidah 1)      (faidah 2)
Download      pdf     doc

Hadits ke-6 dari al-Jamiush Shoghir bag 3

Faidah 4
Imam al-Hulaimi menyatakan bahwa dalam hadits ini ada 2 penafsiran.
Yang pertama: Sesungguhnya tidak adanya rasa malu kan mendorong seseorang terlepas dari kendali yang tidak dapat menjamin dari dirinya akibat yang buruk. Menurut orang-orang yang berakal (sehat) penghalang terbesar dari perbuatan-perbuatan yang jelek adalah rasa penyesalan (adz-dzamm), dan ini lebih berat daripada siksaan tubuh.
Barang siapa merasa baik dengan penyesalan dan tidak mengkhawaitirkannya, maka ia tidak akan tertahan dari perbuatan yang jelek dan ia tidak behenti melakukan sesuatu hingga ia mengoyak sesuatu yang tertutup, merobek kehormatan dan kehilangan cahaya wajahnya. Ia tiada berarti dan tiada berkuasa orang-orang menganggapnya binatang dan memasukkannya ke dalam golongannya.
Maka nabi mengingatkan dengan ucapan ini bahwa meninggalkan rasa malu akan menyebabkan suatu bahaya, supaya ia berhenti (dari perbuatan yang buruk), merasakan perasaan malu yang menahannya dari peebuatan buruk dan menjadi aman (selamat) dari orang-orang yang menggunjingkannya.
Yang kedua: Jika kau tidak mengerjakan sesuatu yang membuatmu merasa malu maka tidak ada dosa bagimu untuk mengerjakan hal yang semisalnya, maka kerjakanlah apa pun yang kamu inginkan.
Penafsiran kedua ini hampir sama dengan keterangan sebelumnya tentang kaidah umum untuk menentukan antara perbuatan yang baik dan yang buruk dengan pertimbangan rasa malu.

Bisyr bin al-Hakam berkata tentang hadits ini: Ini bukanlah perbuatan orang yang fujur (tidak tahu malu) tapi (maksudnya) jika niat seseorang itu benar dan ia ingin shalat di samping orang-orang maka janganlah ia malu kepada mereka dan ia benar-benar ikhlas karena Allah. 


Faidah 5
Hadits ini juga menunjukkan kebolehan melakukan suatu ancaman kepada orang lain jika memang hal ini diperlukan atau untuk mencegah suatu perbuatan yang munkar dan jelek.
Hanya saja sebelum menggunakan ancaman ini hendaklah dipertimbangkan  dengan seksama apakah hal ini bermanfaat atau tidak? Apakah hal ini bisa membuat tujuan kita tercapai atau tidak?
Seandainya orang yang kita ancam itu mau menuruti perintah kita atau menghentikan perbuatan munkar atau jeleknya maka metode ini dapat kita gunakan.
Akan tetapi jika ancaman ini tidak dapat menghentikannya dan malah memperburuk keadaan maka sebaiknya kita jangan memakai metode ini tapi carilah cara dan metode lain yang lebih efektif dan bermanfaat.
Allah SWT berfirman:
اُدْعُ إِلىَ سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [S. An-Nahl: 125]


Sebelumnya      Selanjutnya
(Mufrodat)       (faidah 1)     (faidah 2)
Download      pdf     doc

Hadits ke-6 dari al-Jamiush Shoghir bag 2

Faidah 1
Hadits ini menunjukkan syari’at para nabi itu terbagi menjadi 2.
Syari’at yang mengalami perubahan atau penghapusan, yaitu hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan ‘amaliah (perbuatan) sehari-hari seperti makan minum, jual beli. pernikahan, dan yang lainnya.
Syari’at yang tidak mengalami perubahan dan penghapusan  yaitu hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan keyakinan (I’tiqod) dan sopan santun (akhlak).
Hal ini seperti yang dikatakan oleh nabi Isa AS dalam firman Allah SWT:
 وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَ ِلأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِى حُرِّمَ عَلَيْكُمْ
Dan (aku datang kepada kalian untuk) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan  untuk menghalalkan sebagian yang telah diharamkan untuk kalian. [S. Ali ‘Imran: 50]

Faidah 2
Hadits ini juga menunjukkan bahwa sifat malu merupakan salah satu ajaran agama Islam yang terpenting, bahkan menurut sebagian ulama hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi dasar agama Islam.
Hal ini dikarenakan ada pekerjaan yang menimbulkan rasa malu untuk mengerjakannya dan menjauhi perbuatan itu disyariatkan yaitu perbuatan yang haram, makruh atau khilaful aula (menyalahi yang utama). Dan ada pula pekerjaan yang dianjurkan untuk dikerjakan tanpa rasa malu dan perbuatan itu disyariatkan yaitu perbuatan yang wajib atau sunnah.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ وَالْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ
Malu itu semuanya baik, dan malu itu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.
Seperti yang diterangkan sebelumnya bahwa rasa malu itu terbagi menjadi 2 macam: Nafsaaniy dan Iimaniy. Adapula ulama yang menyebutnya malu Thobi’iy (sebangsa watak) dan Syar’iy (sebangsa syari’at /agama).
Jika kita tidak mengerjakan sesuatu karena rasa malu Nafsaaniy (dari tabiat diri kita) maka kita tidak mendapatkan pahala atas perbuatan ini.
Akan tetapi jika kita meninggalkan suatu perbuatan karena rasa malu Iimaniy (karena takut kepada Allah) maka kita akan mendapatkan pahala akan perbuatan kita itu.
Rasulullah SAW bersabda:
الْحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ
Malu itu sebagian dari iman.

Faidah 3
Hadits ini juga memberikan kaidah umum yang bisa dijadikan untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pekerjaan.
Jika kita hendak melakukan suatu perkara atau mengerjakan sesuatu dan kita ragu-ragu apakah kita teruskan atau tidak, maka pertimbangkanlah apakah urusan atau perbuatan itu membuat kita malu atau tidak di hadapan Allah dan rasul-Nya. Jika kita tidak merasa malu maka kerjakanlah urusan atau perbuatan itu dan janganlah perduli dengan komentar orang lain. Akan tetapi jika kita merasa malu pada Allah dan rasul-Nya maka tinggalkanlah urusan atau perbuatan itu meskipun orang-orang menganjurkannya.
Hal ini melengkapi ucapan nabi Muhammad SAW:
دَعْ مَا لاَ يَرِيْبُكَ إِلىَ مَا لاَ يَرِيْبُكَ
Tinggalkanlah perkara yang membuatmu ragu-ragu kepada perkara yang tidak membuatmu ragu-ragu.

Sebelumnya      Selanjutnya
(Mufradat)      (faidah 2)      (takhrij)
Download       pdf     doc

Hadits ke-6 dari al-Jamiush Shoghir bag 1

Hadits 6
آخِرُ مَا أدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلاُوْلىَ: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ.
Ucapan terakhir yang orang-orang dapati dari ucapan kenabian yang pertama adalah “Jika kau tidak malu maka kerjakanlah apa pun yang kau inginkan.”

Mufrodat
Orang-orang: An-naas berasal dari kata an-Naus yang artinya    bergerak, atau berasal dari kata al-Uns yang artinya karena tenang, karena sebagian orang merasa tenang dengan adanya orang lain.
Lafal an-Naas dibaca rofa menjadi fa’il (pelaku) dari adraka seperti yang disebutkan dalam semua jalur  hadits, tapi boleh juga dibaca nashob menjadi maf’ul (obyek) dari adraka artinya ucapan terakhir yang sampai kepada orang-orang. 
Dapati: al-Idraak menurut Ibnul Kammal: mengetahui dengan baik akan sesuatu  dari segala seginya dengan sempurna.  
Dari ucapan kenabian yang pertama: maksudnya ucapan yang disepakati oleh para nabi, mulai dari nabi Adam AS hingga nabi Muhammad SAW, yang tidak dihapus hukumnya dan setiap nabi pasti menganjurkannya.
Malu : yaitu menjauhkan diri sesuatu dan meninggalkannya karena khawatir dicela.
Al-Jurjani berkata: malu itu ada 2 macam:
Nafsaniy: yaitu rasa malu yang Allah ciptkan pada semua jiwa, seperti rasa malu saat auratnya terbuka dan berjima’ (bersetubuh) di hadapan orang banyak.
Iimaaniy: yaitu tercegahnya orang yang beriman untuk berbuat maksiat karena takut pada Allah SWT.
Maka kerjakanlah apa pun yang kau inginkan: ucapan ini merupakan suatu bentuk tahdid (ancaman).
Artinya kerjakanlah apa pun yang kau inginkan jika kau tidak memiliki rasa malu dan kau akan melihat akibat (hasil) yang buruk dari perbuatanmu itu.
Hal ini seperti firman Allah:
:
 إِِنَّ الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِى آيَاتِنَا لاَ يُخْفَوْنَ عَلَيْنَا، أَفَمَنْ يُلْقَى فِى النَّارِ أَمْ مَنْ يَأْتِى آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، اعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ 
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka  lebih baik ataukah orang-orang yang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [S. Fushhilat: 40]








Selanjutnya
(faidah 1)      (faidah 2)     (takhrij)
Download      pdf      doc