Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Selasa, 26 Agustus 2014

Hadits ke-2 dari al-Jamiush Shoghir bag 4

Faidah 4
Ucapan malaikat: ”Untukmulah aku diperintahkan agar tidak membuka (pintu surga) bagi seorang pun sebelum dirimu.
Menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang pertama kali memasuki surga di hari qiamat.
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَلاَ أَقُوْمُ ِلأَحَدٍ بَعْدَكَ
Dan aku tidak berdiri untuk seorang pun setelah anda.
Berdirinya malaikat ini untuk menunjukkan betapa tingginya kedudukan dan keistimewaan Nabi Muhammad SAW di sisi Allah SWT.
Adapun ucapan Nabi Muhammad SAW kepada Bilal:
بِمَ سَبَقْتَنِىْ ؟ فَمَا دَخَلْتُ الْجَنَّةَ إِلاَّ سَمِعْتُ خَشْخَشَتَكَ أَمَامَىْ
Oleh sebab apakah kau mendahuluiku? Tidaklah aku masuk surga kecuali aku mendengar suara gerakanmu di depanku.
Karena ini adalah mimpi, dan mimpi nabi adalah benar, maksud dari hadits ini adalah isyarat bahwa Bilal berhak masuk surga karena ia termasuk orang-orang yang masuk Islam lebih dahulu dan mengalami penyiksaan karenanya dan masuknya Bilal ke dalam surga akan benar-benar terjadi. Hal ini tidak menunjukkan bahwa Bilal lebih dahulu masuk surga dari nabi Muhammad SAW, hanya menunjukkan keutamaan dari Bilal.
Demikian pula riwayat yang menyebutkan masuknya Nabi Idris ke surga setelah beliau meninggal, karena yang dimaksud di sini adalah orang yang pertama kali masuk surga setelah hari kiamat.Selain itu nanti Nabi Idris pun akan berada di padang mahsyar untuk diminta pertanggung jawaban akan umatnya seperti nabi-nabi yang lainnya.
Demikian pula riwayat-riwayat tentang orang-orang yang masuk surga pertama kali yang lainnya, tidak bertentangan dengan hadits ini karena biasanya dapat ditakwilkan dengan arti yang lain. Dan seandainya tidak dapat ditakwilkan, maka hadits ini lebih kuat karena diriwayatkan dari beberapa jalur sedang hadits-hadits  yang lain merupakan hadits ahad yang tidak sekuat ini.



Faidah 5
Hadits ini juga menunjukkan betapa sempurnanya kenikmatan yang Allah berikan kepada penduduk surga.
Hal ini disebabkan dengan adanya penjaga surga, padahal menurut logika hal ini tidak diperlukan, karena surga terlepas dari kekurangan, aman dari pencurian atau kekurangan, dan terjaga keadaannya.
Adanya penjaga surga ini untuk menyempurnakan kenikmatan penduduk dengan memberikan perasaan aman pada mereka dan memberikan perasaan percaya penuh bahwa mereka telah mendapatkan hak-hak mereka yang telah dijaga oleh malaikat sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia.

Takhrij hadits
Hadits diriwayatkan dari Anas bin Malik oleh:
  • Imam Ahmad hadits no: 12491
  • Muslim kitab al-Iman, bab ke-85, hadits no: 197
  • Abd’ bin Humaid (Kasyful Khofa’ hadits no: 2)

Imam as-Suyuti mensohihkan hadits ini.

Wallohu a’lam.
Awal     Sebelum    
(Mufrodat)     (Faidah 1)     (Faidah 2)
Download      doc      pdf

Hadits ke-2 dari al-Jamiush Shoghir bag 3

Faidah 3
Ucapan nabi: “Muhammad” saat ditanya malaikat penjaga: “Siapa kamu?”
Hal ini memberikan tuntunan bahwa saat tuan rumah bertanya siapa yang bertamu (demikian pula saat kita menelpon orang), maka kita sebaiknya menyebutkan nama kita bukan berkata: “Saya atau Aku.”
Karena dalam perkara ini ada beberapa faidah:
Pertama, karena dalam pemakaian kata “saya” biasanya menunjukkan adanya unsur egoisme yang besar pada pembicaranya, dan menurut pemikiran tasawuf di dalamnya ada unsur mengagungkan diri (kibriya’) atau kesombongan (fakhr) yang merupakan salah satu sifat yang tercela (madzmumah) dan harus dihilangkan.
Rasulullah SAW berkata:
اْلكِبْرِيَاءُ رِدَائِيْ وَاْلعُظْمَةُ إِزَارِيْ، فَمَنْ نَازَعَنِيْ وَاحِدًا مِنْهُمَا أَلْقَيْتُهُ  فىِ النَّارِ
Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah selimut-Ku, barang siapa yang menyerupai salah satu dari keduanya maka Aku akan melemparkannya ke dalam neraka.
Beliau juga bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فىِ قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji-bijian.
Sebagian ulama dan kalangan tasawuf memakruhkan penggunaan lafal “saya /aku” karena berpegangan pada hadits ini.
Ibnu al-Jauzi berkata: lafal “saya/aku” tidaklah terlepas dari semacam (unsur) kesombongan  seakan-akan ia berkata “Aku tidak perlu menyebutkan namaku dan nasabku karena ketinggian kedudukanku.”
Imam Nawawi berkata: tidaklah mengapa berkata “aku syeikh si fulan” atau “aku si hakim” jika tidak bisa dibedakan dengan orang lain kecuali dengannya dan ia terlepas dari kesombongan dan takabbur.
Faidah kedua, untuk menunjukkan kepada tuan rumah dengan siapa ia akan bertemu atau berbicara. Sehingga andai ia sedang tidak berjumpa maka ia bisa mmilih untuk menerima kita atau tidak.
Faidah ketiga, untuk mengingatkan tuan rumah dengan siapa ia akan berbicara, karena merupakan salah satu hal yang wajar bila ada seseorang yang lupa akan nama orang lain, sehingga ia tidak akan keliru menyebut nama orang lain saat bicara pada kita yang akan menyebabkan ia malu.

Sebelum       Sesudah
(Mufrodat)      (Faidah 1)     (Faidah 3)     (Takhrij)

Download      doc      pdf

Hadits ke-2 dari al-Jamiush Shoghir bag 2

Faidah 1
Hadits ini bahwa nabi Muhammad adalah orang yang pertama kali memasuki surga.
Dari ucapan beliau “agar dibukakan” menunjukkan bahwa beliau tahu akan hal ini dan merasa pasti akan haknya yang istimewa ini.
Hanya saja beliau tetap meminta ijin untuk dibukakan untuk menunjukkan betapa pentingnya kedudukan adab (kesopanan) dalam agama Islam.
Rasulullah bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ سَيِّءُ الْمَلَكَةِ
Tidaklah masuk surga orang yang bertabiat buruk.
Para ulama berkata:
التَّوْحِيْدُ يُوْجِبُ اْلإِيْمَانَ، فَمَنْ لاَ إِيْمَانَ لَهُ لاَ تَوْحِيْدَ لَهُ. وَاْلإِيْمَانُ يُوْجِبُ الشَّرِيْعَةَ، فَمَنْ لاَ شَرِيْعَةَ لَهُ لاَ إِيْمَانَ لَهُ وَلاَ تَوْحِيْدَ لَهُ. وَالشَّرِيْعة تُوْجِبُ اْلأَدَبَ، فَمَنْ لاَ أَدَبَ لَهُ لاَ شَرِيْعَةَ لَهُ وَلاَ إِيْمَانَ لَهُ وَلاَ تَوْحِيْدَ لَهُ.
Tauhid itu mewajibkan adanya iman (kepercayaan), maka barangsiapa tidak beriman maka tiadalah tauhid baginya. Dan keimanan itu mewajibkan adanya syariat (aturan-aturan agama), maka barangsiapa yang tidak bersyariat maka tiadalah iman dan tauhid baginya. Dan  syariat itu mewajibkan adanya adab (tata krama), maka barang siapa yang tidak punya adab maka tiadalah syariat, iman dan tauhid baginya.

Faidah 2
Hadits ini juga menunjukkan bahwa adab saat bertamu ke rumah orang lain selain salam adalah dengan cara mengetuk pintu rumahnya.
Hal ini disebutkan dalam hadits yang sama yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
آخُذُ بِحَلَقَةِ الْبَابِ فَأَقْرَعُ
Aku memegang tali pintu dan mengetuknya.
Dan ini juga merupakan cara para penghuni surga saat masuk ke dalam surga seperti yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori:
أَنَا أَوَّلُ مَنْ أَقَرْعُ بَابَ الْجَنَّةِ
Aku adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu surga.
Termasuk adab saat mengetuk pintu adalah dengan cara berdiri di samping pintu bukan di tengah pintu. Hal ini dilakukan agar kita tidak melihat apa sedang yang terjadi di dalam rumah yang mungkin tidak diperbolehkan syariat atau tidak disukai tuan  rumah untuk dilihat orang lain.


Sebelum       Selanjutnya
(Mufrodat)      (Faidah 2)     (Faidah 3)      (Takhrij)
Download      doc      pdf

Hadits ke-2 dari al-Jamiush Shoghir bag 1

Hadits 2

آتِى بَابَ الْجَنَّةِ [يَوْمَ الْقِيَامَةِ] فَأَسْتَفْتِحُ. فَيَقُوْلُ اْلخَازِنُ: مَنْ أَنْتَ؟ فَأَقُوْلُ: مُحَمَّدٌ. فَيَقُوْلُ: بِكَ اُمِرْتُ أَنْ لاَ أَفْتَجَ  ِلأَحَدٍ قَبْلَكَ.
Aku mendatangi pintu surga [di hari kiamat]  agar dibukakan, maka (malaikat) penjaga berkata: Siapakah kamu? Aku berkata: Muhammad. Maka penjaga itu berkata: Untukmulah aku diperintahkan agar aku tidak membuka (pintu surga) bagi seorang pun sebelum dirimu.

Mufrodat
Datang  : penggunaan lafal Aati (aku datang) dalam hadits ini menunjukkan kedatangan beliau ke surga dengan cara pelan-pelan (tidak tergesa-gesa) dan dengan aman tanpa keletihan (kepayahan).
Ar-Roghib berkata bahwa ityan adalah datang dengan cara yang mudah.

Pintu : tempat masuk sesuatu 

Surga : kata yang menunjukkan bilangan (ismul marrah) dari jann yang berarti menutupi. Surga disebutkan untuk pepohonan yang memberikan naungan (bayangan) karena berkumpul (melingkarnya) cabang-cabangnya dan menutupi sesuatu di bawahnya.
Imam az-Zamakhsyari menyatakan bahwa surga nama untuk semua tempat (pemberian) pahala, yang meliputi akan banyak surga, yang disusun dengan banyak tingkatan sesuai dengan hak-hak orang yang beramal, dan di tiap tingkatannya ada surga (tersendiri).
Ibnu al-Qoyyim berkata bahwa surga memiliki 17 nama, dan banyaknya nama ini menunjukkan kemuliaannya. Yang pertama adalah nama umum ini jannah (surga) yang mencakup tempat itu dan kenikmatan-kenikmatan di dalamnya, al-bahjah (kesenangan). as-suruur (kegembiraan), qurrotul ‘ain (kegembiraan karena melihat sesuatu yang menyenangkan), darus salam (tempat keselamatan dari setiap cobaan),  darulloh (tempat Allah), darul khuld (tempat keabadian),  darul iqomah (tempat menetap),  jannatul makwa (surga tempat kembali), jannatu ‘adn (surga tempat berdiam),  firdaus (kebun, taman, nama ini kadang disebutkan untuk seluruh surga atau nama surga yang paling tinggi tingkatannya), jannatun na’im (surga kenikmatan), al-maqomul amin (tempat yang aman), maq’adu sidq (tempat yang disenangi), qodamu siqd (kedudukan yang tingggi) dan nama-nama lain yang disebutkan dalam al-quran.

Kiamat : masdar dari kata qooma (berdiri) yakni qiyam yang kemudian diberi ta’ yang menunjukkan arti mubalaghoh (berlebih-lebihan), yaitu nama untuk waktu setelah kehancuran alam semesta dan dibangkitkannya para makhluk dari kematiannya.

Penjaga     :    Seseorang yang dipercayai untuk melindungi atau memelihara sesuatu

Selanjutnya

(Faidah 1)      (Faidah 2)      (Faidah 3)       (Takhrij)
Download      doc      pdf
      

Minggu, 17 Agustus 2014

Hadits ke-1 dari al-Jami'ush Shoghir bagian 5

 Takhrij Hadits
Hadits diriwayatkan dari Umar bin al-Khottob oleh:
Al-Bukhori meriwayatkan dalam 7 tempat dalam kitab sohihnya:
  • Muqaddimah, bab ke 1, hadits no: 1
  • Kitab (2) Iman, bab ke 41,  hadits no: 54
  • Kitab (49) al-‘Itq, bab ke 6,  hadits no: 2529
  • Kitab (63) al-Anshor, bab ke 45,  hadits no: 3898
  • Kitab (67) an-Nikah, bab ke 5,  hadits no: 5070
  • Kitab (83) al-Aiman wan Nudzur, bab ke 23,  hadits no: 6689
  • Kitab (90) al-hiyal, bab ke 1,  hadits no:6953

Muslim kitab al-Jihad , bab ke 45, hadits no: 1907
At-Tirmidzi kitab al-Jihad, bab ke 16,  hadits no: 1698
Abu Dawud kitab ath-Tholaq, bab ke 11,  hadits no: 2201
An-Nasai kitab al-Aiman, bab ke 19,  hadits no: 3794
Ibnu Majah kitab az-Zuhd bab ke 26,  hadits no: 4227

Dan diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri oleh:
Abu Na’im dalam Hilyatul Auliya, halaman 1121
Ad-Daraquthni dalam Gharaib Malik

Dan diriwayatkan dari Anas bin Malik oleh:
Ibnu Asakir dalam Amaali

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh:
Ar-Rosyid al-Aththor dari juz Takhrijnya.
(menurut al-Munawi  mungkin yang dimaksud as-Suyuti adalah dalam mu’jamnya ar-Rasyid)

Hadits ini telah diriwayatkan dari 33 sahabat dan tidak ada yang sohih kecuali hadits dari Umar menurut Imam al-Iraqi dan putranya.
Imam al-Iraqi, an-Nawawi dan Ibnu Hajar berkata: hadits fard gharib  bila ditinjau (dari satu sisi) dan masyhur bila ditinjau (dari sisi yang lain).
Mereka bertiga berkata: Hadits ini ini termasuk hadits sohih yang diriwayatkan oleh perorangan, yang tidak sohih kecuali dari hadits ‘Umar, dan tidak sohih dari Umar kecuali dari riwayat ‘Alqomah, dan tidak sohih dari ‘Alqomah kecuali dari riwayat at-Taimiy, dan tidak sohih dari at-Taimiy kecuali riwayat dari Yahya bin Sa’id.
Dan dari Yahya hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 200 orang dan kebanyakan dari mereka adalah Imam-imam hadits, bahkan menurut Ibnu al-Madini dan Abdul Ghoni al-Maqdisi bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh 700 orang dari Yahya.

Wallohu a’lam.

Awal       Sebelumnya
( Mufrodat )      ( Asbabul Wurud )     ( Faidah 1 )     ( Faidah 2 )     ( Faidah 3 )

Download    doc   pdf

Hadits ke-1 dari al-Jami'ush Shoghir bagian 4

Faidah yang ke enam
Ucapan nabi SAW: “Maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia berhijrah kepadanya.” memberikan isyarat bahwa amal-amal yang dikerjakan bukan karena Allah (tidak ikhlas) maka tidak akan mendapatkan pahala.
Jika seseorang pergi haji dengan maksud untuk berdagang atau pergi mencari ilmu dengan maksud mencari kedudukan atau kekuasaan, maka ia tidak mendapatkan pahala akan haji atau mencari ilmunya.
Ini jika pendorong utamanya untuk berhaji adalah berdagang, akan tetapi jika pendorong utama adalah haji dan dalam hajinya ia berdagang maka ia tetap mendapat pahala akan tetapi kurang apabila dibandingkan dengan orang yang pergi haji secara murni.
Allah SWT berfirman:
 لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. [S. al-Baqoroh: 198]
Apabila yang mendorongnya untuk pergi haji adalah keduanya (haji dan dagang) maka ada kemungkinan  ia mendapatkan pahala.
Dan ada kemungkinan pula ia tidak mendapat pahala karena telah mencampur amal akhirat dengan amal dunia.

Faidah yang ke tujuh
Hadits ini juga memperingatkan kepada kita agar berhati-hati dengan fitnah dunia terutama wanita karena ia telah disebutkan secara khusus oleh beliau.
Rasulullah SAW bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Tidaklah kutinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi lelaki daripada wanita.
Rasulullah SAW berkata kepada para wanita:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَسْلَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْكُنَّ
Tidaklah aku melihat dari orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih menarik hati lelaki yang cerdas daripada kalian (para wanita).

Sebelumnya       Selanjutnya
( Mufrodat )       ( Asbabul Wurud )      ( Faidah 1 )      ( Faidah 2 )      ( Takhrij )

Download   doc   pdf

Hadits ke-1 dari al-Jami'ush Shoghir bagian 3

Faidah yang keempat
Hadits ini juga merupakan sumber pokok (asal) agar beramal dengan ikhlas.
Karena dalam hadits disebutkan: “ Dan bagi setiap orang (balasan akan) apa yang telah ia niatkan.”
Jika kita beramal semata-mata karena Allah, maka kita akan mendapatkan pahala dan keridloan dari Allah.
Dan jika kita beramal karena selain Allah, maka kita akan mendapatkan hal itu, tetapi kita tidak akan mendapatkan pahala dan keridloan dari Allah.
Dan jika amal  itu merupakan ibadah, meskipun secara lahir telah menggugurkan kewajiban, maka ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah dan bahkan kita akan mendapatkan siksaan dari Allah karena kita telah menyekutukan ibadah kepada Allah dengan yang lain.
Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
أَنَا أَغْنىَ الشُّرَكَاءِ، فَمَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ غَيْرِى فَأَنَا بَرِئٌ مِنْهُ
Aku tidaklah memerlukan sekutu, barangsiapa yang  beramal dengan menyekutukan Aku dengan yang lain, maka Aku berlepas diri darinya.
Imam as-Samarqondi berkata: Perbuatan yang dikerjakan karena Allah akan diterima, dan perbuatan yang dikerjakan karena manusia akan ditolak.
Misalnya jika seseorang sholat Dluhur dengan bermaksud melaksanakan kewajiban Allah akan tetapi ia memperlama rukun-rukunnya, memperlama bacaannya dan memperbagus keadaannya. Maka sholatnya itu diterima Allah (artinya ia sudah menggugurkan kewajibannya) , sedangkan panjang dan kebagusan shalatnya tidak diterima Allah.
Imam Nawawi berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa niat adalah timbangan sahnya amal. Maka apabila niatnya baik maka amal itu pun menjadi baik, dan apabila niatnya buruk maka amal itu pun menjadi buruk. Dan apabila suatu amal ditemukan dan dibarengi dengan niat, maka dalam hal ini ada 3 keadaan:

  • Ia mengerjakannya karena takut kepada Allah SWT, ini adalah ibadahnya seorang budak.
  • Ia mengerjakannya karena mencari surga dan pahala, ini adalah ibadahnya seorang pedagang.
  • Ia mengerjakannya karena malu kepada Allah SWT, menjalankan hak seorang hamba, menjalankannya karena bersyukur kepada Allah, dan ia melihat dirinya dalam ibadah itu masih kurang dan hatinyaa merasa takut apakah ibadahnya diterima atau tidak, ini adalah ibadahnya orang-orang pilihan.

Faidah yang kelima:
Hadits ini juga memberikan petunjuk kepada kita akan pentingnya hijrah (pindah)
Hijrah yang dimaksud di sini bukanlah hijrah dari tempat kelahiran kita ke kota Madinah karena rasululllah SAW bersabda:
لاَ هِجْرَةَ  بَعْدَ الْفَتْحِ لَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ
Tidak ada hijrah setelah terbukanya kota Mekkah akan tetapi jihad dan niat.
Karena setelah terbukanya kota Mekah maka kota Mekkah telah menjadi Darul Islam (wilayah Islam) dengan demikian tidak perlu adanya hijrah lagi. Selain hijrah ke Madinah disebabkan karena di sana ada rasulullah SAW dan setelah beliau meninggal maka hijrah ke sana tidak diperlukan lagi.
Hijrah yang dimaksud di sini adalah hijrah dari keburukan menuju ke kebaikan.
Jika tempat tinggal kita terasa tidak baik dan tidak mendukung ibadah kita, dan kita tidak merasa mampu untuk merubah atau memperbaikinya, maka sebaiknya kita hijrah ke tempat yang baik suasananya dan lebih mendukung kita untuk beribadah.
Demikian pula jika teman-teman kita terasa kurang baik mampu untuk merubah atau mengajak mereka ke kebaikan, maka sebaiknya kita hijrah mencari teman-teman yang lebih baik dan lebih mendukung kita untuk beribadah
Imam Ibnu al-‘Arabi berkata  : Para ulama membagi pergi di dalam bumi karena lari dan mencari menjadi 6 bagian:
  • Keluar dari darul harb (negara perang) ke darul Islam (negara Islam), ini masih berlaku hingga hari kiamat.
  • Keluar dari tempat yang banyak perbuatan bid’ahnya.
  • Keluar dari tempat yang banyak perkara haramnya, karena mencari yang halal itu wajib bagi setiap orang Islam.
  • Keluar dari tempat di mana badannya disakiti.
  • Keluar dari tempat yang tertimpa (wabah) penyakit ke tempat yang bebas (dari penyakit).
  • Keluar dari tempat akan keselamatan hartanya, karena kehormatan harta orang Islam sama dengan kehormatan jiwanya.
Adapun keluar di bumi untuk mencari maka terbagi menjadi 9, yaitu:
  • Perjalanan untuk mencari ibarat (renungan) seperti keluarnya Dzul Qornain di dunia untuk melihat keajaiban-keajaiban dunia.
  • Perjalanan untuk Haji
  • Perjalanan untuk berjihad
  • Perjalanan untuk mencari nafkah
  • Perjalanan untuk berdagang dan bekerja yang lebih dari kebutuhan pokok
  • Perjalanan untuk mencari ilmu
  • Perjalanan untuk (mengunjungi) tempat-tempat yang mulia
  • Perjalanan ke tempat-tempat yang dikhawatirkan mendapat serangan musuh dan ke markas tentara
  • Perjalanan untuk berkunjung kepada saudara
Sebelumnya     Selanjutnya
( Mufrodat )      (Asbabul Wurud)       ( Faidah 1 )     ( Faidah 3 )      ( Takhrij )

Download   doc   pdf


Hadits ke-1 dari al-Jami'ush Shoghir bagian 2

Asbabul Wurud

Pada zaman nabi SAW ada seorang lelaki melamar wanita yang dipanggil Ummu Qais (namanya Qoilah) maka wanita itu tidak mau dinikahi kecuali kalau lelaki mau berhijrah ke Madinah, lalu berhijrahlah lelaki itu ke Madinah dan kemudian lelaki itu dikenal dengan sebutan Muhajir Ummi Qois. 


Faidah hadits
Faidah yang pertama:
Hadits ini merupakan salah satu sumber ajaran pokok (asal) dari agama Islam.
Imam Syafi’i, Ahmad, Ibnu al-Madini, Ibnu Mahdi, Abu Dawud, ad-Daraquthni dan imam-imam yang lain menyatakan bahwa hadits ini adalah sepertiga dari ilmu.   Ada yang mengatakan seperempat ilmu.
Imam al-Baihaqi menjelaskan bahwa perbuatan seseorang itu terjadi dengan hatinya, lidahnya dan anggota tubuhnya. Niat adalah salah satu bagian bagian dari perbuatan itu dan merupakan yang paling penting, yang terkadang menjadi ibadah yang tersendiri dan perbuatan yang lain memerlukannya. 
Menurut saya, mengapa hadits ini termasuk dalam sepertiga agama Islam, karena ajaran agama Islam itu dapat dibagi menjadi tiga bagian: keyakinan (I’tiqod), ibadah (Fiqh) dan budi pekerti (Akhlak/Tasawuf).

  • Keyakinan itu kita laksanakan dengan akal pikiran.
  • Ibadah itu kita laksanakan dengan anggota tubuh.
  • Budi pekerti itu kita laksanakan dengan hati.
Karena niat itu dilakukan dengan hati, maka bisa dikatakan bahwa ini adalah sepertiga dari ajaran agama Islam.
 
Faidah yang kedua:
Para ulama berbeda pendapat tentang perkiraan (taqdir) lafal yang dibuang dari kalimat  “Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) dengan niatnya”.
Sebagian ulama terutama dalam madzhab Syafi’i memperkirakan lafal yang dibuang adalah: sah.
Jadi menurut mereka arti hadits adalah:
“Sesungguhnya (sahnya) amal-amal itu (tergantung) dengan niatnya”.
Karena itu dalam madzhab Syafi’i semua amal itu harus disertai dengan niat. Jika amal itu tidak disertai dengan niat, maka amal itu hukumnya tidak sah.
Sebagian ulama (termasuk Imam Abu Hanifah) memperkirakan lafal yang dibuang adalah: sempurna.
Jadi menurut mereka arti hadits adalah:
“Sesungguhnya (sempurnanya) amal-amal itu (tergantung) dengan niatnya”.
Karena itu mereka tidak mensyaratkan adanya untuk amal yang yang sifatnya meninggalkan sesuatu seperti menghilangkan najis.
Amal yang bersifat meninggalkan sesuatu maka tetap sah akan tetapi tidak akan mendapatkan pahala kecuali jika ia berniat.
Demikian pula untuk ibadah yang tidak ada bandingannya dengan perbuatan sehari-hari seperti wudlu maka tidak disyaratkan adanya niat.
Sedangkan untuk amal yang ada bandingannya dengan perbuatan biasa seperti mandi, disyaratkan adanya niat agar bisa dibedakan antara ibadah dan kebiasaan.


Faidah yang ketiga:
Hadits ini juga menjadi salah satu dasar dari lima kaidah fiqh yang utama, yaitu:  
اْلاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
Sesungguhnya perkara-perkara itu tergantung dari tujuannya.
Misalnya jika kita makan dengan diniati untuk menguatkan tubuh kita saat beribadah maka perbuatan makan kita itu akan mendapat pahala. Dan jika kita makan karena akan berbuat maksiat atau kejahatan, maka perbuatan makan kita akan mendapat dosa. Dan jika kita tidak berniat apa-apa saat makan, maka kita tidak mendapat pahala atau dosa dari perbuatan makan kita itu.
Demikian pula jika saat kita akan tidur kita berniat untuk shalat malam, dan kemudian kita tertidur hingga pagi dan tidak shalat malam, maka kita tetap mendapat pahala dari niat tersebut.
Rasulullah SAW berkata:
نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
Niat seorang mukmin itu lebih baik dari amalnya.

Sebelumnya         Selanjutnya
( Mufrodat )     ( Faidah 2 )        ( Faidah 3 )       ( Takhrij )      

download   doc   pdf 

Hadits ke-1 dari al-Jami'ush Shoghir bagian 1

Assamu'alaikum Wr. Wb.

Para pengunjung  blog PP Assalam yang saya hormati dan saya cintai, Insya Allah mulai bulan ini saya akan memposting terjemahan hadits-hadits dari kitab al-Jami'ush Shogir karya Imam as-Suyuthi. Saya akan berusaha setiap minggu untuk mencoba setidaknya akan menerjemahkan paling tidak satu hadits beserta penjelasannya dan takhrij haditsnya sesuai dengan kemampuan saya.

Postingan ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah:
  • Membuat saya gara agar giat kembali belajar dan membaca
  • Membantu  teman-teman untuk memahami hadits-hadits nabi dan kandungannya
  • Mengingatkan dan memberikan nasehat diri saya sendiri dan kepada para sahabat yang lain
  • Mencoba menghidupkan tradisi menulis di antara kita
Dalam penulisannya saya akan berusaha memilahnya menjadi beberapa bagian:
  • Arti hadits secara umum
  • Penjelasan kata-kata dalam hadits (Mufrodat) jika diperlukan
  • Sebab-sebab dari hadits (Asbabul Wurud) jika ada
  • Faidah dari hadits
  • Periwayat (Takhrij) hadits dan kedudukannya

Hadits 1



إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ        إِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ الدُّنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلىَ مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) dengan niatnya, dan bagi setiap orang (balasan akan) apa yang telah ia niatkan. Barang siapa hijrah (pindah) karena Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya itu karena Allah dan rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrah karena dunia maka ia akan mendapatkannya, dan barang siapa yang hijrah karena wanita maka ia akan menikahinya. Maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia berhijrah kepadanya.
 

Mufrodat


  • Amal : gerakan badan yang mencakup perkataan dan terkadang meliputi akan gerakan jiwa, tapi yang dimaksud dengan amal di sini adalah gerakan anggota tubuh.  Imam Nawawi membatasi amal dalam hadits ini dengan amal-amal ketaatan bukan amal-amal yang mubah.
  • Niat :  bermaksud untuk melakukan suatu. Menurut syara’  niat adalah bermaksud untuk mengerjakan sesuatu bersamaan dengan melakukan pekerjaan tersebut. Apabila tidak dibarengi dengan pekerjaan itu dan ada selang waktu, maka maksud itu disebut dengan ‘Azm bukan Niat.
  • Hijrah : menurut bahasa kata benda dari Hajr (memutus/meninggalkan) kebalikan dari Washl (menyambung). Kemudian lafal ini sering digunakan untuk keluar dari satu tempat ke tempat yang lain, dan meninggalkan tempat yang pertama ke tempat yang kedua. Yang dimaksud dengan hijrah dalam hadits ini adalah berpindah dari tempat asalnya untuk pergi ke Madinah tempat rasulullah SAW.
  • Dunia : semua makhluk  yang wujud sebelum kehidupan akhirat. Dunia juga merupakan nama  untuk kehidupan kita ini sebelum kehidupan akhirat. 
Selanjutnya
( Asbabul Wurud )      ( Faidah  1)      ( Faidah  2)      ( Faidah  3)      ( Takhrij )   

Download  doc   pdf