Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Rabu, 24 Juni 2015

Hukum Memakan Semut



Beberapa hari sebelum ramadlan tiba, salah seorang teman datang ke rumah setelah janjian untuk minta tolong diketikkan do’a sehabis tahiyat akhir yang rencananya mau diberikan pada jama’ah  pengajiannya. Setelah omong-omong ngalor-ngidul, tidak sengaja kita membahas tentang trend ternak dan komsumsi semut Jepang untuk kesehatan yang terjadi di Cepu, yang bahkan ada sebagian pengurus NU yang melakukannya. Padahal menurut ingatannya, dulu orang tuanya pernah cerita kalau makan semut itu bisa menyebabkan gampang lupa. Untuk menjawabnya, maka akhirnya saya ambilkan kitab Hayatul Hayawan al-Kubro nya Kamaluddin Muhammad bin Musa ad-Damairiy dan saya suruh membaca di pasal tentang semut (naml).
Agar lebih bermanfaat, maka saya akan mengutipkan sebagian dari apa yang ada dalam kitab itu ditambah dari beberapa kitab lain agar kita tahu bagaimana hukumnya memakan semut.
وَأَمَّا ْقَتْلُ النَّمْلِ فَمَذْهَبُنَا لاَ يَجُوْزُ لِحَدِيْثِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ: النَّمْلَةِ وَالنَّخْلَةِ وَالْهُدْهُدِ وَالصُّرَدِ. رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَلىَ شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ.
وَالْمُرَادُ النَّمْلُ الْكَبِيْرُ السُّلَيْمَانِيُّ كَما قَالَهُ الْخِطَابِيُّ وَالْبَغَوِيُّ فِى شَرْحِ السُّنَّةِ. وَأَمَّا النَّمْلُ الصَّغِيْرُ الْمُسَمَّى بِالذَّرِّ فَقَتْلُهُ جَائِزٌ، وَكَرِهَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالىَ قَتْلَ النَّمْلِ إِلاَّ أَنْ يَضُرَّ وَلاَ يَقْدِرُ عَلىَ دَفْعِهِ إِلاَّ بِقَتْلِهِ، وَأَطْلَقَ ابْنُ زَيْدٍ جَوَازَ قَتْلِ النَّمْلِ إِذَا آذَتْ.  
Adapun membunuh semut menurut madzhab kami (hukumnya) tidak boleh karena hadits Ibn Abbas RA: “Sesungguhnya nabi SAW melarang membunuh empat binatang yaitu semut, kumbang, burung hudhud dan burung elang”.
Hadits riwayat Abu Dawud (no 4267) dengan sanad yang sohih sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim.
Yang dimaksud dengan semut itu adalah semut yang besar sebangsa semut nabi Sulaiman, seperti yang dikatakan oleh al-Khitobi dan al-Bahawi dalam kitab Syarhus Sunnah.
Adapun semut yang kecil yang disebut adz-Dzar maka (hukumnya) boleh dibunuh, dan Imam Malik RA memakruhkan membunuh semut kecuali bila membahayakan dan tidak bisa mampu untuk dihindari kecuali dengan membunuhnya, dan Ibn Zaid memperbolehkan membunuh semut secara mutlak apabila menyakiti.
(Hayatul Hayawan hal 499 juz 2)

وَرَوَى الدَّارَقُطْنِيُّ وَالْحَاكِمُ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالىَ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَقْتُلُوْا النَّمْلَةَ فَإِنَّ سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ خَرَجَ ذَاتَ يَوْمٍ يَسْتَسْقِى فَإِذَا هُوَ بِنَمْلَةٍ مُسْتَلْقِيَةً عَلىَ قَفَاهَا رَافِعَةً قَوَائِمَهَا تَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ إِنَّا خَلْقُ مِنْ خَلقِكَ لاَ غِنَى لَنَا عَنْ فَضْلِكَ، اَللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنَا بِذُنُوْبِ عِبَادِكَ الْخَائِطِيْنَ، وَاسْقِنَا مَطَرًا تُنْبِتُ لَنَا بِهِ شَجَرًا، وَتُطْعِمُنَا  بِهِ ثَمَرًا. فَقَالَ سُلَيْمَانُ لِقَوْمِهِ: ارْجِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَسُقِيْتُمْ بِغَيْرِكُمْ.   
Ad-Daraquthni (no 1779) dan al-Hakim (no 1215) meriwayatkan dari Abu Hurairah RA: Sesungguhnya nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian membunuh semut, karena sesungguhnya nabi Sulaiman AS suatu keluar untuk (shalat) istisqo’, dan ia berjumpa dengan semut yang berbaring dengan kaki-kakinya ke atas berkata: Ya Allah sesungguhnya kami adalah salah satu makhluk dari makhluk-Mu yang  tidak ada kecukupan bagi kami akan anugerahmu, Ya Allah janganlah menyiksa kami disebabkan dosa-dosa hamba-Mu yang berbat kesalahan, berilah kami hujan yang membuat pohon  tumbuh dan membuat makanan kami (yakni) buah-buahan. Maka nabi Sulaiman berkata kepada kaumnya: Kembalilah kalian, sesungguhnya kalian telah dicukupi dan diberikan hujan disebabkan oleh selain kalian”.
(Hayatul Hayawan hal 502 juz 2)
Al-Hakim setelah meriwayatkan hadits ini beliau berkata: Sanadnya sohih.  Adz- Dzahabi pun menyetujui penilaian al-Hakim.  Pentahqiq kitab Sunan a-Daruqutni Majdi bin Mansur saat menyebut hadits ini ia berkata: Sanadnya hasan.

اَلْحُكْمُ: يُكْرَهُ أَكْلُ مَا حَمَلَتْهُ النَّمْلُ بِفِيْهَا وَقَوَائِمِهَا لِمَا رَوَى الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِى الطِّبِّ النَّبَوِيِّ، عَنْ صَالِحِ بْنِ خَوَاتٍ بِنْ جُبَيْرٍ،  عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللهُ تَعَالىَ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُؤْكَلَ مَا حَمَلَتِ النَّمْلُ بِفِيْهِ وَقَوَائِمِهَا. وَيَحْرُمُ أَكْلُ النَّمْلِ لِوُرُوْدِ النَّهْيِ عَنْ قَتْلِهِ وَقَدْ تَقَدَّمَ.
Hukumnya: Makruh memakan apa yang dibwa semut dengan mulut dan kakinya karena hadits yang diriwayatkan oelh Abu Nu’aim dalam kitab at-Tibbun Nabawi, dari Solih bin Khowat bin Jubair, dari ayahnya, dari kakeknya RA: “Sesungguhnya rasulullah SAW melarang makan apa yang dibawa semut dengan mulut dan kakinya”. Dan haram memakan semut karena adanya larangan membunuh semut seperti yang telah disebutkan.
(Hayatul Hayawan hal 503 juz 2)

As-sayyid Abdurrohman Ba’lawi berkata:
(مَسْأَلَةُ ك) روى أبو داود: أَنَّهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ: النَّمْلَةِ وَالنَّخْلَةِ وَالْهُدْهُدِ وَالصُّرَدِ. وَالْمَعْرُوْفُ حَمْلُ النَّهْيِ عَنِ النَّمْلِ الْكَبِيْرِ السُّلَيْمَانِيِّ الطَّوِيْلِ الَّذِى يَكُوْنِ فِى الْخَرَابِ فَيَحْرُمُ قَتْلُهُ عَلَى الْمُعْتَمَدِ إِذِ اْلأَصْلُ فِى النَّهْيِ التَّحْرِيْمُ وَخُرُوْجُهُ عَنْهُ فِى بَعْضِ الْمَوَاضِعِ إِنَّمَا هُوَ بِدَلِيْلٍ يَقْتَضِيْهِ. أَمَّا النَّمْلُ الصَّغِيْرُ الْمُسَمَّى بِالذَّرِّ فَيَجُوْزُ بَلْ يُنْدَبُ قَتْلُهُ بِغَيْرِ اْلإِحْرَاقِ لِأَنَّهُ مُؤْذٍ، فَلَوْ فُرِضَ أَنَّ الْكَبِيْرَ دَخَلَ الْبُيُوْتَ وَآذَى جَازَ قَتلُهُ. اهـ
قُلْتُ: وَنَقَلَ الْعَمُوْدِيُّ فِى حُسْنِ النَّجْوَى عَنْ شَيْخِهِ ابْنِ حَجَرٍ أَنَّهُ إِذَا كَثُرَ الْمُؤْذِى مِنَ الْحَشَرَاتِ وَلَمْ يُنْدَفَعْ إِلاَّ بِإِحْرَاقِهِ جَازَ.
(Masalah Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madani)
Abu Dawud meriwayatkan: “Sesungguhnya nabi SAW melarang membunuh empat binatang yaitu semut, kumbang, burung hudhud dan burung elang”.
Yang diketahui adalah membawakan larangan (membunuh) dari semut besar sebangsa (semut nabi) Sulaiman yang panjang yang ada di reruntuhan (bangunan) maka haram membunuhnya menurut pendak yang kuat (mu’tamad) karena asal dari larangan adalah haram, dan mengeluarkan larangan itu dari keharaman di sebagian tempat itu harus dengan dalil yang menuntutnya. Sedangkan semut kecil yang disebut adz-dzarr maka boleh bahkan dianjurkan untu dibunuh selain dengan dibakar karena ia menyakiti, dan seandanya diperkirankan semut besar masuk ke dalam rumah dan menyakiti maka boleh membunuhnya.
Aku berkata: al-‘Amudi berkata dalam kitab Husnun Najwa mengutip dari gurunya Ibn Hajar: Apabila banyak binatang yang merayap dan tidak bisa dihindari kecuali dengan membakar maka (hukumnya) boleh (untuk membakarnya)
(Bughyatul Mustarsyidin hal 259)

Asy-Syaukani ketika menjelaskan hadits tentang larangan membunuh empat binatang itu, ia berkata:
وَأَمَّا النَّمْلُ فَلَعَلَّهُ إِجْمَاعٌ عَلىَ الْمَنْعِ مِنْ قَتْلِهِ. قَالَ الْخِطَابِيُّ: إِنَّ النَّهْيَ الْوَارِدَ فِى قَتْلِ النَّمْلِ الْمُرَادُ بِهِ السُّلَيْمَانِيُّ لِانْتِفَاءِ الْأَذَى مِنْهُ دُوْنَ الصَّغِيْرِ، وَكَذَا فِى شَرْحِ السُّنَّةِ.
Adapun semut, maka kemungkinan (terjadi) ijma’ akan larangan membunuh semut. Al-Khitobi  berkata: “Sesungguhnya larangan yang ada tentang membunuh semuat yang dimaksud adalah semut yang sebangsa semut nabi Sulaiman karena tidak adanya unsur  menyakiti (darinya) bukan semut yang kecil, dan demikian pula (disebut) dalam kitab Syarhus Sunnah.
(Nailul Author hal 131-132 juz 8)

Kiai Ahmad bin Asmuni al-Jaruni dari Petuk Semen Kediri menyatakan semut termasuk dalam binatang yang haram untuk dimakan.
(Tahqiqul Hayawan hal 48)

Dari pembahasan singkat di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa :
memakan semut yang besar hukumnya adalah haram karena adanya larangan membunuhnya sebab ia tidak menyakiti manusia.
Adapun semut  kecil yang menyakiti manusia maka boleh dibunuh, sedangkan memakannya hukumnya pun adalah haram.
Wallahu a’lam bish showab.