Bismillahi ar-rahmani ar-rahiim.
Abu Fadl Ibn Athaillah Al Sakandari (wafat 709), salah
seorang imam sufi terkemuka yang juga dikenal sebagai seorang muhaddits,
muballigh sekaligus ahli fiqih Maliki, adalah penulis karya-karya berikut: Al
Hikam, Miftah ul Falah, Al Qasdul al Mujarrad fi Makrifat al ism al-Mufrad, Taj
al-Arus al-Hawi li tadhhib al-nufus, Unwan al-Taufiq fi al Adad al-Thariq. Juga
sebuah biografi: Al-Lataif fi manaqib Abi al Abbas al Mursi wa sayykhihi Abi al
Hasan , dan lain- lain.
Beliau adalah murid Abu al Abbas Al- Musrsi (wafat 686) dan
generasi penerus kedua dari pendiri tarekat Sadziliyah: Imam Abu Al Hasan Al
Sadzili.
Ibn Athaillah adalah salah seorang yang membantah Ibn
Taymiyah atas serangannya yang berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sefaham
dengannya. Ibn Athaillah tak pernah menyebut Ibn Taymiyah dalam setiap
karyanya, namun jelaslah bahwa yang
disinggungnya adalah Ibn Taymiyah saat ia mengatakan dalam
Lataif: sebagai “cendekiawan ilmu
lahiriyah”.
Satu Halaman Postingan berikut ini merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris untuk pertama kali atas dialog bersejarah antara kedua tokoh
tersebut.
---------
Naskah Dialog : Dari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki
Ibrahim Ibn Katsir, Ibn Al Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi,
kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik.
Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di
antara kaum terpelajar (berpendidikan keislaman).
Di samping itu, ia juga merekam kontroversi antara pribadi
yang bepengaruh dalam tasawuf: Syaikh Ahmad Ibn Athaillah Al Sakandari, dan
tokoh yang tak kalah pentingnya dalam gerakan “Salafi”: Syaikh Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah
selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn
Qalawun (Al Malik Al Nasir). Kesaksian Ibn Taymiyah kepada Ibn Athaillah yang
Notabene adalah Imam Sufi:
Ibn Taymiyah ditahan di Alexandria. Ketika sultan memberikan
ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al Ahzar untuk
sholat maghrib yang diimami Syaikh ibn Athaillah.
Selepas shalat, Ibn Athailah terkejut menemukan Ibn Taymiyah
sedang berdoa dibelakangnya. Dengan senyuman, sang syaikh sufi menyambut ramah
kedatangan Ibn Taymiyah di Kairo seraya berkata: Assalamualaykum, selanjutnya
ia memulai pembicaraan dengan tamu cendekianya ini.
IBN ATHAILLAH: “Biasanya saya sholat di masjid Imam Husein
dan sholat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah
menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut anda (setelah kepulangan
anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih, apakah anda menyalahkanku
atas apa yang telah terjadi?”
IBN TAYMIYAH: “Aku tahu, anda tidak bermaksud buruk
terhadapku, tapi perbedaan pandangan di antara kita tetap ada. Sejak hari ini,
dalam kasus apa pun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan,
siapapun yang berbuat buruk terhadapku”
IBN ATHAILLAH: Apa yang anda ketahui tentang aku, syaikh Ibn
Taymiyah ?
IBN TAYMIYAH: Aku tahu anda adalah seorang yang saleh,
berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah
tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Syria yang lebih mencintai
Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah atau lebih patuh atas
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.Tapi bagaimanapun juga kita memiliki
perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya
sesat dengan menolak kebenaran (praktik) meminta bantuan seseorang untuk
memohon pertolongan Allah (istighatsah)?
IBN ATHAILLAH: Tentu saja, Rekanku, anda tahu bahwa
istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawassul atau mengambil
wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah saw, adalah
seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
IBN TAYMIYAH: Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah
rasul yang ditetapkan dalam syariat
Dalam hadits berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat.
Dalam ayat al Qur’an juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu
(wahai Nabi) ke tempat yang terpuji (Q.S Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan
tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra
wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan
Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya
Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku,
utusan-Mu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan
Maha Pengampun”. Inilah syafaat yang dimiliki rasulullah saw. Sementara mencari
pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah
saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari
selain Allah.
IBN ATHAILLAH: Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan,
wahai faqih?! Maksud dari saran Rasulullah saw kepada sepupunya Ibn Abbas,
adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui kekerabatannya
dengan rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman
anda tentang istighosah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah, yang
termasuk perbuatan musyrik, saya ingin bertanya kepada anda, ”Adakah muslim
yang beriman pada Allah dan rasulNya yang berpendapat ada selain Allah yang
memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah
ditetapkanNya berkenaan dengan dirinya sendiri?”
”Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat
memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari
Allah? Di samping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang
tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhawatirkan akan
membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab,
siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti mengharapkan anugerah syafaat
yang dimilikinya dari Allah, sebagaimana jika anda mengatakan: “Makanan ini
memuaskan seleraku”.
Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan
selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui makanan?
Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk
mendatangi seseorang selain Diri-Nya guna mendapat pertolongan, pernahkah anda
melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah? Ayat Al qur’an
yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon pada
dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim
yang meminta pertolongan rasul adalah dalam rangka bertawassul atau mengambil
perantara atas
keutamaan (hak) rasul yang diterimanya dari Allah (bihaqqihi
inda Allah) dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang telah Allah
anugerahkan kepada rasulNya. Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa
istighosah atau memohon pertolongan itu dilarang syariat karena mengarah pada
kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan buah anggur karena dapat
dijadikan minuman keras. Dan (seharusnya) mengebiri (melumpuhkan kemapuan
besetubuh) laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina.
(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini, sebab konon Syaikh Ibnu Taymiyah adalah pria yang
tidak menikah).
Lalu IBN ATHAILLAH melanjutkan: “Saya kenal betul dengan segala inklusifitas
dan gambaran mengenai sekolah fiqih yang didirikan oleh syaikh anda, Imam
Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori fiqih serta mendalamnya “prinsip-prinsip
agar terhindar dari godaan syaitan” yang anda miliki, sebagaimana juga tanggung
jawab moral yang anda pikul selaku seorang ahli fiqih. Namun saya juga
menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan
makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna
laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam
jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh
dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul Hikam. Naskah
tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak
pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya
(memberikan contoh tokoh islam). Ketika syaikh al-Islam Al Izz ibn Abd Salam
memahami apa yang sebenarnya diucapan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap
dan mengerti makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon
ampun kepada Allah swt atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn
Arabi sebagai Imam Islam. Sedangkan mengenai pernyataan al Syadzili yang
memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari
mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh lagi,
pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut
Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak
pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri.
“Apa pendapat anda mengenai khalifah Sayyidina Ali bin Abi
Thalib?”
IBN TAYMIYAH: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw
bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya”. Sayyidina Ali adalah
merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali
dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu
berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah
sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya
bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah al quran dan
sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang
perjuangannya.
IBN ATHAILLAH: Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar
orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim
bahwa malaikat jibril melakukan kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada
Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia meminta mereka untuk
menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang imam menjadi tuhan?
Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan memberikan
fatwa (ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh di
manapun mereka ditemukan?
IBN TAYMIYAH: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di
pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
IBN ATHAILLAH: Dan Imam Ahmad- semoga Allah meridoinya- mempertanyakan perbuatan sebagian
pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut
kristen atau dimanapun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli
gadis para penyanyi, dan menyerang masayarakat di jalan. Meskipun sang Imam tak
memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang
tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan
diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad
bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut
Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan? Dengan
demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang
dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral
yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama.
Apakah anda tidak memahami hal ini?
IBN TAYMIYAH: “Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan
Allah? Di antara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah
saw memberitakan khabar
gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga
sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan
kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat itu malaikat jibril
turun dari surga dan mewahyukan kepada rasul bahwa Allah akan memilih di antara
jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya malaikat jibril mengangkat satu dari
jubah dan menggantungkannya di singgasana Allah. Berdasarkan ini, kaum sufi
mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum “papa”.
IBN ATHAILLAH: “Tidak semua sufi mengenakan jubah dan
pakaian kasar Lihatlah apa yang saya
kenakan; apakah anda tidak setuju dengan penampilan saya?
IBN TAYMIYAH: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar
di Al Ahzar.”
IBN ATHAILLAH: “Al Ghazali adalah seorang imam syariat
maupun tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat
dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu
menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak
memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran.
Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan
kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah. Dua abad yang lalu
muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya.
Dimana sebagian orang mengurangi
kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan
melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan
ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban
beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri
mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ). Di
sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni
berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan
mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui
bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang
benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang
dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual. Kelompok diatas selanjutnya
tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati,
seseorang tidak akan menyibukkan dirinya kecuali demi
kecintaannya pada Allah dan rasul-NYA. Inilah posisi mulia yang menyebabkan
seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan guna
membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta
harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu. Meskipun demikian, kita harus
berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketentraman beribadah.
Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah
terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari
penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal akan
kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn Arabi menulis dengan gaya
simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam menggunakan bahasa
simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan
tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia
mengenai fenomena yang tak tampak.
IBN TAYMIYAH: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk
anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan
Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang
dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti
jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan terkemuka: para
sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang
mengikuti langkah mereka. Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan
penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi
mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan
kemusyrikan seperti filososf Yunani dan pengikut Budha, atau yang beranggapan
bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu denganNya (ittihad), atau
teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu adanya/
kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang
diperintahkan syaikh anda: semuanya jelas perilaku ateis dan kafir”.
IBN ATHAILLAH: “Ibn Arabi adalah salah seorang ulama
terhebat yang mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al
Andalusi, seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi anda tentang hukum
islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorabg Zahiri
(menerjemahkan hukum islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan untuk
memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna
spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).
Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama apa-apa yang
tersembunyi. Agar anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan anda mengenai
Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol
dan gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan al- Qusyairi. Ia
telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung al-quran dan sunnah, sama seperti
hujjatul Islam Al Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai perbedaan
mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha ini kurang
menguntungkan dan berfaedah. Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai
Allah adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan
keyakinan. Apakah anda setuju wahai faqih? Atau anda lebih suka melihat
perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan mengenai
perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali seseorang berdebat
mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara
tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad.
Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau
merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia
terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau
diraba. Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam
Al-Ghazali,
sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal
pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya
Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al
Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau
sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda
dikuasai selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu)
orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya:
“(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya”
Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan:
“Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”. Seorang
muslim takkan bisa mencapai
keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan ilmu atau
pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat
mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan
ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak
mencukupi dirinya dengan meminta sedekah. Seseorang yang tulus adalah ia yang
menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhi-Nya. Barangkali yang
menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau
terhadap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah
iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru
dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi). Ibn Arabi mengkritik
demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka
dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi
wanita”. Semoga Allah mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari
mereka! Pernahkah anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa: ”Siapa saja yang
membangun keyakinannya
semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen
deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan.
Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sanggahan-sanggahan balik yang konstan.
Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.”
Adakah pernyataan yang seindah ini?”
IBN TAYMIYAH: “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan
saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi
menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda
kemukakan.”
Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn Atha’illah Al- Sakandari:
“The Debate with Ibn Taymiyah, dalam buku karya Syaikh Muhammad Hisyam
Kabbani’s The repudiation of “Salafi” Innovations (Kazi, 1996) h. 367-379.
Sumber Artikel: abdulloh-umar.blogspot.comlloh-umar.blogspot.com/2012/04/debat-cerdas-seorang-imam-sufi-vs.html?m=1