Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Rabu, 26 Desember 2012

Mengkristenkan Indonesia dalam 50 tahun

Ini adalah suatu tulisan yang menarik yang ditulis oleh DR. KH. Maghfur Usman yang berisi tentang prediksi beliau tentang jumlah pemeluk agama Kristen di Indonesia tahun 2020. Karya ini beliau tulis pada tahun 1981 sebagai jawaban atas pertanyaan seorang teman  lalu diterbitkan oleh Media Komunikasi PPI KOM Mekkah, Saudi Arabia.

Menurut saya tulisan ini menarik dan dapat dijadikan acuan yang cukup kuat (meskipun bukan merupakan kepastian) karena didasarkan atas bukti-bukti yang nyata dan sesuai dengan logika, karena bukan hanya sekedar persangkaan belaka.

Anda bisa mendownloadnya disini

Doc    Pdf

Semoga bermanfaat.

Selasa, 25 Desember 2012

Akal Manusia dan Hidayah Allah

Alhamdulillah setelah beberapa waktu saya selesai menulis salah satu karya guru saya DR. KH. Maghfur Usman yang berjudul:
Akal Manusia dan Hidayah Allah
Meski singkat akan tetapi cukup penting bagi kita untuk menguatkan memperkuat keyakinan kita akan kebenaran agama Islam yang sesuai dengan akal dan logika, dan menunjukkan kekeliruan teori evolusi darwin dan paham-paham lainnya.
Silahkan di download di sini.

Doc     Pdf

Semoga bemanfaat

Minggu, 16 Desember 2012

Wajib Minum Minuman Yang Kejatuhan Lalat



Dalam salah satu kesempatan, seseorang bertanya kepada saya hukumnya meminum minuman yang habis kejatuhan lalat, apakah wajib atau tidak. Soalnya ia membaca salah satu artikel di internet ada yang menyatakan (mungkinkah seorang ustadz ?) bahwa hukum meminumnya adalah wajib, karena itu adalah untuk mengetes keimanan kita.
Benarkah demikian ?
Marilah kita bersama-sama membaca hadits yang ditanyakan oleh orang tadi:
Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لْيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءٌ وَفِى اْلأَخَرِ شِفَاءٌ.
“Apabila ada seekor lalat masuk ke dalam minuman salah satu dari kalian maka benamkanlah lalu keluarkanlah. Karena sesungguhnya dalam salah satu sayapnya ada penyakit dan di sayap lainnya ada obatnya.”
[HR Bukhori no: 3320 dan Abu Dawud no: 3844 dari Abu Hurairah]
Jika kita perhatikan redaksi hadits di atas, tidak ada keterangan tentang hukum wajib atau tidaknya meminum minuman ada lalatnya.  Yang dijelaskan dalam hadits di atas jika kita ingin meminum minuman itu, maka lalat yang terjatuh di dalamnya harus dibenamkan terlebih dahulu lalu dibuang karena di salah satu sayap lalat itu mengandung penyakit dan di sayap lainnya terdapat obatnya.
Jadi masalah orang tersebut meneruskan meminum atau tidak minuman yang kejatuhan lalat tadi sama sekali tidak disinggung dalam hadits tersebut.
Sedangkan masalah orang tersebut meneruskan meminumnya atau tidak maka ini tergantung pada kehendak orang itu.
Dalam salah  kaidah ushul fiqh disebutkan:
اْلأَصْلُ فِى الشَّيْءِ اْلإِبَاحَةُ 
Asal sesuatu itu adalah mubah.
Sedangkan masalah tes keimanan, mungkin yang penafsiran paling tepat adalah jika kita mempercayai kebenaran hadits ini (bahwa di salah satu sayap lalat ada penyakit dan sayap yang lain ada obatnya)  berarti kita adalah termasuk dalam kelompok orang-orang beriman. Dan jika kita tidak mempercayainya maka kita termasuk dalam kelompok orang-orang yang celaka seperti tersebut dalam firman Allah SWT:
﴿ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلىَّ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا ﴾
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
[S. An-Nisa: 115]
Apalagi saat ini setelah penelitian yang dilakukan oleh at-Taili dan kawan-kawannya dari Jurusan Mikrobiologi Medis Universitas Qassim di Arab Saudi.  Mereka memeriksa sayap lalat. Pada satu larutan dicelupkan seluruh lalat, dan pada satu larutan lagi dicelupkan sayapnya saja. Ternyata larutan pertama (dimana tubuh lalat dicelupkan) mengandung antibiotik, dan  larutan kedua (dimana hanya sayap lalat saja yang dicelupkan) menunjukkan adanya kuman.
Inilah rahasianya mengapa jika ada lalat yang masuk ke dalam minuman maka harus dibenamkan ke dalam minuman.  Karena sayap lalat mengandung kuman-kuman penyakit dan saat lalat itu dibenamkan dalam air secara otomatis tubuhnya akan mengeluarkan antibiotika sebagai reaksi untuk melawan kuman-kuman tersebut. Ini adalah hasil penelitian dari para ilmuan jurusan biologi Universitas Macquarie, Sidney - Australia.
Jadi jika kita kemudian menyimpulkan dari hadits di atas bahwa meminum minuman yang kejatuhan lalat lalu dibenamkan dan dikeluarkan hukumnya adalah wajib karena untuk mengetes keimanan kita, maka ini adalah kesimpulan yang kurang tepat bahkan bisa dibilang sembrono karena beberapa hal:
1.       Hukum ini tidak terkandung dalam redaksi hadits yang  dijadikan sebagai dasar hukumnya
2.       Asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil yang mewajibkannya atau melarangnya
3.       Masalah iman yang dimaksud adalah masalah penyakit dan obat di sayap lalat, bukan masalah meminum atau tidak minuman yang kejatuhan lalat. Ini adalah dua masalah yang berbeda dan sebagai akibatnya hukumnya berbeda pula.
Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bishshowab.

Senin, 03 Desember 2012

Tendangan Abu Nu’aim untuk Yahya bin Ma'in


Khotib al-Baghdadi meriwayatkan dari Abu Abbas bin Uqdah:
Suatu saat Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan ‘Ali bin al-Madini pergi ke kota Kufah untuk menjumpai Abu Nu’aim  al-Fadl bin Dukain. Pada saat itu mereka duduk bersama-sama di suatu tempat yang tinggi. Dalam kesempatan itu mereka membacakan hadits-hadits kepada beliau. Yahya bin Ma’in rupanya saat itu ingin mengetes keilmuan Abu Nu’aim karena itulah ia melakukan tadlis (semacam penipuan) pada empat hadits yang ia bacakan. Setelah mereka semua membacakan hadits-hadits itu, secara mendadak Abu Nu’aim menendang Yahya bin Ma’in sampai ia terjatuh dari tempat duduknya.
Lalu Abu Nu’aim berkata: Adapun Ahmad karena sifat wira’inya tidak akan melakukan (tadlis) ini, sedangkan orang ini (maksudnya Ali bin Al-Madiniy karena ibadahnya tidak akan melakukannya. Jadi (tadlis) ini pasti merupakan perbuatanmu.”
Yahya bin Ma’in berkata (mungkin sambil mengenangnya): “Tendangan itu bagiku lebih aku sukai dari apa pun juga.”

(sumber: al-Jami’ li Akhlaqir Rowi wa adabis Sa-mi’ hadits no: 158 hal 136 juz 1, dengan beberapa tambahan)

Catatan:
Para ulama memperbolehkan mengetes seseorang untuk mengathui kadar keilmuannya,keadilannya atau kekuatan hapalannya bukan untuk menjatuhkan atau merendahkannya.
Yang penting anda berhati-hati dalam memilih ulama yang mau anda tes jangan-jangan nanti mengalami nasib yang mirip dengan Yahya bin Ma’in ini.


Sabtu, 01 Desember 2012

Aqidah Imam Syafi'i

Tulisan singkat ini merupakan karya DR. KH. Maghfur Usman yang saya temukan saat membersihkan rumah beliau untuk membuat perpustakaan umum yang insyaallah sebentar lagi akan dibuka.
Meskipun singkat tapi isinya sangat penting bagi kita para penganut madzhab syafi'i sehingga mengerti aqidah yang dianut oleh Imam kita ini, sehingga kita tidak mudah terpengaruh dengan pendapat-pendapat yang ada tentang Imam Syafi'i di internet yang saya lihat terkadang kurang benar dan terkadang bahkan tak jarang ngawur / sembarangan.

Silakan download di sini untuk bentuk
PDF      DOC

Senin, 26 November 2012

Titip Pada Tuhan - Tuan Rumah Kurang Ajar - Murid Tidak Berbakti


Habib bin Muhammad al-‘Ajami al-Bashri adalah seorang Persia yang menetap di kota Bashrah, perawi hadits dari Hasan al-Bashri,  Ibnu Sirin dan tokoh-tokoh hadits lainnya.
Berikut ini adalah tiga cerita lucu (anekdot) yang terjadi antara beliau dengan gurunya Hasan al-Bashri saat saya membaca buku Warisan Para Auliya karya Fariduddin Attar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A.J. Arberry lalu diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas Mahyuddin.
****

TITIP PADA TUHAN
Rumah Habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota Bashrah. Ia mempunyai sebuah mantel bulu yang selalu dipakainya baik di musim panas maupun di musim hujan. Sekali peristiwa ketika Habib hendak bersuci, mantel itu dilepaskannya dan dengan seenaknya dilemparkan ke atas tanah.
Tidak berapa lama kemudian Hasan al-Bashri lewat di tempat itu.
Melihat mantel Habib terletak di atas jalan, ia bergumam. ”  Dasar Habib seorang Ajam (non Arab – dalam buku aslinya diterjemahkan Barbar), tak perduli berapa harga mantel bulu ini! Mantel yang seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, bisa-bisa hilang nanti,”
Hasan berdiri di tempat itu untuk menjaga mantel tersebut. Tidak lama kemudian Habib pun kembali.
“Wahai  Imam kaum muslimin.” Habib menegur Hasan setelah memberi salam kepadanya. “Mengapakah engkau berdiri di sini ?”
“Tahukah engkau bahwa mantel seperti ini tidak boleh ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang. Katakan kepada siapakah engkau titipkan mantel ini?”
‘Kutitipkan kepada Dia (Allah) yang selanjutnya menitipkannya kepadamu.” Jawab Habib,
***

TUAN RUMAH KURANG AJAR
Pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah Habib. Kepadanya Habib menyuguhkan dua potong roti gandum dan sedikit garam. Hasan sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti beserta garam itu kepadanya.
Hasan terheran-heran lalu berkata: “Habib, engkau memang seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah engkau suguhkan ke ujung hidung tamu lalu mememberikan semuanya kepada seorang pengemis. Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebagian lagi kepada tamumu.”
Habib tidak mau memberi jawaban.
Tidak lama kemudian seorang budak dating sambil menjunjung sebuah nampan. Di atas nampan tersebut ada daging domba panggang, penganan yang manis-manis dan uang limaratus dirham perak. Si budak menyerahkan nampan tersebut ke hadapan Habib. Kemudian Habib membagikan uang tersebut kepada orang-orang miskin dan menempatkan nampan tersebut di samping Hasan.
Ketika Hasan mengeyam daging panggang itu, Habib berkata kepadanya: “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan. Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan.”

***

MURID TIDAK BERBAKTI
Pada suatu hari ketika perwira-perwira Hajjaj mencari-cari Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib.
“Apakah engkau telah melihat Hasan pada hari ini?” Tanya mereka pada Habib.
“Ya, aku telah melihatnya.” Jawab Habib.
“Di manakah Hasan saat ini?”
“Di dalam pertapaan ini.”
Para perwira tersebut memasuki tempat Habib dan mengadakan penggeledahan, namun mereka tidak menemukan Hasan.
“Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka.” Hasan mengisahkan.”namun mereka tidak melihat diriku.”
Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu Hasan mencela Habib. ”Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada guru. Engkau telah menunjukkan tempat persembunyianku.”
“Guru karena aku berterus terang itulah engkau dapat selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap.
“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga mereka tidak melihat diriku?” Tanya Hasan.
“Aku membaca ayat Kursi sepuluh kali, Aamanar rasul sepuluh kali dan Qul Huwaallah Ahad sepuluh kali. Setelah itu aku berkata: Ya Allah, telah kutitipkan Hasan kepada-Mu dan oleh karena itu jagalah ia.”

Sumber:
Warisan Para Awliya
Fariduddin Attar - A,J, Arberry hal 44-46 dengan sedikit perubahan dan penambahan judul cerita.

Mandi = Wudlu ???


Sekitar dua minggu yang lalu ada seorang teman saya yang menjadi ustadz dan punya jamaah pengajian di kampungnya  sms dan bertanya: “Apakah apakah jika seseorang mandi besar juga sekaligus suci dari hadats kecil ?”
Saya jawab bahwa dengan mandi besar otomatis hadats kecilnya juga hilang.
Rupanya ia belum puas dengan jawaban ini dan meminta dalil (ta’bir) dari kitab apa.
Karena saat itu saya masih di pasar (maklumlah saya adalah seorang pedagang dan saat ia sms adalah pagi hari saat saya sedang berjualan) maka saya janjikan kepadanya untuk mencarikan dalilnya (ta’birnya). Setelah membuka kiatb-kitab saya yang jarang dibaca hingga berselimut debu, akhirnya saya pun mendapatkan dalilnya.
Karena saya rasa masalah ini mungkin bermanfaat pula bagi rekan-rekan lainnya, maka saya pun berniat menulisnya di blog ini.
Imam Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari berkata:
( وَلَوْ أَحْدَثَ ثُمَّ أَجْنَبَ كَفَى غُسْلٌ وَاحِدٌ ) وَإِنْ لَمْ يَنْوِ مَعَهُ الْوُضُوْءَ وَلاَ رَتَّبَ أَعْضَاءَهُ.
Jika seseorang berhadats (kecil) lalu ia junub maka cukuplah satu mandi saja, meskipun ia tidak berniat wudlu dalam mandi itu dan tidak menertibkan (mengurutkan) anggota-anggota tubuhnya.
(Fathul Mu’in hal 10-11)
Sayyid Alawi bin Ahmad As-Saqqaf mengomentari kalimat di atas dengan perkataan:
بَلْ وَلَوْ نَفَاهُ لَمْ يَنْتَفِ
Bahkan seandainya orang itu meniadakan wudlu itu, maka wudlu itu tidaklah hilang.
(Tarsyikhul Mustafidin Hasyiah Fathul Mu’in hal 34 juz 1,
Imam Ad-Dimyati berkata:
قَالَ فِى النِّهَايَةِ: وَقَدْ نَبَّهَ الرَّافِعِيُّ عَلىَ أَنَّ الْغُسْلَ إِنَّمَا يَقَعُ عَنِ الْجَنَابَةِ وَأَنَّ اْلأَصْغَرَ يَضْمَحِلُّ مَعَهُ – أَيْ لاَ يَبْقَى لَهُ حُكْمٌ فَلِذَلِكَ عَبَّرَ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ كَفَى اهـ
Imam ar-Romli dalam kitab Nihayatul Muhtaj berkata: “Imam ar-Rafi’i telah mengingatkan bahwa sesungguhnya mandi yang dilakukan karena jinabat sesungguhnya hadats itu hilang (lenyap) bersamanya – artinya hukumnya sudah tidak ada, karena itulah pengarang menggunakan kata mencukupi (  كَفَى)
(I’anatut Tholibin hal 79 juz 1)
Sayyid Sabiq berkata:
إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، لَمْ يَكُنْ قَدْ تَوَضَّأَ يَقُوْمُ الْغُسْلُ عَنِ الْوُضُوْءِ.
قَالَتْ عَائِشَةُ: ( كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْضَ الْغُسْلِ ). 
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ لِرَجُلٍ قَالَ لَهُ : إِنِّي أَتَوَضَّأُ بَعْضَ الْغُسْلِ، فَقَالَ لَهُ: لَقَدْ تَغَمَّقْتَ.
وَقَالَ ابْنُ الْعَرَبِيُّ: لَمْ يَخْتَلِفِ الْعُلَمَاءُ أَنَّ الْوُضُوْءَ دَاخِلٌ تَحْتَ الْغُسْلِ، وَأَنّ نِيَّةَ طَهَارَةِ الْجَنَابَةِ تَأْتِي عَلَى طَهَارَةِ الْحَدَثِ وَتَقْضِي عَلَيْهِ، ِلأَنَّ مَوَانِعَ الْجَنَابَةِ أَكْثَرَ مِنْ مَوَانِعِ الْحَدَثِ، فَدَخَلَ اْلأَقَلُّ فِى نِيَّةِ اْلأَكْثَرِ، وَأَجْزَأَتْ نِيَّةُ  اْلأَكْبَرِ عَنْهُ.
Jika seseorang mandi jinabat, dan ia tidak berwudlu, maka mandinya itu menempati kedudukan wudlu.
Aisyah berkata: “Rasulullah SAW tidak berwudlu setelah mandi.”
Ibnu Umar RA berkata kepada seorang laki-laki yang mengatakan: Sesungguhnya saya berwudlu setelah mandi. “Engkau sungguh-sungguh telah berlebihan (arti aslinya memperdalam -pen).
Ibnu al-Arabiy berkata: “Para ulama tidak berbeda pendapat  bahwa sesungguhnya wudlu  termasuk di dalam mandi. Dan sesungguhnya niat bersuci dari jinabat menyempurnakan dan memenuhi bersuci dari hadats (kecil), karena perkara-perkara yang dilarang karena jinabat lebih banyak dari perkara-perkara yang dilarang karena hadats, maka masuklah (hadats) yang lebih kecil kepada yang lebih banyak, maka cukuplah niat (menghilangkan) hadats besar dari yang kecil.”
(Fiqih Sunnah hal 65 juz 1)
Dengan demikian jelaslah bahwa jika seseorang mandi besar maka hadats kecilnya secara otomatis juga hilang (lenyap) dan seandainya ia shalat tana berwudlu maka menurut para ulama shalatnya sah.
Meskipun demikian dalam mandinya ia tetap disunnahkan untuk berwudlu sebagaimana tersebut dalam kitab-kitab hadits.
Semoga bermanfaat, Wallahu A’lam bish-showab.

Selasa, 30 Oktober 2012

Hukum Bersedekah Dengan Benda Yang Tidak Disukai



Saat teman saya yang berhaji berada di Mina, ia SMS bertanya tentang hukum mensedekahkan barang yang kurang baik, bagaimana hukumnya  dan apa ta’birnya (dalilnya)?
Setelah terdiam beberapa jenak (karena waktu sejenak tidak cukup bagi saya) maka akhirnya saya pun menjawabnya.

Hukum bersedekah dengan barang yang kurang disukai hukumnya makruh hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
يَا آيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ، وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيْهِ إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [S. Al-Baqarah: 267]

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk bersedekah dengan benda yang baik dari hasil pekerjaan kita atau dari apa yang kita peroleh dari bumi. Dan Allah mencela orang-orang yang bersedekah kepada  orang lain dengan harta yang kurang baik (jelek).
Selain itu kita tidak akan mencapai kebaikan yang sempurna kecuali jika kita mau bersedekah dengan harta milik kita yang paling baik.

Allah SWT berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتىَّ تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ، وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. [S. Ali Imran: 92]

Selain itu ada hadits nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah :
أيُّهَا النَّاسُ ، إنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّباً
Wahai para manusia, sesungguhnya Allah itu dzat yang baik dan tidak menerima kecuali perkara yang baik. [HR Muslim no: 1014 ]

Pada saat saya menulis posting ini, saya teringat akan kisah 2 putera nabi Adam – Habil dan Qabil - saat mereka diperintah untuk berqurban untuk menyelesaikan masalah diantara mereka yang di sebutkan dalam S. Al-Maidah ayat 27.  Saat itu Habil memilih hasil panen yang paling baik dan hewan ternak yang paling gemuk, sedangkan Qabil sebaliknya. Akhir ceritanya mudah ditebak.  Allah menerima qurban yang dipersembahkan Habil dan tidak menerima qurban dari Qabil.

Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat.