Ini adalah suatu tulisan yang menarik yang ditulis oleh DR. KH. Maghfur Usman yang berisi tentang prediksi beliau tentang jumlah pemeluk agama Kristen di Indonesia tahun 2020. Karya ini beliau tulis pada tahun 1981 sebagai jawaban atas pertanyaan seorang teman lalu diterbitkan oleh Media Komunikasi PPI KOM Mekkah, Saudi Arabia.
Menurut saya tulisan ini menarik dan dapat dijadikan acuan yang cukup kuat (meskipun bukan merupakan kepastian) karena didasarkan atas bukti-bukti yang nyata dan sesuai dengan logika, karena bukan hanya sekedar persangkaan belaka.
Anda bisa mendownloadnya disini
Doc Pdf
Semoga bermanfaat.
Alamat
Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia
Rabu, 26 Desember 2012
Selasa, 25 Desember 2012
Akal Manusia dan Hidayah Allah
Alhamdulillah setelah beberapa waktu saya selesai menulis salah satu karya guru saya DR. KH. Maghfur Usman yang berjudul:
Akal Manusia dan Hidayah Allah
Meski singkat akan tetapi cukup penting bagi kita untuk menguatkan memperkuat keyakinan kita akan kebenaran agama Islam yang sesuai dengan akal dan logika, dan menunjukkan kekeliruan teori evolusi darwin dan paham-paham lainnya.
Silahkan di download di sini.
Doc Pdf
Semoga bemanfaat
Akal Manusia dan Hidayah Allah
Meski singkat akan tetapi cukup penting bagi kita untuk menguatkan memperkuat keyakinan kita akan kebenaran agama Islam yang sesuai dengan akal dan logika, dan menunjukkan kekeliruan teori evolusi darwin dan paham-paham lainnya.
Silahkan di download di sini.
Doc Pdf
Semoga bemanfaat
Minggu, 16 Desember 2012
Wajib Minum Minuman Yang Kejatuhan Lalat
Dalam salah satu kesempatan, seseorang bertanya kepada saya
hukumnya meminum minuman yang habis kejatuhan lalat, apakah wajib atau tidak.
Soalnya ia membaca salah satu artikel di internet ada yang menyatakan (mungkinkah
seorang ustadz ?) bahwa hukum meminumnya adalah wajib, karena itu adalah untuk
mengetes keimanan kita.
Benarkah demikian ?
Marilah kita bersama-sama membaca hadits yang ditanyakan
oleh orang tadi:
Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى
شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لْيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِى أَحَدِ
جَنَاحَيْهِ دَاءٌ وَفِى اْلأَخَرِ شِفَاءٌ.
“Apabila ada seekor lalat masuk ke dalam minuman salah satu dari
kalian maka benamkanlah lalu keluarkanlah. Karena sesungguhnya dalam salah satu
sayapnya ada penyakit dan di sayap lainnya ada obatnya.”
[HR Bukhori no: 3320 dan
Abu Dawud no: 3844 dari Abu Hurairah]
Jika kita perhatikan
redaksi hadits di atas, tidak ada keterangan tentang hukum wajib atau tidaknya
meminum minuman ada lalatnya. Yang
dijelaskan dalam hadits di atas jika kita ingin meminum minuman itu, maka lalat
yang terjatuh di dalamnya harus dibenamkan terlebih dahulu lalu dibuang karena
di salah satu sayap lalat itu mengandung penyakit dan di sayap lainnya terdapat
obatnya.
Jadi masalah orang
tersebut meneruskan meminum atau tidak minuman yang kejatuhan lalat tadi sama
sekali tidak disinggung dalam hadits tersebut.
Sedangkan masalah
orang tersebut meneruskan meminumnya atau tidak maka ini tergantung pada kehendak
orang itu.
Dalam salah kaidah ushul fiqh disebutkan:
اْلأَصْلُ فِى الشَّيْءِ
اْلإِبَاحَةُ
Asal sesuatu itu adalah
mubah.
Sedangkan masalah tes
keimanan, mungkin yang penafsiran paling tepat adalah jika kita mempercayai
kebenaran hadits ini (bahwa di salah satu sayap lalat ada penyakit dan sayap
yang lain ada obatnya) berarti kita
adalah termasuk dalam kelompok orang-orang beriman. Dan jika kita tidak
mempercayainya maka kita termasuk dalam kelompok orang-orang yang celaka
seperti tersebut dalam firman Allah SWT:
﴿ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلىَّ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ
وَسَاءَتْ مَصِيْرًا ﴾
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.
[S. An-Nisa: 115]
Apalagi saat ini setelah penelitian yang
dilakukan oleh at-Taili dan kawan-kawannya dari Jurusan Mikrobiologi Medis
Universitas Qassim di Arab Saudi. Mereka
memeriksa sayap lalat. Pada satu larutan dicelupkan seluruh lalat, dan pada
satu larutan lagi dicelupkan sayapnya saja. Ternyata larutan pertama (dimana
tubuh lalat dicelupkan) mengandung antibiotik, dan larutan kedua (dimana hanya sayap lalat saja
yang dicelupkan) menunjukkan adanya kuman.
Inilah rahasianya mengapa jika ada lalat
yang masuk ke dalam minuman maka harus dibenamkan ke dalam minuman. Karena sayap lalat mengandung kuman-kuman
penyakit dan saat lalat itu dibenamkan dalam air secara otomatis tubuhnya akan
mengeluarkan antibiotika sebagai reaksi untuk melawan kuman-kuman tersebut. Ini
adalah hasil penelitian dari para ilmuan jurusan biologi Universitas Macquarie,
Sidney - Australia.
Jadi jika kita kemudian menyimpulkan dari
hadits di atas bahwa meminum minuman yang kejatuhan lalat lalu dibenamkan dan
dikeluarkan hukumnya adalah wajib karena untuk mengetes keimanan kita, maka ini
adalah kesimpulan yang kurang tepat bahkan bisa dibilang sembrono karena
beberapa hal:
1.
Hukum
ini tidak terkandung dalam redaksi hadits yang
dijadikan sebagai dasar hukumnya
2.
Asal
segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil yang mewajibkannya atau
melarangnya
3.
Masalah
iman yang dimaksud adalah masalah penyakit dan obat di sayap lalat, bukan
masalah meminum atau tidak minuman yang kejatuhan lalat. Ini adalah dua masalah
yang berbeda dan sebagai akibatnya hukumnya berbeda pula.
Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bishshowab.
Senin, 03 Desember 2012
Tendangan Abu Nu’aim untuk Yahya bin Ma'in
Khotib al-Baghdadi meriwayatkan dari Abu Abbas bin Uqdah:
Suatu saat Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan ‘Ali bin
al-Madini pergi ke kota Kufah untuk menjumpai Abu Nu’aim al-Fadl bin Dukain. Pada saat itu mereka
duduk bersama-sama di suatu tempat yang tinggi. Dalam kesempatan itu mereka
membacakan hadits-hadits kepada beliau. Yahya bin Ma’in rupanya saat itu ingin
mengetes keilmuan Abu Nu’aim karena itulah ia melakukan tadlis (semacam
penipuan) pada empat hadits yang ia bacakan. Setelah mereka semua membacakan
hadits-hadits itu, secara mendadak Abu Nu’aim menendang Yahya bin Ma’in sampai
ia terjatuh dari tempat duduknya.
Lalu Abu Nu’aim berkata: Adapun Ahmad karena sifat wira’inya
tidak akan melakukan (tadlis) ini, sedangkan orang ini (maksudnya Ali bin
Al-Madiniy karena ibadahnya tidak akan melakukannya. Jadi (tadlis) ini pasti
merupakan perbuatanmu.”
Yahya bin Ma’in berkata (mungkin sambil mengenangnya): “Tendangan
itu bagiku lebih aku sukai dari apa pun juga.”
(sumber: al-Jami’ li Akhlaqir Rowi wa adabis Sa-mi’ hadits
no: 158 hal 136 juz 1, dengan beberapa tambahan)
Catatan:
Para ulama memperbolehkan mengetes seseorang untuk mengathui
kadar keilmuannya,keadilannya atau kekuatan hapalannya bukan untuk menjatuhkan
atau merendahkannya.
Yang penting anda berhati-hati dalam memilih ulama yang mau
anda tes jangan-jangan nanti mengalami nasib yang mirip dengan Yahya bin Ma’in
ini.
Sabtu, 01 Desember 2012
Aqidah Imam Syafi'i
Tulisan singkat ini merupakan karya DR. KH. Maghfur Usman yang saya
temukan saat membersihkan rumah beliau untuk membuat perpustakaan umum
yang insyaallah sebentar lagi akan dibuka.
Meskipun singkat tapi isinya sangat penting bagi kita para penganut madzhab syafi'i sehingga mengerti aqidah yang dianut oleh Imam kita ini, sehingga kita tidak mudah terpengaruh dengan pendapat-pendapat yang ada tentang Imam Syafi'i di internet yang saya lihat terkadang kurang benar dan terkadang bahkan tak jarang ngawur / sembarangan.
Silakan download di sini untuk bentuk
PDF DOC
Meskipun singkat tapi isinya sangat penting bagi kita para penganut madzhab syafi'i sehingga mengerti aqidah yang dianut oleh Imam kita ini, sehingga kita tidak mudah terpengaruh dengan pendapat-pendapat yang ada tentang Imam Syafi'i di internet yang saya lihat terkadang kurang benar dan terkadang bahkan tak jarang ngawur / sembarangan.
Silakan download di sini untuk bentuk
PDF DOC
Senin, 26 November 2012
Titip Pada Tuhan - Tuan Rumah Kurang Ajar - Murid Tidak Berbakti
Habib bin Muhammad al-‘Ajami al-Bashri adalah seorang Persia
yang menetap di kota Bashrah, perawi hadits dari Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin dan tokoh-tokoh hadits lainnya.
Berikut ini adalah tiga cerita lucu (anekdot) yang terjadi
antara beliau dengan gurunya Hasan al-Bashri saat saya membaca buku Warisan
Para Auliya karya Fariduddin Attar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
oleh A.J. Arberry lalu diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh
Anas Mahyuddin.
****
TITIP PADA TUHAN
Rumah Habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota
Bashrah. Ia mempunyai sebuah mantel bulu yang selalu dipakainya baik di musim
panas maupun di musim hujan. Sekali peristiwa ketika Habib hendak bersuci,
mantel itu dilepaskannya dan dengan seenaknya dilemparkan ke atas tanah.
Tidak berapa lama kemudian Hasan al-Bashri lewat di tempat
itu.
Melihat mantel Habib terletak di atas jalan, ia bergumam. ” Dasar Habib seorang Ajam (non Arab – dalam buku
aslinya diterjemahkan Barbar), tak perduli berapa harga mantel bulu ini! Mantel
yang seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, bisa-bisa hilang
nanti,”
Hasan berdiri di tempat itu untuk menjaga mantel tersebut.
Tidak lama kemudian Habib pun kembali.
“Wahai Imam kaum
muslimin.” Habib menegur Hasan setelah memberi salam kepadanya. “Mengapakah
engkau berdiri di sini ?”
“Tahukah engkau bahwa mantel seperti ini tidak boleh
ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang. Katakan kepada siapakah engkau
titipkan mantel ini?”
‘Kutitipkan kepada Dia (Allah) yang selanjutnya
menitipkannya kepadamu.” Jawab Habib,
***
TUAN RUMAH KURANG
AJAR
Pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah Habib. Kepadanya
Habib menyuguhkan dua potong roti gandum dan sedikit garam. Hasan sudah
bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis datang dan
Habib menyerahkan kedua potong roti beserta garam itu kepadanya.
Hasan terheran-heran lalu berkata: “Habib, engkau memang
seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki
sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah engkau suguhkan ke ujung
hidung tamu lalu mememberikan semuanya kepada seorang pengemis. Seharusnya
engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebagian lagi kepada tamumu.”
Habib tidak mau memberi jawaban.
Tidak lama kemudian seorang budak dating sambil menjunjung
sebuah nampan. Di atas nampan tersebut ada daging domba panggang, penganan yang
manis-manis dan uang limaratus dirham perak. Si budak menyerahkan nampan
tersebut ke hadapan Habib. Kemudian Habib membagikan uang tersebut kepada
orang-orang miskin dan menempatkan nampan tersebut di samping Hasan.
Ketika Hasan mengeyam daging panggang itu, Habib berkata
kepadanya: “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi alangkah
baiknya seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan. Pengetahuan harus
disertai dengan keyakinan.”
***
MURID TIDAK BERBAKTI
Pada suatu hari ketika perwira-perwira Hajjaj mencari-cari
Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib.
“Apakah engkau telah melihat Hasan pada hari ini?” Tanya mereka
pada Habib.
“Ya, aku telah melihatnya.” Jawab Habib.
“Di manakah Hasan saat ini?”
“Di dalam pertapaan ini.”
Para perwira tersebut memasuki tempat Habib dan mengadakan
penggeledahan, namun mereka tidak menemukan Hasan.
“Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka.” Hasan
mengisahkan.”namun mereka tidak melihat diriku.”
Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu Hasan mencela
Habib. ”Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada guru.
Engkau telah menunjukkan tempat persembunyianku.”
“Guru karena aku berterus terang itulah engkau dapat
selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap.
“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga mereka
tidak melihat diriku?” Tanya Hasan.
“Aku membaca ayat Kursi sepuluh kali, Aamanar rasul sepuluh kali dan Qul Huwaallah Ahad sepuluh kali. Setelah itu aku berkata: Ya Allah,
telah kutitipkan Hasan kepada-Mu dan oleh karena itu jagalah ia.”
Sumber:
Warisan Para Awliya
Fariduddin Attar - A,J, Arberry hal 44-46 dengan sedikit perubahan dan penambahan judul cerita.
Mandi = Wudlu ???
Sekitar dua minggu
yang lalu ada seorang teman saya yang menjadi ustadz dan punya jamaah pengajian
di kampungnya sms dan bertanya: “Apakah
apakah jika seseorang mandi besar juga sekaligus suci dari hadats kecil ?”
Saya jawab bahwa
dengan mandi besar otomatis hadats kecilnya juga hilang.
Rupanya ia belum puas
dengan jawaban ini dan meminta dalil (ta’bir) dari kitab apa.
Karena saat itu saya
masih di pasar (maklumlah saya adalah seorang pedagang dan saat ia sms adalah
pagi hari saat saya sedang berjualan) maka saya janjikan kepadanya untuk
mencarikan dalilnya (ta’birnya). Setelah membuka kiatb-kitab saya yang jarang
dibaca hingga berselimut debu, akhirnya saya pun mendapatkan dalilnya.
Karena saya rasa
masalah ini mungkin bermanfaat pula bagi rekan-rekan lainnya, maka saya pun
berniat menulisnya di blog ini.
Imam Zainuddin bin
Abdil Aziz al-Malibari berkata:
( وَلَوْ أَحْدَثَ ثُمَّ أَجْنَبَ كَفَى
غُسْلٌ وَاحِدٌ ) وَإِنْ لَمْ يَنْوِ مَعَهُ الْوُضُوْءَ وَلاَ رَتَّبَ
أَعْضَاءَهُ.
Jika seseorang
berhadats (kecil) lalu ia junub maka cukuplah satu mandi saja, meskipun ia
tidak berniat wudlu dalam mandi itu dan tidak menertibkan (mengurutkan)
anggota-anggota tubuhnya.
(Fathul Mu’in hal
10-11)
Sayyid Alawi bin Ahmad
As-Saqqaf mengomentari kalimat di atas dengan perkataan:
بَلْ وَلَوْ نَفَاهُ لَمْ يَنْتَفِ
Bahkan seandainya
orang itu meniadakan wudlu itu, maka wudlu itu tidaklah hilang.
(Tarsyikhul Mustafidin
Hasyiah Fathul Mu’in hal 34 juz 1,
Imam Ad-Dimyati
berkata:
قَالَ فِى النِّهَايَةِ: وَقَدْ نَبَّهَ الرَّافِعِيُّ
عَلىَ أَنَّ الْغُسْلَ إِنَّمَا يَقَعُ عَنِ الْجَنَابَةِ وَأَنَّ اْلأَصْغَرَ
يَضْمَحِلُّ مَعَهُ – أَيْ لاَ يَبْقَى لَهُ حُكْمٌ فَلِذَلِكَ عَبَّرَ
الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ كَفَى اهـ
Imam ar-Romli dalam
kitab Nihayatul Muhtaj berkata: “Imam ar-Rafi’i telah mengingatkan bahwa
sesungguhnya mandi yang dilakukan karena jinabat sesungguhnya hadats itu hilang
(lenyap) bersamanya – artinya hukumnya sudah tidak ada, karena itulah pengarang
menggunakan kata mencukupi ( كَفَى)
(I’anatut Tholibin hal
79 juz 1)
Sayyid Sabiq berkata:
إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، لَمْ يَكُنْ قَدْ
تَوَضَّأَ يَقُوْمُ الْغُسْلُ عَنِ الْوُضُوْءِ.
قَالَتْ عَائِشَةُ: ( كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ
لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْضَ الْغُسْلِ ).
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ
لِرَجُلٍ قَالَ لَهُ : إِنِّي أَتَوَضَّأُ بَعْضَ الْغُسْلِ، فَقَالَ لَهُ: لَقَدْ
تَغَمَّقْتَ.
وَقَالَ ابْنُ الْعَرَبِيُّ: لَمْ يَخْتَلِفِ
الْعُلَمَاءُ أَنَّ الْوُضُوْءَ دَاخِلٌ تَحْتَ الْغُسْلِ، وَأَنّ نِيَّةَ
طَهَارَةِ الْجَنَابَةِ تَأْتِي عَلَى طَهَارَةِ الْحَدَثِ وَتَقْضِي عَلَيْهِ،
ِلأَنَّ مَوَانِعَ الْجَنَابَةِ أَكْثَرَ مِنْ مَوَانِعِ الْحَدَثِ، فَدَخَلَ
اْلأَقَلُّ فِى نِيَّةِ اْلأَكْثَرِ، وَأَجْزَأَتْ نِيَّةُ اْلأَكْبَرِ عَنْهُ.
Jika seseorang mandi
jinabat, dan ia tidak berwudlu, maka mandinya itu menempati kedudukan wudlu.
Aisyah berkata:
“Rasulullah SAW tidak berwudlu setelah mandi.”
Ibnu Umar RA berkata
kepada seorang laki-laki yang mengatakan: Sesungguhnya saya berwudlu setelah
mandi. “Engkau sungguh-sungguh telah berlebihan (arti aslinya memperdalam
-pen).
Ibnu al-Arabiy
berkata: “Para ulama tidak berbeda pendapat
bahwa sesungguhnya wudlu termasuk
di dalam mandi. Dan sesungguhnya niat bersuci dari jinabat menyempurnakan dan
memenuhi bersuci dari hadats (kecil), karena perkara-perkara yang dilarang
karena jinabat lebih banyak dari perkara-perkara yang dilarang karena hadats,
maka masuklah (hadats) yang lebih kecil kepada yang lebih banyak, maka cukuplah
niat (menghilangkan) hadats besar dari yang kecil.”
(Fiqih Sunnah hal 65
juz 1)
Dengan demikian
jelaslah bahwa jika seseorang mandi besar maka hadats kecilnya secara otomatis
juga hilang (lenyap) dan seandainya ia shalat tana berwudlu maka menurut para
ulama shalatnya sah.
Meskipun demikian
dalam mandinya ia tetap disunnahkan untuk berwudlu sebagaimana tersebut dalam
kitab-kitab hadits.
Semoga bermanfaat,
Wallahu A’lam bish-showab.
Selasa, 30 Oktober 2012
Hukum Bersedekah Dengan Benda Yang Tidak Disukai
Saat teman saya yang berhaji berada di Mina, ia SMS bertanya
tentang hukum mensedekahkan barang yang kurang baik, bagaimana hukumnya dan apa ta’birnya (dalilnya)?
Setelah terdiam beberapa jenak (karena waktu sejenak tidak
cukup bagi saya) maka akhirnya saya pun menjawabnya.
Hukum bersedekah dengan barang yang kurang disukai hukumnya
makruh hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
يَا آيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اَنْفِقُوْا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ، وَلاَ
تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيْهِ إِلاَّ أَنْ
تُغْمِضُوْا فِيْهِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [S. Al-Baqarah: 267]
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita
untuk bersedekah dengan benda yang baik dari hasil pekerjaan kita atau dari apa
yang kita peroleh dari bumi. Dan Allah mencela orang-orang yang bersedekah kepada
orang lain dengan harta yang kurang baik
(jelek).
Selain itu kita tidak akan mencapai kebaikan
yang sempurna kecuali jika kita mau bersedekah dengan harta milik kita yang
paling baik.
Allah SWT berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتىَّ تُنْفِقُوْا
مِمَّا تُحِبُّوْنَ، وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
[S. Ali Imran: 92]
Selain itu ada hadits nabi yang diriwayatkan
oleh sahabat Abu Hurairah :
أيُّهَا النَّاسُ ،
إنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّباً
Wahai para manusia, sesungguhnya Allah itu
dzat yang baik dan tidak menerima kecuali perkara yang baik. [HR Muslim no:
1014 ]
Pada saat saya menulis posting ini, saya
teringat akan kisah 2 putera nabi Adam – Habil dan Qabil - saat mereka diperintah
untuk berqurban untuk menyelesaikan masalah diantara mereka yang di sebutkan
dalam S. Al-Maidah ayat 27. Saat itu
Habil memilih hasil panen yang paling baik dan hewan ternak yang paling gemuk,
sedangkan Qabil sebaliknya. Akhir ceritanya mudah ditebak. Allah menerima qurban yang dipersembahkan
Habil dan tidak menerima qurban dari Qabil.
Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat.
Langganan:
Postingan (Atom)