Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Jumat, 07 Januari 2011

Awas Bid'ah

Kita sering mendengar saudara-saudara kita sesama muslim berkata ini bid’ah, itu bid’ah,.
Kita juga sering mendengar saudara-saudara kita yang menyalahkan, menyesatkan, bahkan yang lebih ekstrim mengkafirkan, mensyirikkan atau menvonisnya neraka kepada saudaranya yang tidak sama amalannya dengannya.
Na’udzu bilah min dzalika
(Kita berlindung kepada Allah akan hal semacam itu).
Memang benar di antara saudara-saudara yang mengerjakan bid’ah tetapi kita sebaiknya mempelajari dan mengkaji secara serius benarkah amalan yang dikerjakannya adalah bid’ah ?
Sehingga kita tidak keliru dan sembrono dalam menvonis (memberi hukum), karena perbuatan ini jika tidak terbukti maka bahayanya justru kembali kepada diri kita sendiri.
Karena inilah saya -dengan ilmu yang sedikit dan terbatas- mencoba memberikan kajian singkat tentang bid’ah.

1. BAHAYA VONIS BID’AH
Menuduh seseorang berbuat bid’ah, musyrik atau kafir bukanlah suatu perbuatan yang
ringan bahkan berbahaya bagi orang yang melakukannya.

Nabi SAW bersabda:
إِنَّمَا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رَجُلاً قَرَأَ الْقُرْآَنَ حَتىَّ رُؤِيَ عَلَيْهِ بَهْجَتُهُ وَكَانَ رِدْءَ اْلإِسْلاَمِ اعْتَزَل َإِلىَ مَا شَاءَ اللهُ  وَخَرَجَ عَلىَ جَارِهِ بَسَيْفِهِ وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ
“Sesungguhnya yang aku takuti dari kalian adalah seorang lelaki yang membaca al-Quran  sehingga tampak kecemerlangan kepada dirinya, dan ia penolong Islam, (kemudian) ia menyendiri sampai waktu yang dikehendaki Allah dan keluar kepada tetangganya dengan pedangnya dan menuduhnya musyrik,” 
(HR al-Bazzar dari Hudzaifah dengan sanad yang sahih)

Dalam riwayat Ibnu Marduwaih dan Ibnu Hibban :
أَخَوْفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ ثَلاَثاً، رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ الْقُرْآَنَ حَتىَّ إِذَا رَأَيَ بَهْجَتَهُ وَتَرَّدَى اْلإِسْلاَمِ اَعَارَهُ اللهُ مَا شَاءَ، اخْتَرَطَ سَفَهٌ وَضَرَبَ جَارَهُ وَرَمَاهُ بِالْكُفْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّهُمَا أَوْلىَ بِالْكُفْرِ، الرَّامِي اَوِ الْمُرْمَى بِهِ ؟،  قَالَ: الرَّامِى ..... الحديث
“Perkara yang paling aku takuti pada kalian ada tiga: Seorang lelaki yang  Allah berikan  (anugrah) al-Quran kepadanya sehingga tampak  kecemerlangannya dan menolong  Islam, Allah melepaskannya sampai waktu  yang dikehendaki-Nya, ia bertindak serampangan, memukul (menyakiti) 
tetangganya dan menuduhnya kafir,”  Para sahabat bertanya: “ Hai Rasulullah, manakah yang paling layak kafir di antara mereka, orang yang menuduh atau yang di tuduh ?”, 
Rasulullah berkata: “Orang yang menuduh.”

Rasulullah SAW bersabda :
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ أَحَدُهُمَا
“Jika seorang lelaki (Islam) mengkafirkan saudaranya (sesama Islam) , maka kembalilah kekafiran itu pada salah seorang darinya.” 
(HR Muslim dari Ibnu Abbas)

Dalam riwayat lain :
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Siapapun yang mengatakan pada saudaranya : Hai orang kafir, maka  kembalilah kekafiran itu pada salah seorang darinya, jika kekafiran itu ada  pada saudaranya (maka kembalilah kepada saudaranya itu), dan jika kekafiran  itu tidak berada pada saudaranya maka kembalilah kekafiran itu kepadanya”

وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ : عَدُوُّ اللهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
"Barang siapa yang memanggil seorang laki-laki dengan kekafiran, atau  berkata: "Hai musuh Allah", dan orang laki-laki tersebut tidaklah demikian  kecuali kembalilah kekafiran itu pada dirinya."
Perhatikan wahai saudaraku, betapa berat ancaman bagi seseorang yang menuduh  saudaranya berbuat kemusyrikan, kekafiran, atau bid’ah.

2. DEFINISI BID’AH
Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang baru tanpa ada contoh yang terdahulu.
Sedangkan menurut syara’ (agama) dapat kita ambil dari hadis riwayat Muslim:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَادٌّ
"Barang siapa berbuat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami ini  yang tidak termasuk di dalamnya maka perbuatan itu tertolak."

Dalam hadis ini disebutkan tiga syarat bahwa sesuatu itu dapat dikatakan sebagai bid’ah:

a. Perbuatan itu baru (مَنْ أَحْدَثَ )
Artinya perbuatan itu tidak pernah dikerjakan di zaman Rasulullah SAW atau di zaman Khulafaur Rasyidin.
Mengapa perlu ditambahkan kata-kata di zaman Khulafur Rasyidin ?
Karena rasulullah SAW bersabda:
    فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ
"Maka berpeganglah pada sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk." 
[HR Abu Dawud, Ibnu Majah Ibnu Hibban]

b. Perbuatan itu dalam masalah agama ( فِى أَمْرِنَا هَذَا )
Jika perbuatan yang baru itu bukan dalam masalah agama maka tidak dapat dikatakan sebagai bid’ah syar’iyah (bid'ah sebangsa agama) akan tetapi disebut bid’ah ghairu syar’iyyah (bid'ah bukan sebangsa agama)

c. Perbuatan itu tidak ada dalilnya ( مَا لَيْسَ مِنْهُ )
Jika perbuatan baru itu ada dalilnya maka tidak dapat dikatakan sebagai bid’ah tetapi disebut khilaf fiqih (perbedaan pendapat dalam fiqih).
Yang dimaksud dalil disini tidak hanya terbatas pada al-Quran dan hadis saja, akan tetapi dalil-dalil syar’i yang disebut dalam ilmu ushul fiqih baik yang disepakati para ulama ataupun yang diperselisihkan.

3. APAKAH SETIAP BID’AH ITU SESAT
Rasululullah SAW bersabda:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
Takutilah akan perkara-perkara yang baru, maka sesungguhnya setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di dalam neraka."
[HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Para ulama dalam menafsirkan hadis diatas terbagi menjadi 2 kelompok:

a. Kalimat setiap bid’ah adalah kata ‘am (umum) yang dikhususkan artinya
Bid’ah yang sesat adalah bid’ah tidak berdasarkan salah satu dasar dari dasar-dasar syariat, dan tidak berdasarkan timbangan atau qiyas syar’i.
Jika perkara yang baru itu berdasarkan kaidah-kaidah ushul fiqih atau dikembalikan kepadanya maka tidak dapat disebut sebagai bid’ah atau sesat.
Ini adalah pendapat kebanyakan ulama seperti asy_Syafi’i, Ibnu Rajab al-Hanbali,
Ibnu Abdi Barr, an-Nawawi. Ibnu Hajar, As-Shon’ani, az-Zarqoni dan ulama-ulama lain.

b. Kalimat setiap bid’ah adalah sesat adalah kata ‘am yang tetap dalam keumumannya.
Ini adalah pendapat al-Luknawi dan beliau menyatakan pengarang Syarh Misykat,  al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Hadyus Sari dan Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Haitami al-Maliki dalam al-Fathul Mubin bi Syarhil Arba’in dan ulama lainnya cenderung pada pendapat ini.

Untuk meneliti pendapat yang terkuat diantara kedua pendapat tersebut, perhatikan hadis Muslim dibawah ini
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يُنْقَصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ،  وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يُنْقَصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
"Barangsiapa berbuat kesunnatan dalam Islam sunnah yang baik, maka kesunnahan itu dikerjakan setelah ia meninggal maka ditulislah baginya  pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala  mereka sedikitpun. 
Dan barangsiapa yang berbuat kesunnatan dalam islam sunnah yang jelek, maka kesunnahan itu dikerjakan setelah ia meninggal maka ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun."

Dalam hadis ini Nabi SAW menjelaskan perbuatan baru dalam agama Islam
- ada yang baik (sunnah hasanah / bid’ah mahmudah)
- ada pula yang jelek (sunnah sayyi-ah / bid’ah madmumah)
Jadi menurut penulis, pendapat yang terkuat adalah pendapat ulama yang mengatakan bahwa hadis setiap bid’ah adalah ‘am yang dikhususkan.

Asy-Syafi’i berkata: "Bidah itu ada dua. Bid’ah Mahmudah dan Bid’ah Madzmumah.  Jika bid’ah itu sesuai dengan as-Sunnah maka itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji),  dan bid’ah yang bertentangan dengan as-sunnah maka itu adalah bid’ah madzmumah (tercela)."

Al-Quran sendiri mendukung Bid’ah Hasanah.
At-Tabrani dalam kitab al-Ausath meriwayatkan dari Abu Umamah, beliau berkata:  "Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kalian puasa Ramadlan dan tidak mewajibkan kepada kalian shalat tarawih, adapun shalat tarawih itu sesuatu yang baru yang kalian buat, maka kerjakanlah secara terus-menerus. Maka sesungguhnya sekelompok bani Israil berbuat suatu bid’ah (perkara baru) maka Allah mencela mereka karenameninggalkannya.  “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak 
mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendiri yang mengada-adakannya)  untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.” 
 [al-Hadid: 27] .

Abdullah Ash-Shiddiq al-Ghumari berkata: "Kesimpulan hukum yang diambil Abu Umamah adalah sohih, maka sesungguhnya ayat tersebut tidak mencela mereka karena membuat perkara baru yaitu ruhbaniyyah, karena dengannya mereka mencari ridlo Allah, tetapi mecela mereka karena tidak menjaga dengan sebaik-baiknya, dan ini memberikan faedah disyariatkannya bid’ah hasanah dengan jelas, hanya saja Ibnu Katsir tidak menemukan tujuanayat ini maka beliau menafsirkannya kepada mencela bid’ah secara mutlak, dan ini adalah (pendapat yang) keliru.

Selain itu ada kaidah Ushul Fiqih yang menyatakan:
أَنَّ تَرْكَ الشَّيْءِ لاَ يَقْتَضِي تَحْرِيْمَهُ
Sesungguhnya meninggalkan sesuatu tidaklah menunjukkan keharaman  sesuatu tersebut

Contohnya dalam sohih Bukhori dan Muslim ada hadis yang menceritakan bahwa Rasulullah bersama Kholid bin al-Walid masuk ke dalam rumah Maimunah, beliau diberi makanan dari dzobb (sejenis kadal) maka rasulullah tidak memakannya, maka Kholid bertanya: "Apakah itu haram wahai Rasulullah ?", Beliau berkata: "Tidak, akan tetapi ia tidak ada di tanah kaumku."

4. CONTOH-CONTOH BID”AH MAHMUDAH (HASANAH)
Berikut ini adalah contoh-contoh perbuatan baru yang dikerjakan baik pada zaman nabi dan sesudahnya:


a. Pada zaman Nabi.SAW
Dalam hadis riwayat al-Bukhori:
Suatu saat kami shalat dibelakang Nabi SAW, maka saat beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ beliau berkata: Sami’allahu liman hamidah. Maka seorang lelaki dibelakangnya berkata: "Rabbana wa lakal hamd hamdan katsiran thayyiban mubarokan fiih". Maka setelah selesai shalat Nabi berkata: “Siapa tadi yang berkata ?”, Orang laki-laki itu berkata: “Saya “.Rasulullah berkata: “Aku melihat tiga puluh malaikat lebih berebut untuk menulis pahalanya.”

Dalam hadis riwayat Ibnu Majah.:
Suatu saat Bilal adzan Subuh, maka dikatakan kepadanya bahwa Nabi SAW sedang tidur, maka Bilal berkata: “Ash-Sholatu khoirum minan naum (shalat itu lebih baik daripada tidur).” Maka perkataan ini ditetapkan dalam adzan subuh.

b. Setelah Nabi SAW
Pada zaman Abu Bakar: pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf
Pada zaman Umar: shalat tarawih berjamaah di bawah satu imam, MaqamIbrahim diundurkan tempatnya untuk memperluas tempat thawaf
Pada zaman Utsman: tambahan satu adzan dalam Shalat Jum’at, penulisan al-Quran dalam satu qiroaah saja dan pembakaran mushaf-mushaf selain itu, pembangunan dan perluasan masjid nabi.
Pada zaman’Ali: beliau mengajarkan bacaan shalawat selain shalawat Ibrahimiyyah.
Penulisan dan pengumpulan hadis Nabi.
Penambahan titik. harakat, tanda waqaf, juz dan lainnya pada al-Quran..

5. HAL-HAL DILAKUKAN SEBELUM MENUDUH BID’AH
Sebelum kita menuduh seseorang berbuat bid’ah, ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan terlebih dahulu.

a. Meneliti permasalahan dengan obyektif dan seriusBagaimanakah pendapat para ulama dalam masalah ini ?
Benarkah perbuatan tersebut merupakan bid’ah atau hanya merupakan perselisihan fiqih semata ?
Sikap kita dalam melihat permasalahan harus obyektif (tidak memihak), adil, dan tidak  dipengaruhi hawa nafsu atau fanatisme kelompok.

Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأمَانَاتِ إِلىَ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِاْلعَدْلِ
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan  dengan adil.” 
(S. An-Nisa: 4]

Misalnya jika kita berbicara tentang tawassul, maka kumpulkanlah pendapat para ulama dalam masalah ini baik yang setuju atau tidak, kemudian bandingkanlah pendapat-pendapat tersebut.
Dalam melihat masalah tawassul ini jauhkanlah pengaruh atau pandangan suatu kelompok dalam Islam, entah itu NU, Muhammadiyah, Salafi atau yang lainnya.
Insya Allah dengan cara ini kita akan mendapatkan kebenaran dan kebaikan.

b. Berbaik sangka dan mencoba mencari alasan atau latar belakangan yang mungkin memperbolehkan perbuatan tersebutDengan cara ini kita dapat mengurangi tuduhan-tuduhan bid’ah kepada saudara-saudara kita dan menghindarkan perpecahan dalam diri umat Islam

Umar bin al-Khattab berkata:
 وَضَعْ أَمْرَ أَخِيْكَ عَلىَ أَحْسَنِهِ حَتىَّ يَأْتِيَكَ مِنْهُ مَا يَغْلِبُكُ،  وَلاَ تَظُنُّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ مُسْلِمٍ شَرًّا وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِى الْخَيْرِ مَحْمَلاً:
"Letakkanlah perkara saudaramu kepada hal yang paling baik sehingga  datang kepadamu hal yang mengalahkannya, dan janganlah kamu menyangka   jelek akan suatu kalimat yang keluar dari mulut seorang muslim sedangkan kamu menemukan kemungkinan yang baik bagi kalimat itu."

Misalnya jika kita melihat saudara kita suka berziarah kubur dan berdoa disana, janganlah kita terburu-buru mengatakan bahwa ia musyrik,
Karena ziarah kubur sendiri dianjurkan oleh Nabi SAW dan tidak ada larangan dari Rasulullah untuk berdoa di kuburan, bahkan beliau menganjurkan membaca salam (do'a) saat kita memasuki kuburan.

c. Mengkofirmasi (mencek) kebenarannyaBenarkah orang itu melakukan perbuatan tersebut, atau tidak ?
Tanyakan kepada orang yang berbuat apa alasan ia melakukan perbuatan tersebut.
Kemudian tanyalah apakah ia memiliki alasan atau dasar untuk mengerjakan perbuatan tersebut.
Allah SWT berfirman:
يَا آيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلىَ مَا فَعَلْتُمْ بِهِ نَادِمِيْنَ
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik  membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak  menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya  yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." 
[S. al-Hujarat : 6]

Semoga sedikit uraian dari kami dapat bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar