Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Jumat, 26 Oktober 2012

Pakai Kentungan menurut KH Hasyim Asy'ari Bid'ah



Kisah yang akan saya tulis di bawah ini akan menunjukkan betapa indahnya agama Islam jika kita dapat bertoleransi dan menghargai perbedaan pendapat yang terjadi di antara kita sesama umat Islam.

Kyai Maskur, salah seorang kiai tua terhormat dari generasi pendiri, menceritakan kisah mengenai Kyai Hasyim Asy’ari pada awal berdirinya NU.
Dijelaskan oleh kyai ini bagaimana Kyai Hasyim Asy’ari telah menulis artikel dalam suara Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, beberapa bulan setelah berdirinya NU. Dalam artikel ini ia mengajukan argumentasi bahwa oleh Karena kentungan tidak disebutkan dalam hadits nabi maka tentunya diharamkan dan tidak dapat digunakan untuk menandakan waktu shalat . Seperti banyak kyai lainnya, Kyai Hasyim Asy’ari juga beralasan bahwa dalam hal-hal pemujaan (ibadah-pen), tradisi harus dipertahankan dan inovasi dibatasi hanya pada penerapan sosial ajaran itu, bukan pada cara pemujaan (ibadah-pen) dasar.
Tidak semuanya sepakat.  Bahkan pada awal berdirinya, tradisi pluralisme dalam NU sudah cukup kuat.
Sebulan setelah dipublikasikannya artikel Kyai Hasyim itu, seorang kyai senior lainnya, Kyai Fakih, menulis sebuah artikel untuk menentangnya. Ia beralasan bahwa Kyai Hasyim salah karena prinsip yang digunakan dalam masalah ini adalah masalah qiyas ,atau kesimpulan yang didasarkan atas prinsip yang sudah ada. Atas dasar ini maka kentungan Asia Tenggara memenuhi prinsip untuk digunakan sebagai beduk untuk menyatakan waktu shalat.
Sebagai tanggapannya, Kyai Hasyim mengundang ulama Jombang untuk bertemu dengannya di rumahnya dan kemudian meminta agar kedua artikel itu dibaca keras.
Ketika hal ini telah dilakukan, ia mengumumkan kepada mereka yang hadir:
“Anda bebas mengikuti pendapat yang mana saja, karena kedua-duanya benar, tapi saya mendesakkan bahwa di pesantren saya kentungan tidak dipergunakan.”
Beberapa bulan kemudian Kyai Hasyim diundang untuk menghadiri perayaan Maulid Nabi  di Gresik. Tiga hari sebelum tiba, Kyai Fakih, yang merupakan kyai senior di Gresik membagikan surat kepada seluruh masjid dan mushala untuk meminta mereka menurunkan kentungan untuk menghormati Kyai Hasyim dan  untuk tidak menggunakannya selama kunjungan Kyai Hasyim di tempat itu.

Sumber:
Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid)
Oleh: Greg Barton
Hal 162-163

Catatan
Dalam masalah ini saya lebih cenderung kepada pendapat Kyai Fakih karena kentungan itu tidak menyangkut langsung pada prosesi ibadah (yaitu shalat ) dan hanya merupakan perantara (wasilah) agar ibadah ini menjadi lebih mudah dan lancar seperti halnya maksud Khalifah ketiga Usman bin Affan saat beliau menambahkan adzan kedua pada shalat jum’at.
Selain itu pada saat saya masih menjadi santri di Tebuireng (tahun 1994-1997) di Masjid Tebuireng ada beduk yang digunakan sebagai penanda waktu shalat.  Sehingga kemungkinan besar pendapat Kyai Hasyim Asy’ari di pesantren beliau sendiri saat ini sudah kurang populer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar