Kemarin malam sehabis ngaji kitab Fath al-Muin di kediaman
K.H. Maghfur Usman, seorang teman
menghampiri saya karena ingin menanyakan sesuatu. Di kampungnya saat pengajian
ia ditanyai tentang masalah boleh tidaknya berwudlu dengan air PDAM yang berbau
dan berasa tawas ? Saat itu saya merasa agak bingung untuk menjawabnya dan saya sarankan untuk bertanya
kepada K.H. Maghfur saja. Tapi katanya ia segan dan malu untuk bertanya kepada
beliau. Maka saya pun berjanji untuk
memberikan jawabannya setelah saya membuka kitab-kitab fiqih yang saya miliki
karena secara samar-samar saya kelihatannya pernah membaca masalah ini dalam salah satu kitab (maklumlah sudah lama
saya tidak buka-buka kitab). Dan setelah
saya temukan jawabannya maka saya pun segera menghubunginya lewat HP. Karena masalah ini mungkin banyak terjadi pada
rekan-rekan muslim lainnya, saya tergerak untuk menulis jawabannya dalam blog
ini.
Air yang dicampuri dengan tawas selama tidak berubah warna,
rasa dan baunya maka boleh digunakan untuk bersuci karena hal ini tidak
menyebabkan hilangnya nama air tersebut sebagai air mutlak.
Tetapi jika penambahan tawas ini menyebabkan perubahan warna, rasa
dan baunya jika hanya sedikit tetapi tidak menyebabkan hilangnya nama air itu sebagai air mutlak maka boleh
bersuci dengan menggunakan air tersebut karena Nabi sendiri pernah berwudlu
dari wadah air yang di dalamnya ada bekas adonan roti
(Syarah Minhaj al-qowim
hal 15 dalam kitab al-Hawasyi al-Madaniyah)
Tetapi jika penamabahan tawas ini menyebabkan perubahan warna, rasa dan baunya dengan perubahan yang banyak maka tidak sah berwudlu dengan menggunakan air ini.
Hal ini disamakan dengan tir (قطران ) yang dimasukkan ke dalam air dengan tujuan untuk memperbaiki
(kualitas) air itu, maka menurut sebagian ulama madzhab syafi’i meskipun suci
tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci.
Imam Syihab al-Barlasi berkata:
إن كان وضعه (أي القطران) فيها (أي فى الظرف) لإصلاح الظرف
التحق بما فى المقر، وإن كان لإصلاح الماء وهو الظاهر ضر بشرطه.
Jika orang itu memasukkan tir dalam wadah-wadah untuk
memperbaikinya maka (hukumnya) sama dengan air yang berubah karena tempatnya
(boleh digunakan bersuci), dan jika tir itu untuk memperbaiki (kualitas) air
dan ini yang dhohir maka berbahaya (artinya tidak boleh digunakan untuk
bersuci).
(Tarsyikh al-Mustafidin hasyiah kitab Fath al-Muin hal 14)
Abdurrahman al-Jaziri berkata:
وكذا إذا تغير تغيرا كثيرا يقينا بقطران فإنه يصير طاهرا
فقط بشرطين: أن يكون القطران خال من الدهنية، ثانيها: أن لا يكون الغرض من استعمال
القطران إصلاح قربة الماء وإلا فلا يضر.
Dan demikian pula jika air itu berubah dengan perubahan yang
banyak dengan yakin sebab tir maka air itu menjadi suci saja (tidak mensucikan)
dengan 2 syarat:
1. Tir itu tidak ada (tidak mengandung) minyaknya
2. Tujuan menggunakan tir tidak untuk memperbaiki wadah air,
jika ini tujuannya maka tidak apa-apa (artinya air itu dapat
digunakan untuk bersuci)
(Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah hal 36 juz 1)
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar