Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Kamis, 18 Oktober 2012

Hukum Bersuci Dengan Air Tawas


Kemarin malam sehabis ngaji kitab Fath al-Muin di kediaman K.H. Maghfur Usman, seorang  teman menghampiri saya karena ingin menanyakan sesuatu. Di kampungnya saat pengajian ia ditanyai tentang masalah boleh tidaknya berwudlu dengan air PDAM yang berbau dan berasa tawas ? Saat itu saya merasa agak bingung untuk  menjawabnya dan saya sarankan untuk bertanya kepada K.H. Maghfur saja. Tapi katanya ia segan dan malu untuk bertanya kepada beliau.  Maka saya pun berjanji untuk memberikan jawabannya setelah saya membuka kitab-kitab fiqih yang saya miliki karena secara samar-samar saya kelihatannya pernah membaca masalah ini  dalam salah satu kitab (maklumlah sudah lama saya tidak buka-buka kitab).  Dan setelah saya temukan jawabannya maka saya pun segera menghubunginya lewat  HP.  Karena masalah ini mungkin banyak terjadi pada rekan-rekan muslim lainnya, saya tergerak untuk menulis jawabannya dalam blog ini.

Air yang dicampuri dengan tawas selama tidak berubah warna, rasa dan baunya maka boleh digunakan untuk bersuci karena hal ini tidak menyebabkan hilangnya nama air tersebut sebagai air mutlak.
Tetapi jika penambahan  tawas ini menyebabkan perubahan warna, rasa dan baunya jika hanya sedikit tetapi tidak menyebabkan hilangnya  nama air itu sebagai air mutlak maka boleh bersuci dengan menggunakan air tersebut karena Nabi sendiri pernah berwudlu dari wadah air yang di dalamnya ada bekas adonan roti
(Syarah Minhaj al-qowim  hal 15 dalam kitab al-Hawasyi al-Madaniyah)

Tetapi jika penamabahan tawas ini menyebabkan perubahan  warna, rasa dan baunya dengan perubahan yang banyak maka tidak sah berwudlu dengan menggunakan air  ini.
Hal ini disamakan dengan tir (قطران   ) yang dimasukkan ke dalam air dengan tujuan untuk memperbaiki (kualitas) air itu, maka menurut sebagian ulama madzhab syafi’i meskipun suci tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci.

Imam Syihab al-Barlasi berkata:
إن كان وضعه (أي القطران) فيها (أي فى الظرف) لإصلاح الظرف التحق بما فى المقر، وإن كان لإصلاح الماء وهو الظاهر ضر بشرطه.
Jika orang itu memasukkan tir dalam wadah-wadah untuk memperbaikinya maka (hukumnya) sama dengan air yang berubah karena tempatnya (boleh digunakan bersuci), dan jika tir itu untuk memperbaiki (kualitas) air dan ini yang dhohir maka berbahaya (artinya tidak boleh digunakan untuk bersuci).
(Tarsyikh al-Mustafidin hasyiah kitab Fath al-Muin hal 14)

Abdurrahman al-Jaziri berkata:

وكذا إذا تغير تغيرا كثيرا يقينا بقطران فإنه يصير طاهرا فقط بشرطين: أن يكون القطران خال من الدهنية، ثانيها: أن لا يكون الغرض من استعمال القطران إصلاح قربة الماء وإلا فلا يضر.
Dan demikian pula jika air itu berubah dengan perubahan yang banyak dengan yakin sebab tir maka air itu menjadi suci saja (tidak mensucikan) dengan 2 syarat:
1. Tir itu tidak ada (tidak mengandung) minyaknya
2. Tujuan menggunakan tir tidak untuk memperbaiki wadah air,  jika ini tujuannya maka tidak apa-apa (artinya air itu dapat digunakan untuk bersuci)
(Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah hal 36 juz 1)

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar