Pada zaman nabi SAW ada seorang lelaki melamar wanita yang dipanggil Ummu Qais (namanya Qoilah) maka wanita itu tidak mau dinikahi kecuali kalau lelaki mau berhijrah ke Madinah, lalu berhijrahlah lelaki itu ke Madinah dan kemudian lelaki itu dikenal dengan sebutan Muhajir Ummi Qois.
Faidah hadits
Faidah yang pertama:
Hadits ini merupakan salah satu sumber ajaran pokok (asal) dari agama Islam.
Imam Syafi’i, Ahmad, Ibnu al-Madini, Ibnu Mahdi, Abu Dawud, ad-Daraquthni dan imam-imam yang lain menyatakan bahwa hadits ini adalah sepertiga dari ilmu. Ada yang mengatakan seperempat ilmu.
Imam al-Baihaqi menjelaskan bahwa perbuatan seseorang itu terjadi dengan hatinya, lidahnya dan anggota tubuhnya. Niat adalah salah satu bagian bagian dari perbuatan itu dan merupakan yang paling penting, yang terkadang menjadi ibadah yang tersendiri dan perbuatan yang lain memerlukannya.
Menurut saya, mengapa hadits ini termasuk dalam sepertiga agama Islam, karena ajaran agama Islam itu dapat dibagi menjadi tiga bagian: keyakinan (I’tiqod), ibadah (Fiqh) dan budi pekerti (Akhlak/Tasawuf).
- Keyakinan itu kita laksanakan dengan akal pikiran.
- Ibadah itu kita laksanakan dengan anggota tubuh.
- Budi pekerti itu kita laksanakan dengan hati.
Faidah yang kedua:
Para ulama berbeda pendapat tentang perkiraan (taqdir) lafal yang dibuang dari kalimat “Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) dengan niatnya”.
Sebagian ulama terutama dalam madzhab Syafi’i memperkirakan lafal yang dibuang adalah: sah.
Jadi menurut mereka arti hadits adalah:
“Sesungguhnya (sahnya) amal-amal itu (tergantung) dengan niatnya”.
Karena itu dalam madzhab Syafi’i semua amal itu harus disertai dengan niat. Jika amal itu tidak disertai dengan niat, maka amal itu hukumnya tidak sah.
Sebagian ulama (termasuk Imam Abu Hanifah) memperkirakan lafal yang dibuang adalah: sempurna.
Jadi menurut mereka arti hadits adalah:
“Sesungguhnya (sempurnanya) amal-amal itu (tergantung) dengan niatnya”.
Karena itu mereka tidak mensyaratkan adanya untuk amal yang yang sifatnya meninggalkan sesuatu seperti menghilangkan najis.
Amal yang bersifat meninggalkan sesuatu maka tetap sah akan tetapi tidak akan mendapatkan pahala kecuali jika ia berniat.
Demikian pula untuk ibadah yang tidak ada bandingannya dengan perbuatan sehari-hari seperti wudlu maka tidak disyaratkan adanya niat.
Sedangkan untuk amal yang ada bandingannya dengan perbuatan biasa seperti mandi, disyaratkan adanya niat agar bisa dibedakan antara ibadah dan kebiasaan.
Faidah yang ketiga:
Hadits ini juga menjadi salah satu dasar dari lima kaidah fiqh yang utama, yaitu:
اْلاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
Sesungguhnya perkara-perkara itu tergantung dari tujuannya.
Misalnya jika kita makan dengan diniati untuk menguatkan tubuh kita saat beribadah maka perbuatan makan kita itu akan mendapat pahala. Dan jika kita makan karena akan berbuat maksiat atau kejahatan, maka perbuatan makan kita akan mendapat dosa. Dan jika kita tidak berniat apa-apa saat makan, maka kita tidak mendapat pahala atau dosa dari perbuatan makan kita itu.
Demikian pula jika saat kita akan tidur kita berniat untuk shalat malam, dan kemudian kita tertidur hingga pagi dan tidak shalat malam, maka kita tetap mendapat pahala dari niat tersebut.
Rasulullah SAW berkata:
نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
Niat seorang mukmin itu lebih baik dari amalnya.
Sebelumnya Selanjutnya
( Mufrodat ) ( Faidah 2 ) ( Faidah 3 ) ( Takhrij )
download doc pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar