Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Rabu, 15 Mei 2013

Kisah Sayyid Alawi dan As-Sa'di Palsukah? bag-2


1. Masalah Sanad Periwayatan:

Pertama, ucapan dari penulis yang menyatakan kisah ini fiktif  (yaitu Mahmud Farhan al-Buhairi) bahwa sanad periwayatan kisah ini adalah rapuh, tidak ditemukannya sanad shahih lagi terpercaya yang sambung sampai kepada as-Sayyid ‘Alawiy Maliki secara langsung …..
                                                                                                                        
Komentar saya:
Dalam hal ini sudah jelas dikatakan bahwa kisah ini dikutip dari kitab ats-tsabat karangan as-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah karena itu kita perlu memeriksanya dalam kitab tersebut (yang sayangnya tidak saya miliki) apakah benar-benar  tidak ada? .
Seandainya memang kisah ini memang benar ada dalam kitab itu, maka perkataan Mahmud Farhan al-Buhairi ini tidak dapat kita terima karena berarti sanadnya shahih dan terpercaya karena beliau adalah murid langsung dari Syaikh Alawi (berarti muttasil) dan beliau adalah orang yang dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram di Bab Salam, Masjid Ibnu Abbas di Thoif, Masjid al-Hadi dan yang lainnya (tsiqah).  

Kedua, ucapan beliau (penulis bantahan) bahwa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah mendengar darinya, atau dari seorang pun dari penduduk distrik, atau dari murid-murid beliau yang telah menukil kisah ini dari beliau hingga beliau wafat dan ia telah menelpon putra Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah dan putranya menafikan cerita ini …….

Komentar saya:
Dalil yang dipakai penulis bantahan ini bukanlah dalil yang qath’i (pasti) masih berupa dalil yang dhanni (persangkaan) saja.
Karena menurut kaidah ushul fiqih orang yang diam (tidak berkata apa-apa) tidak dapat disandarkan kepadanya akan suatu hukum.
لاَ يُنْسَبُ إِلىَ سَاكِتٍ كَلاَمٌ
“Orang yang diam tidak boleh disandarkan kepadanya akan suatu perkataan.”
Mengenai putra Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah yang tidak pernah mendengar kisah ini ayahnya ini pun juga bukan dalil qath’i karena bisa jadi ayahnya beliau menceritakan kisah ini dalam majlis ta’lim yang saat itu tidak dihadiri putranya atau beliau menceritakannya kepada salah satu santrinya dalam suatu pembicaraan tersendiri.  
Selain itu siapa yang dapat senantiasa berada di samping Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah selama hidupnya, baik putranya ataupun murid-muridnya, karena menurut logika hal ini ini tidak mungkin terjadi.
Demikian pula menurut logika, tidaklah mungkin si penulis ataupun putranya dapat menanyai seluruh murid Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah apalagi jika murid itu sudah tidak berada di tempat itu atau kembali ke kampung halamannya.
Jadi perkataan penulis di atas pun hanya dapat dianggap sebagai dalil dhanni yang tidak dapat dijadikan dasar untuk mendustakan kisah ini.

Ketiga, ucapan penulis bantahan bahwa yang mengagetkannya bahwa putra Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah menafikan pendapat bahwa ayahnya berkeyakinan akan keberkahan air hujan yang turun dari talang Ka’bah…

Komentar saya:
Ucapan inipun baru merupakan dalil dhanni bukan qath’i karena menurut kaidah ilmu ushul fiqh di atas itu dan kaidah
اْلأَصْلُ بَرَأَةُ الذِّمَّةِ  أَوِ اْلأَصْلُ اْلعَدَمُ
Asal dari sesuatu itu tidak ada tanggungan atau asal dari sesuatu itu tidak ada”
Kecuali jika putra beliau bisa menunjukkan perkataan/pendapat ayah beliau yang jelas-jelas menafikan masalah ini baik dalam kitab karangan ayahnya atau  dengan bukti-bukti yang nyata.
(Untuk lebih jelasnya tentang masalah ini anda dapat membaca Aqidah Imam Syafi’i tulisan Prof. Dr. KH. Maghfur Usman di mana di dalam karyanya ini beliau menjelaskan kaidah-kaidah ilmiah untuk menisbatkan suatu perkataan pada seseorang)

Ke empat, ucapan penulis bantahan bahwa putra Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah  menyatakan ayahandanya memiliki delapan belas kitab yang semuanya terdapat di Perpustakaan Masjidil Haram, dan tidak ada satu pun kitab-kitab itu yang berisi kisah ini.

Komentar saya:
Ada kemungkinan bahwasanya putra beliau tidak mengetahui semua kitab yang telah ditulis oleh ayahandanya, dan jadi bisa jadi ayahnya menulis lebih dari 18 kitab .
Kemungkinan kedua, putra beliau mungkin belum membaca isi keseluruhan dari kitab-kitab karya ayahnya saat memberikan pernyataan tersebut.
Kemungkinan ketiga, kitab ini bisa jadi dilarang beredar di Arab Saudi (karena setahu saya kitab-kitab yang tidak sepaham dengan pendapat mereka dilarang diterbitkan di sana) jadi menurut logika masuk akal jika kitab ini tidak ada Perpustakaan Masjidil Haram yang dikelola mereka.
Kemungkinan keempat (yang saya harapkan tidak terjadi) terjadi penghapusan/perubahan dalam kitab-kitab Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah  terutama dengan pendapat-pendapat beliau yang tidak sejalan dengan pendapat pemerintahan di sana.
Mungkin para pembaca menyatakan saya berburuk sangka dalam  hal ini, tapi tentang masalah ini pernah saya diskusikan dengan guru saya Prof. Dr. KH. Maghfur Usman yang pernah bermukim di Mekkah hampir selama 15 tahun dan ikut mengajar di Darul Ulum Mekkah dan beliau pun membenarkannya akan terjadinya hal tersebut.
Selain itu adalah hal wajar terjadi apabila ada perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maupun guru dan murid.
Jadi si anak berpendapat A, mungkin saja si ayah berpendapat B atau C atau yang lainnya.
Jadi ucapan seseorang  yang diriwayatkan anaknya dapat diterima selama tidak ada dalil lain yang membantah riwayatnya. Sedangkan dalam kasus ini riwayat si anak ternyata bertentangan dengan perkataan si ayah yang diriwayatkan dalam kitab yang ditulisnya sendiri.
Jadi manakah yang akan pembaca percayai, kami persilahkan untuk memikirkan dan merenungkannya sejenak.

Ke empat, ucapan penulis bantahan bahwa kita patut “bertakbir empat kali” atas jenazah sanad riwayat kisah tersebut setelah saya menghadirkan dalil qath’i yang membatalkannya

Komentar saya:
Para pembaca yang obyektif setelah membaca uraian di atas saya rasa dapat membandingkan sendiri apakah dalil yang dipakai penulis bantahan di atas merupakan dalil qath’i atau hanya merupakan dalil dhanni saja.
Yang kedua bukanlah sikap yang santun (bijak) bagi seorang mubaligh/ulama menggunakan perkataan yang kurang pantas (karena mengandung unsur ejekan) seperti kita patut bertakbir empat kali atas jenazah sanad riwayat kisah tersebut”  karena  itu bukan merupakan tuntunan  Allah dan Rasulnya.
Allah berfirman:
﴿ اُدْعُوْ إِلىَ سَبِيْلِ رَبِّك بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَة الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ ﴾
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” [An-Nahl: 125]
Rasulullah SAW bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِم الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Orag Islam (yang sempurna) adalah orang yang dapat menyelamatkan orang-orang Islam lainnya dari (keburukan) lidah dan tangannya.”
 [HR Bukhori no: 9  dari Abdullah bin ‘Amr dan Muslim no: 41  dari Jabir]

1 komentar:

  1. kemungkinan demikian....

    kemungkinan begitu...

    menurut logika tidak mungkin...

    ah mungkin gak ya???

    mungkin kali ah....

    yang mungkin-mungkin aja lah

    mungkin mulu

    BalasHapus