1. Masalah Sanad
Periwayatan:
Pertama, ucapan dari penulis yang menyatakan kisah ini fiktif (yaitu Mahmud Farhan al-Buhairi) bahwa
sanad periwayatan kisah ini adalah rapuh, tidak ditemukannya sanad shahih lagi
terpercaya yang sambung sampai kepada as-Sayyid ‘Alawiy Maliki secara langsung
…..
Komentar saya:
Dalam hal ini sudah jelas dikatakan bahwa kisah
ini dikutip dari kitab ats-tsabat karangan as-Syaikh ‘Abdul Fattah
Rawwah karena itu kita perlu memeriksanya dalam kitab tersebut (yang sayangnya
tidak saya miliki) apakah benar-benar
tidak ada? .
Seandainya
memang kisah ini memang benar ada dalam kitab itu, maka perkataan Mahmud Farhan al-Buhairi ini tidak dapat
kita terima karena berarti sanadnya shahih dan terpercaya karena beliau adalah
murid langsung dari Syaikh Alawi (berarti muttasil) dan beliau adalah orang
yang dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram di Bab Salam, Masjid Ibnu Abbas
di Thoif, Masjid al-Hadi dan yang lainnya (tsiqah).
Kedua,
ucapan beliau (penulis bantahan) bahwa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah
mendengar darinya, atau dari seorang pun dari penduduk distrik, atau dari
murid-murid beliau yang telah menukil kisah ini dari beliau hingga beliau wafat
dan ia telah menelpon putra Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah dan putranya menafikan
cerita ini …….
Komentar
saya:
Dalil
yang dipakai penulis bantahan ini bukanlah dalil yang qath’i (pasti) masih
berupa dalil yang dhanni (persangkaan) saja.
Karena
menurut kaidah ushul fiqih orang yang diam (tidak berkata apa-apa) tidak dapat
disandarkan kepadanya akan suatu hukum.
لاَ يُنْسَبُ إِلىَ
سَاكِتٍ كَلاَمٌ
“Orang
yang diam tidak boleh disandarkan kepadanya akan suatu perkataan.”
Mengenai
putra Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah yang tidak pernah mendengar kisah ini ayahnya
ini pun juga bukan dalil qath’i karena bisa jadi ayahnya beliau menceritakan
kisah ini dalam majlis ta’lim yang saat itu tidak dihadiri putranya atau beliau
menceritakannya kepada salah satu santrinya dalam suatu pembicaraan tersendiri.
Selain
itu siapa yang dapat senantiasa berada di samping Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah
selama hidupnya, baik putranya ataupun murid-muridnya, karena menurut logika
hal ini ini tidak mungkin terjadi.
Demikian
pula menurut logika, tidaklah mungkin si penulis ataupun putranya dapat
menanyai seluruh murid Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah apalagi jika murid itu sudah
tidak berada di tempat itu atau kembali ke kampung halamannya.
Jadi
perkataan penulis di atas pun hanya dapat dianggap sebagai dalil dhanni yang
tidak dapat dijadikan dasar untuk mendustakan kisah ini.
Ketiga,
ucapan penulis bantahan bahwa yang mengagetkannya bahwa putra Syaikh ‘Abdul
Fattah Rawwah menafikan pendapat bahwa ayahnya berkeyakinan akan keberkahan air
hujan yang turun dari talang Ka’bah…
Komentar
saya:
Ucapan
inipun baru merupakan dalil dhanni bukan qath’i karena menurut kaidah ilmu
ushul fiqh di atas itu dan kaidah
اْلأَصْلُ
بَرَأَةُ الذِّمَّةِ أَوِ
اْلأَصْلُ اْلعَدَمُ
“Asal dari sesuatu itu tidak ada tanggungan
atau asal dari sesuatu itu tidak ada”
Kecuali jika putra beliau bisa menunjukkan
perkataan/pendapat ayah beliau yang jelas-jelas menafikan masalah ini baik
dalam kitab karangan ayahnya atau dengan
bukti-bukti yang nyata.
(Untuk lebih jelasnya tentang masalah ini anda
dapat membaca Aqidah Imam Syafi’i tulisan Prof. Dr. KH. Maghfur Usman di mana
di dalam karyanya ini beliau menjelaskan kaidah-kaidah ilmiah untuk menisbatkan
suatu perkataan pada seseorang)
Ke
empat, ucapan penulis bantahan bahwa putra Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah menyatakan ayahandanya memiliki delapan belas
kitab yang semuanya terdapat di Perpustakaan Masjidil Haram, dan tidak ada satu
pun kitab-kitab itu yang berisi kisah ini.
Komentar saya:
Ada kemungkinan bahwasanya putra beliau tidak
mengetahui semua kitab yang telah ditulis oleh ayahandanya, dan jadi bisa jadi
ayahnya menulis lebih dari 18 kitab .
Kemungkinan kedua, putra beliau mungkin belum
membaca isi keseluruhan dari kitab-kitab karya ayahnya saat memberikan
pernyataan tersebut.
Kemungkinan ketiga, kitab ini bisa jadi
dilarang beredar di Arab Saudi (karena setahu saya kitab-kitab yang tidak
sepaham dengan pendapat mereka dilarang diterbitkan di sana) jadi menurut
logika masuk akal jika kitab ini tidak ada Perpustakaan Masjidil Haram
yang dikelola mereka.
Kemungkinan
keempat (yang saya harapkan tidak terjadi) terjadi penghapusan/perubahan dalam
kitab-kitab Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah
terutama dengan pendapat-pendapat beliau yang tidak sejalan dengan
pendapat pemerintahan di sana.
Mungkin
para pembaca menyatakan saya berburuk sangka dalam hal ini, tapi tentang masalah ini pernah saya
diskusikan dengan guru saya Prof. Dr. KH.
Maghfur Usman yang pernah bermukim di Mekkah hampir selama 15 tahun dan
ikut mengajar di Darul Ulum Mekkah dan beliau pun membenarkannya akan
terjadinya hal tersebut.
Selain
itu adalah hal wajar terjadi apabila ada perbedaan pendapat antara orang tua
dan anak, maupun guru dan murid.
Jadi
si anak berpendapat A, mungkin saja si ayah berpendapat B atau C atau yang
lainnya.
Jadi
ucapan seseorang yang diriwayatkan
anaknya dapat diterima selama tidak ada dalil lain yang membantah riwayatnya.
Sedangkan dalam kasus ini riwayat si anak ternyata bertentangan dengan
perkataan si ayah yang diriwayatkan dalam kitab yang ditulisnya sendiri.
Jadi
manakah yang akan pembaca percayai, kami persilahkan untuk memikirkan dan
merenungkannya sejenak.
Ke
empat, ucapan penulis bantahan bahwa kita patut “bertakbir empat kali” atas
jenazah sanad riwayat kisah tersebut setelah saya menghadirkan dalil qath’i
yang membatalkannya
Komentar saya:
Para pembaca yang obyektif setelah membaca
uraian di atas saya rasa dapat membandingkan sendiri apakah dalil yang dipakai
penulis bantahan di atas merupakan dalil qath’i atau hanya merupakan dalil
dhanni saja.
Yang kedua bukanlah sikap yang santun (bijak)
bagi seorang mubaligh/ulama menggunakan perkataan yang kurang pantas (karena
mengandung unsur ejekan) seperti “kita patut bertakbir empat
kali atas jenazah sanad riwayat kisah tersebut” karena
itu bukan merupakan tuntunan
Allah dan Rasulnya.
Allah
berfirman:
﴿ اُدْعُوْ
إِلىَ سَبِيْلِ رَبِّك بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَة الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ ﴾
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” [An-Nahl: 125]
Rasulullah SAW bersabda:
الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِم الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Orag Islam (yang sempurna) adalah orang
yang dapat menyelamatkan orang-orang Islam lainnya dari (keburukan) lidah dan
tangannya.”
[HR
Bukhori no: 9 dari Abdullah bin ‘Amr dan
Muslim no: 41 dari Jabir]
kemungkinan demikian....
BalasHapuskemungkinan begitu...
menurut logika tidak mungkin...
ah mungkin gak ya???
mungkin kali ah....
yang mungkin-mungkin aja lah
mungkin mulu