Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Rabu, 15 Mei 2013

Kisah Sayyid Alawi dan As-Sa'di Palsukah? bag-3


2. Mengenai Matan Riwayat:

Pertama: Penulis bantahan berkata: Agar para penuntut ilmu bisa memahami kesalahan argumentasi yang rancu ini, pertama-tama kita harus memberikan batasan pemahaman dan makna dari al-barakah (keberkahan) yang disebutkan dalam dua ayat tersebut…..

Komentar saya:
Jika pembaca memperhatikan artikel tersebut, penulis bantahan ini tidak memberikan arti dan definisi al-barakah secara jelas dan pasti.
Karena itu marilah kita bersama-sama melihat arti al-barakah dari ssegi bahasa dan istilah.
Kata al-barakah menurut bahasa adalah:
النَّماءُ والزيادةُ، والسَّعادَةُ
“Perkembangan, pertambahan dan kebahagiaan.”
 (lihat kamus al-muhith, ash-shihah dan yang lainnya)

Az-Zubaidy:
قَالَ الْفَرَّاءُ: البَرَكةُ : السَّعادَةُ وبه فُسِّرَ قَوْلُهُ تَعَالىَ : ﴿ رَحْمَةُ اللهِ وبَرَكَاتُهُ عَلَيكُمْ أَهْلَ اْلبَيْتِ ﴾ ِلأَنّ مَنْ أَسْعَدَه الله تَعَالىَ بِمَا أَسْعَدَ بِهِ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَدْ نَالَ السّعادَةَ المُبَارَكَة الدّائِمَةَ، قَالَ الأَزهرِيُّ : وكذلك الذي في التَّشَهّدِ
Al-Farro’ berkata: Barakah adalah kebahagiaan, dengan arti ini ditafsirkan firman Allah: (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait!” [Hud: 73], karena orang yang dibahagiakan Allah dengan perkara yang Allah membahagiakan Nabi SAW dengannya , maka ia benar-benar memperoleh kebahagiaan.”
Al-Azhari berkata: “Demikian pula dalam tasyahud.”
(lihat Tajul ‘Arus Min Jawahiril Qamus, dan Lisanul Arab)

Sedangkan tabarruk artinya menurut bahasa :
الدعاءُ بالبَرَكَةِ
“Mendo’akan dengan kebarakahan.”
(lihat kamus al-muhith, ash-shihah dan yang lainnya)

Az-Zubaidi menjelaskan lebih lanjut mengenai kata ini:
والتَّبْرِيْكُ : الدُّعَاءُ بِهَا نَقَلَهُ الْجَوْهرِيُّ لِلإِنْسَانِ أَوْ غَيْرِهِ يُقال: بَرَّكْتُ عَلَيْهِ تَبرِيْكاً : أي قُلْتُ لَهُ بَارَكَ اللهُ عَلَيْكَ. وطَعامٌ بَرِيكٌ كأَنّهُ مُبارَكٌ فِيْهِ قَالَهُ أَبو مَالِكِيِ، وقال الرّاغِبُ : وَلَمَّا كَانَ الخَيْرُ اْلإِلَهِيِّ يَصْدُرُ مِنْ حيثُ لاَ يُحَسُّ وَعَلىَ وَجْهٍ لاَ يُحْصَى وَلاَ يُحْصَرُ قِيْلَ - لِكُلِّ مَا يُشاهَدُ مِنْهُ زِيَادَةٌ غَيْرُ مَحْسَوْسَةٍ - : هُوَ مُبَارَكٌ وَفِيْهِ بَرَكَة  

Tabriik adalah mendo’akan dengan keberkahan, al-Jauhari menukilnya baik untuk manusia dan selainnya, dikatakan: Barraktu  ‘alaih Tabriikan, artinya saya berkata baginya semoga Allah memberi keberkahan kepadamu, Wa Tho’amun Bariikun,  seakan-akan makanan itu ada keberkahan di dalamnya, ini diucapkan oleh Abu Maliki.
Ar-Raghib berkata: Karena kebaikan al-ilahi (dari Tuhan) itu keluar dari tempat yang tidak bisa dirasakan panca indera, dan dari segi yang yang tidak bisa dihitung dan tidak terbatas, maka dikatakan bagi setiap perkara yang bisa disaksikan pertambahannya yang tidak bisa dirasakan panca indera bahwa ia mubarak (diberkahi) atau di dalamnya ada keberkahan.
(lihat Tajul ‘Arus Min Jawahiril Qamus)

Jadi dapat kita simpulkan yang dinamakan dengan barakah adalah:
Kebahagiaan atau kebaikan yang berasal dari Allah SWT baik bias dirasakan oleh panca indera ataupun tidak.

Inilah arti kata berkah menurut para ahli bahasa arab dan para ulama yang menurut saya sebaiknya disampaikan oleh penulis bantahan tersebut sehingga dengan demikian kita dapat memberikan batasan arti barakah dengan benar dan ilmiah, karena saya rasa penulis bantahan tersebut kurang jelas dan bahkan -maaf-  ia tidak memberikan batasan arti barakah yang ia dakwakan tersebut.

Kedua, ucapan penulis: Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ﴿ لَلَّذِىْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا ﴾ maksudnya adalah bahwa rumah ini (Ka’bah) diberkahi oleh Allah, akan tetapi bukanlah makna keberkahan dalam rumah ini dengan kita membuat segala segala yang kita kehendaki….

Komentar saya:
Ini –menurut pendapat saya-  adalah suatu persangkaan yang kurang baik dari penulis kepada orang-orang islam yang melakukan tabarruk dengan anggapan bahwa si pelaku tabarruk telah melakukan sesuatu yang melanggar syari’at (telah syirik atau sesat).
Salah satu kaidah ushul fiqh menyebutkan:

التُّهْمَةُ تُقْدَحُ فِى التَّصَرُّفَاتِ إِجْمَاعًا
“Persangkaan yang kurang kuat, dianggap buruk dalam pelaksanaan hukum sesuai dengan ijma’.”
Sebelum kita membahas ini maka kita harus mengerti bahwa yang dimaksud dengan tabarruk disini adalah semacam tawassul kepada Allah SWT dengan perkara-perkara yang diberkahi Allah entah itu berupa benda peninggalan seseorang, tempat atau orang itu sendiri.
Adapun benda-benda itu kita jadikan tawassul karena meyakini keutamaannya dan kedekatan pemiliknya di sisi Allah beserta keyakinan bahwa benda-benda tidak akan memberikan manfaat kecuali atas ijin Allah.
Sedangkan tempat-tempat bukanlah menjadi mulia karena dzatnya sendiri tapi dari segi bahwa tempat itu diberikan keutamaan tertentu oleh Allah SWT.

Ketiga, ucapan penulis: tidak ada dalil pun yang menunjukkan perintah pengusapannya, atau dengan apa yang tumpah dari air hujan; bukan ini makna keberkahan tersebut…

Komentar saya:
Ketiadaan dalil yang  menunjukkan perintah pengusapannya atau dengan apa yang tumpah dari air hujan tidak secara otomatis menunjukkan ketidak bolehan melakukannya.
Karena menurut kaidah ushul fiqh:
اْلأَصْلُ فِى الشَّيْءِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلىَ وُجُوْبِهِ أَوْ تَحْرِيْمِهِ
“Asal dari sesuatu adalah  mubah kecuali ada dalil yang menunjukkan kewajibannya atau keharamannya.”
Setahu penulis tidak ada dalil yang kuat yang menunjukkan pelarangan tabarruk, bahkan yang ada justru dalil-dalil yang menunjukkan kebolehan tabarruk.
Misalnya:
-          Tabarruk Khalid bin Walid dengan rambut Nabi yang diletakkan di pecinya
(HR At-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no 3714 dan Abu Ya’la, menurut al-Haitsami perowinya perowi sohih)
-          Tabarruk para sahabat dengan dahak Nabi dan  air wudlu beliau yang disaksikan oleh Urwah
(HR Bukhorino 2732 dari Urwah bin az-Zubair)
Bahkan Ibnu Hajar berkomentar: ini menunjukkan dalil sucinya dahak, rambut yang terpisah dan tabarruk dengan sisa-sisa orang-orang yang saleh
(Fathul Bari halaman 341 juz 5)
-          Tabarruk para sahabat ddan tabi’in engan rambut nabi setelah beliau meninggal dunia apabila mereka sakit
(HR Bukhori no 5896 dari Ummu Salamah)
-          Rasulullah SAW memberikan potongan rambutnya untuk dibagikan kepada para sahabatnya
(HR Muslim no 1305, dari Anas bin Malik)
-          Tabarruk Ibnu Umar dengan tempat shalat Nabi
(HR Bukhori no 485)
-          Diriwayatkan bahwa Bilal saat menziarahi kuburan Nabi SAW, beliau menangis sambil mengusap-usapkan pipinya ke makam Nabi
(al-Hulyah hal 358 juz 1)
-          Suatu saat Marwan bin al-Hakam sampai ke Madinah, lalu ia melihat seorang lelaki yang selalu menetapi kuburan Nabi SAW, lalu ia mencekal lehernya sambil berkata: “Apa kau tahu apa yang kau lakukan?”, Orang itu menjawab: “Sesungguhnya aku tidak mendatangi batu, akan tetapi aku mendatangi Rasulullah SAW.” Al-Muththolib –perawi cerita itu- berkata: “Orang itu adalah Abu Ayyub al-Anshori.”
(HR Ahmad no 23633 dan al-Hakim no 8471, beliau berkata: Isnadnya sohih)

Sebenarnya masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan masalah tabarruk, untuk itu para pembaca dapat melihat dalam kitab Mafaahimu Yajibu An Tusohhaha karya dari putra Sayyid Alawi al-Maliki hal 219-242 dan kitab-kitab lain yang menerangkan tentang masalah tawassul.
Dengan demikian ucapan penulis bantahan bahwa tak ada dalil -menurut saya – adalah ucapan yang tidak berdasarkan penelitian ilmiah dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Keempat, ucapan penulis: Akan tetapi keberkahan yang dimaksud adalah bahwa keberkahan rumah tersebut ada pada kesinambungan kunjungan manusia kepadanya tanpa terputus; penunaian haji dan umrah; diraihnya pahala dengan tambahan pahala satu shalat hingga menjadi seratus ribu shalat; i’tikaf di masjidil Haram, dan membaca al-Qur`an padanya

Komentar saya:
Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di sendiri dalam menafsirkan ayat ini beliau berkata:
﴿ مُبَارَكًا ﴾ أَيْ فِيْهِ الْبَرَكَةُ الْكَثِيْرَةُ فِى الْمَنَافِعِ الدِّيْنِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ
“Yang diberkahi, artinya dalam Ka’bah terdapat keberkahan yang banyak baik dalam manfaat-manfaat agama maupun duinia.”[Taisurul  Karim hal 122]
Jadi beliau pun –ahli tafsir yang ada dalam kisah ini-  mengakui adanya keberkahan Ka’bah secara umum  baik dalam masalah dunia ataupun agama, dan beliau tidak memberikan pembatasan berkah seperti yang disampaikan penulis bantahan tersebut.

Kelima, ucapan: Inilah keberkahan Ka’bah yang hakiki, yang sungguh disayangkan tidak difahami oleh as-Sayyid ‘Alawiy Maliki …
Dan ucapannya: Adapun keberkahan yang dimaksud dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:  ﴿ وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا ﴾ maka demikian juga, telah hilang dari pikiran as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sebagaimana yang dikehendaki oleh sang pengarang.
Komentar saya:
Ini adalah salah satu bentuk ucapan yang tidak disukai oleh para ulama karena menunjukkan adanya unsur kesombongan dari penulis bantahan tersebut, sehingga penafsiran akan ayat al-Quran yang tidak sejalan dengan pendapatnya dianggapnya keliru atau sesat.
Dalam salah satu hadits Qudsi, Allah SWT berfirman:
العِزُّ إزَاري ، والكبرياءُ رِدائي ، فَمَنْ يُنَازِعُنِي في وَاحِدٍ منهما فَقَد عَذَّبْتُهُ
“Keagungan itu adalah selendang-Ku, dam kesombongan adalah jubah-Ku. Maka barang siapa menentangku dengan salah satu dari keduanya, maka Aku akan menyiksanya.”
[HR Muslim no 2602 dari Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah]
Rasulullah juga bersabda:
( فَمَنْ تَوَاضَعَ ِللهِ رَفَعَهُ اللهُ، وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللهُ )
“Barang siapa rendah hati maka Allah akan mengangkatnya, dan barang siapa yang sombong maka Allah akan merendahkannya.”
[HR Abu Dawud no 4090, Ibnu Majah 4175 dan Ibnu Hibban no 328 dari Abu Hurairah]

Karena jika kita lihat berdasarkan dalil-dalil tabarruk di atas dan arti keberkahan dari pembahasan sebelumnya, penafsiran Sayyid Alawi al-Mailki dapat dibenarkan.  Dan seandainya kita tidak setuju dengan pendapat belau sebaiknya kita menghindari perkataan-perkataan  yang kurang baik semacam ini yang memberikan ke kesan sombong dan merendahkan ulama.
Sebaiknya kita selalu ingat pesan Nabi:
( مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِى بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ يُمَارِى بِهِ الْفُقَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللهُ فِى النَّارِ )
“Barang siapa mencari ilmu hanya untuk bersanding dengan ulama, atau berdebat dengan ahli fiqih, atau memalingkan wajah-wajah manusia (kepadanya) maka akan Allah masukkan ke dalam neraka.”
[HR at-Turmudzi no 2792 dari Malik]

Ke enam, ucapan penulis: Ini adalah sebuah kesalahan besar yang telah mereka lakukan terhadap as-Sayyid ‘Alawiy. Dikarenakan air hujan itu tetap diberkahi sekalipun turun di negeri kafir dan tidak memiliki kekhususan saat turun di Masjidil Haram. Kami meminta mereka untuk menetapkan dalil bahwa air hujan memiliki kekhususan dengan turunnya di Baitul Haram jika mereka mampu.

Komentar saya:
Menurut saya disinilah letak kekeliruan dari penulis bantahan kisah ini, karena ia memulai pendapatnya dengan prasangka yang kurang baik kepada orang yang bertabarruk dengan anggapan mereka meyakini air itu sendiri atau tempat itu sendiri yang menjadi sumber berkah bukannya Allah SWT.
Seperti yang saya jelaskan sebelumnya bahwa benda-benda yang digunakan hanya sebagai tabarruk itu hanyalah merupakan wasilah (perantara) yang hasilnya kita serahkan kepada Allah SWT.  Jadi orang yang bertabarruk tidaklah meyakini bahwa keberkahan itu berasal dari benda itu sendiri, akan tetapi karena kedekatan pemiliknya kepada Allah SWT.
Misalnya adalah air.
Air pada dasarnya adalah benda yang sama, akan tetapi jika di tempat yang berbeda terkadang hukumnya dan keberkahannya berbeda.
Air zamzam yang ada di Melkkah adalah air yang paling banyak keberkahannya, hal ini karena merupakan warisan penginggalan istri Nabi Ibrahim dan berada di kota Mekkah yang dimuliakan oleh Allah.
Air yang ditemukan oleh sebagian sahabat dalam suatu  perjalanan yang sebenarnya mau mereka pergunakan untuk bersuci akan tetapi kemudian dilarang oleh Nabi karena berasal dari sumur-sumur kaum yang durhaka pada Allah SWT.
Sedangkan air-air di tempat lain hukumnya sama saja.
Demikian pula pahala shalat di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha dimana pahalanya berlipat ganda dibandingkan masjid yang lain, itu sebenarnya yang menyebabkan keutamaan pahalanya bukan bangunan masjidnya akan tetapi karena kedekatan orang yang telah membangun Masjid-masjid tersebut dengan Allah SWT.
Masih banyak contoh lain yang bisa diberikan sebagai dalil, akan tetapi saya cukupkan sampai di sini agar tidak membuat bosan para pembaca.

Selain itu jika kita lihat dialog dari kisah antara Syaikh Alawi dan Syaikh Sa’di, tentang  ayat ini beliau (Sayyid Alawi) hanya menyatakan bahwa dalam air hujan ada barakahnya secara umum dan beliau tidak mengkhususkan berkah air hujan saat di Masjidil Haram, ini dibuktikan dengan ucapan beliau: berkah yang turun dari langit.
Sedang perkataan penulis bantahan kisah ini bahwa beliau mengkhususkan berkah air hujan  yang turun di Masjidil Haram itu hanyalah kesimpulan yang  diambil oleh ia sendiri dan jika kita lihat tidaklah sesuai dengan perkataan Syaikh al-Alawi  di atas. Maka akan menjadi rancu dan lucu jika kita menghukumi seseorang berdasarkan kesimpulan orang lain yang kesimpulannya itu belum tentu tepat atau sesuai dengan keinginan orang yang berkata.

Ke tujuh, ucapan penulis bantahan: Seandainya kami mengalah, bahwa air hujan yang turun dari talang Ka’bah membawa dua keberkahan yang berarti bahwa manusia akan mengambil manfaat besar dengannya, maka jika demikian, bagaimana hal itu bisa hilang dari pengetahuan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak pernah memberikan wasiat kepada umatnya dengan kebaikan agung ini sementara as-Sayyid ‘Alawi Maliki mengetahuinya ? ….

Komentar saya:
Dalam perkataan ini –menurut saya- tersirat unsur kesombongan dan sikap menang sendiri serta berburuk sangka kepada seorang ulama, yang seperti saya sebutkan sebelumnya bukanlah merupakan sikap yang tidak sesuai dengan tuntunan al-Quran dan as-Sunnah, serta dapat menghalangi seseorang untuk bersikap obyektif  dalam  memutuskan suatu perkara.
Jika kita lihat sejarah umat Islam (tarikh tasyri’ islam) akan kita temukan banyak perkara yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW tapi diakui kebaikannya oleh seluruh umat Islam.
Misalnya:
-          Pada zaman Abu Bakar beliau memerangi orang yang tidak mau membayar zakat  dan mengumpulkan tulisan-tulisan al-Quran dalam satu mushaf
-          Pada zaman Umar beliau menjadikan shalat tarawih secara berjamaah dan beliau melarang orang yang tidak tahu bahasa arab yang fasih untuk mengajarkan al-Quran
-          Pada zaman Usman beliau menambahkan adzan shalat jumat menjadi dua kali dan beliau membuat bacaan al-Quran dengan mengikuti satu qiraah saja
-          Pada zaman Umar bin Abdul ‘Aziz para ulama memulai penulisan hadits yang sebelumnya kebanyakan hanya berdasarkan hafalan
-          Pada zaman Imam-Imam Madzhab ilmu-ilmu agama Islam mulai berkembang ke dalam bidang-bidang terterntu seperti ilmu al-Quran, ilmu hadits, ilmu fiqih dan ushulnya, dan masih banyak contoh yang lainnya

Jika mengikuti logika penulis bantahan kisah tersebut, berarti kita juga menganggap Abu Bakar, Umar, Usman, para sahabat dan tabi’in  lebih pandai dari Rasulullah SAW karena mengerjakan sesuatu yang tidak pernah oleh beliau.
Selain itu, sangatlah tidak adil jika kemudian kita membandingkan ke’aliman ulama zaman muta’akhirin dengan ulama mutaqaddimin karena Rasulullah SAW sendiri telah bersabda:
( خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ )
“Orang-orang yang paling baik adalah orang di masaku, lalu setelah mereka, lalu setelah mereka.”
[HR Bukhori 2652 dan Muslim 2533]
Jika kemudian Sayyid Alawi menemukan sesuatu hal yang belum ditemukan ulama sebelumnya, bukan berarti kita lalu menganggap ke’aliman beliau melebihi ulama-ulama sebelumnya. Misalnya Thomas Alva Edison menemukan lampu yang belum pernah ditemukan ilmuwan lainnya, bukan berarti kepandaiannya melebihi ilmuwan-ilmuwan lainnya. Demikian Imam Syaf’i yang merumuskan ilmu ushul fiqih bukan berari ke’aliman beliau melebihi para sahabat atau para tabi’in sebelumnya.
Jadi ucapan penulis yang beranggapan as-Sayyid ‘Alawiy Malikiy lebih ‘alim dari ulama lain bahkan para tabi’in, sahabat bahkan Rasulullah, lagi-lagi merupakan kesimpulan yang  ia ambil sendiri dan tidak ada dalam kisah yang dulu saya sebutkan.
Selain itu menurut sepengetahuan saya, para ulama (termasuk Sayyid Alawi dan Syaikh As-Sa’di) sangat jauh dari sifat kesombongan semacam itu, jadi janganlah kita mudah berburuk sangka kepada mereka, yaitu para ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar