2. Mengenai Matan Riwayat:
Pertama: Penulis
bantahan berkata: Agar para penuntut ilmu bisa memahami kesalahan argumentasi
yang rancu ini, pertama-tama kita harus memberikan batasan pemahaman dan makna
dari al-barakah (keberkahan) yang disebutkan dalam dua ayat tersebut…..
Komentar saya:
Jika pembaca memperhatikan artikel tersebut,
penulis bantahan ini tidak memberikan arti dan definisi al-barakah secara jelas
dan pasti.
Karena itu marilah kita bersama-sama melihat
arti al-barakah dari ssegi bahasa dan istilah.
Kata al-barakah menurut bahasa adalah:
النَّماءُ والزيادةُ، والسَّعادَةُ
“Perkembangan, pertambahan dan kebahagiaan.”
(lihat
kamus al-muhith, ash-shihah dan yang lainnya)
Az-Zubaidy:
قَالَ
الْفَرَّاءُ: البَرَكةُ : السَّعادَةُ وبه فُسِّرَ قَوْلُهُ تَعَالىَ : ﴿ رَحْمَةُ
اللهِ وبَرَكَاتُهُ عَلَيكُمْ أَهْلَ اْلبَيْتِ ﴾ ِلأَنّ مَنْ أَسْعَدَه الله تَعَالىَ
بِمَا أَسْعَدَ بِهِ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَدْ نَالَ
السّعادَةَ المُبَارَكَة الدّائِمَةَ، قَالَ الأَزهرِيُّ : وكذلك الذي في
التَّشَهّدِ
Al-Farro’ berkata: Barakah adalah kebahagiaan,
dengan arti ini ditafsirkan firman Allah: “(Itu
adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait!”
[Hud: 73], karena orang yang dibahagiakan Allah dengan perkara yang Allah
membahagiakan Nabi SAW dengannya , maka ia benar-benar memperoleh kebahagiaan.”
Al-Azhari berkata: “Demikian pula dalam tasyahud.”
(lihat Tajul ‘Arus Min Jawahiril Qamus, dan Lisanul Arab)
Sedangkan tabarruk artinya menurut
bahasa :
الدعاءُ بالبَرَكَةِ
“Mendo’akan dengan kebarakahan.”
(lihat kamus al-muhith, ash-shihah dan yang
lainnya)
Az-Zubaidi menjelaskan lebih lanjut mengenai
kata ini:
والتَّبْرِيْكُ :
الدُّعَاءُ بِهَا نَقَلَهُ الْجَوْهرِيُّ لِلإِنْسَانِ أَوْ غَيْرِهِ يُقال:
بَرَّكْتُ عَلَيْهِ تَبرِيْكاً : أي قُلْتُ لَهُ بَارَكَ اللهُ عَلَيْكَ. وطَعامٌ
بَرِيكٌ كأَنّهُ مُبارَكٌ فِيْهِ قَالَهُ أَبو مَالِكِيِ، وقال الرّاغِبُ : وَلَمَّا
كَانَ الخَيْرُ اْلإِلَهِيِّ يَصْدُرُ مِنْ حيثُ لاَ يُحَسُّ وَعَلىَ وَجْهٍ لاَ
يُحْصَى وَلاَ يُحْصَرُ قِيْلَ - لِكُلِّ مَا يُشاهَدُ مِنْهُ زِيَادَةٌ غَيْرُ
مَحْسَوْسَةٍ - : هُوَ مُبَارَكٌ وَفِيْهِ بَرَكَة
Tabriik adalah mendo’akan dengan keberkahan, al-Jauhari menukilnya baik untuk
manusia dan selainnya, dikatakan: Barraktu
‘alaih Tabriikan, artinya saya berkata baginya semoga Allah memberi
keberkahan kepadamu, Wa Tho’amun Bariikun, seakan-akan makanan itu ada keberkahan di
dalamnya, ini diucapkan oleh Abu Maliki.
Ar-Raghib berkata: Karena kebaikan al-ilahi
(dari Tuhan) itu keluar dari tempat yang tidak bisa dirasakan panca indera, dan
dari segi yang yang tidak bisa dihitung dan tidak terbatas, maka dikatakan bagi
setiap perkara yang bisa disaksikan pertambahannya yang tidak bisa dirasakan
panca indera bahwa ia mubarak (diberkahi) atau di dalamnya ada
keberkahan.
(lihat Tajul ‘Arus Min Jawahiril Qamus)
Jadi dapat kita simpulkan yang dinamakan dengan barakah adalah:
Kebahagiaan atau kebaikan yang berasal dari Allah SWT baik bias dirasakan
oleh panca indera ataupun tidak.
Inilah arti kata berkah menurut para ahli
bahasa arab dan para ulama yang menurut saya sebaiknya disampaikan oleh penulis
bantahan tersebut sehingga dengan demikian kita dapat memberikan batasan arti
barakah dengan benar dan ilmiah, karena saya rasa penulis bantahan tersebut
kurang jelas dan bahkan -maaf- ia tidak memberikan
batasan arti barakah yang ia dakwakan tersebut.
Kedua, ucapan penulis: Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ﴿
لَلَّذِىْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا ﴾ maksudnya adalah bahwa rumah ini (Ka’bah)
diberkahi oleh Allah, akan tetapi bukanlah makna keberkahan dalam rumah ini
dengan kita membuat segala segala yang kita kehendaki….
Komentar saya:
Ini –menurut pendapat saya- adalah suatu persangkaan yang kurang baik
dari penulis kepada orang-orang islam yang melakukan tabarruk dengan anggapan
bahwa si pelaku tabarruk telah melakukan sesuatu yang melanggar syari’at (telah
syirik atau sesat).
Salah satu kaidah ushul fiqh menyebutkan:
التُّهْمَةُ تُقْدَحُ فِى
التَّصَرُّفَاتِ إِجْمَاعًا
“Persangkaan yang kurang kuat, dianggap buruk
dalam pelaksanaan hukum sesuai dengan ijma’.”
Sebelum kita membahas ini maka kita harus
mengerti bahwa yang dimaksud dengan tabarruk disini adalah semacam tawassul
kepada Allah SWT dengan perkara-perkara yang diberkahi Allah entah itu berupa benda
peninggalan seseorang, tempat atau orang itu sendiri.
Adapun benda-benda itu kita jadikan tawassul
karena meyakini keutamaannya dan kedekatan pemiliknya di sisi Allah beserta
keyakinan bahwa benda-benda tidak akan memberikan manfaat kecuali atas ijin
Allah.
Sedangkan tempat-tempat bukanlah menjadi mulia
karena dzatnya sendiri tapi dari segi bahwa tempat itu diberikan keutamaan
tertentu oleh Allah SWT.
Ketiga, ucapan penulis: tidak ada dalil pun yang menunjukkan perintah
pengusapannya, atau dengan apa yang tumpah dari air hujan; bukan ini makna
keberkahan tersebut…
Komentar
saya:
Ketiadaan
dalil yang menunjukkan perintah
pengusapannya atau dengan apa yang tumpah dari air hujan tidak secara otomatis
menunjukkan ketidak bolehan melakukannya.
Karena
menurut kaidah ushul fiqh:
اْلأَصْلُ فِى الشَّيْءِ اْلإِبَاحَةُ
إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلىَ
وُجُوْبِهِ أَوْ تَحْرِيْمِهِ
“Asal dari sesuatu adalah mubah kecuali ada dalil yang menunjukkan
kewajibannya atau keharamannya.”
Setahu
penulis tidak ada dalil yang kuat yang menunjukkan pelarangan tabarruk, bahkan
yang ada justru dalil-dalil yang menunjukkan kebolehan tabarruk.
Misalnya:
-
Tabarruk Khalid bin Walid dengan rambut Nabi yang
diletakkan di pecinya
(HR At-Tabrani dalam
al-Mu’jam al-Kabir no 3714 dan Abu Ya’la, menurut al-Haitsami perowinya perowi
sohih)
-
Tabarruk para sahabat dengan dahak Nabi dan air wudlu beliau yang disaksikan oleh Urwah
(HR Bukhorino 2732 dari Urwah
bin az-Zubair)
Bahkan Ibnu Hajar
berkomentar: ini menunjukkan dalil sucinya dahak, rambut yang terpisah dan
tabarruk dengan sisa-sisa orang-orang yang saleh
(Fathul Bari halaman 341 juz
5)
-
Tabarruk para sahabat ddan tabi’in engan rambut nabi
setelah beliau meninggal dunia apabila mereka sakit
(HR Bukhori no 5896 dari Ummu
Salamah)
-
Rasulullah SAW memberikan potongan rambutnya untuk
dibagikan kepada para sahabatnya
(HR Muslim no 1305, dari Anas
bin Malik)
-
Tabarruk Ibnu Umar dengan tempat shalat Nabi
(HR Bukhori no 485)
-
Diriwayatkan bahwa Bilal saat menziarahi kuburan Nabi
SAW, beliau menangis sambil mengusap-usapkan pipinya ke makam Nabi
(al-Hulyah hal 358 juz 1)
-
Suatu saat Marwan bin al-Hakam sampai ke Madinah, lalu
ia melihat seorang lelaki yang selalu menetapi kuburan Nabi SAW, lalu ia
mencekal lehernya sambil berkata: “Apa kau tahu apa yang kau lakukan?”, Orang
itu menjawab: “Sesungguhnya aku tidak mendatangi batu, akan tetapi aku
mendatangi Rasulullah SAW.” Al-Muththolib –perawi cerita itu- berkata: “Orang
itu adalah Abu Ayyub al-Anshori.”
(HR Ahmad no 23633 dan
al-Hakim no 8471, beliau berkata: Isnadnya sohih)
Sebenarnya
masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan masalah tabarruk, untuk itu para
pembaca dapat melihat dalam kitab Mafaahimu Yajibu An Tusohhaha karya dari
putra Sayyid Alawi al-Maliki hal 219-242 dan kitab-kitab lain yang menerangkan
tentang masalah tawassul.
Dengan
demikian ucapan penulis bantahan bahwa tak ada dalil -menurut saya – adalah
ucapan yang tidak berdasarkan penelitian ilmiah dan tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah.
Keempat,
ucapan penulis: Akan tetapi keberkahan yang dimaksud adalah bahwa keberkahan
rumah tersebut ada pada kesinambungan kunjungan manusia kepadanya tanpa
terputus; penunaian haji dan umrah; diraihnya pahala dengan tambahan pahala
satu shalat hingga menjadi seratus ribu shalat; i’tikaf di masjidil Haram, dan
membaca al-Qur`an padanya
Komentar
saya:
Syeikh
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di sendiri dalam menafsirkan ayat ini beliau
berkata:
﴿ مُبَارَكًا ﴾ أَيْ فِيْهِ الْبَرَكَةُ
الْكَثِيْرَةُ فِى الْمَنَافِعِ الدِّيْنِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ
“Yang diberkahi, artinya dalam Ka’bah terdapat
keberkahan yang banyak baik dalam manfaat-manfaat agama maupun
duinia.”[Taisurul Karim hal 122]
Jadi
beliau pun –ahli tafsir yang ada dalam kisah ini- mengakui adanya keberkahan Ka’bah secara
umum baik dalam masalah dunia ataupun
agama, dan beliau tidak memberikan pembatasan berkah seperti yang disampaikan
penulis bantahan tersebut.
Kelima,
ucapan: Inilah keberkahan Ka’bah yang hakiki, yang sungguh disayangkan tidak
difahami oleh as-Sayyid ‘Alawiy Maliki …
Dan ucapannya: Adapun
keberkahan yang dimaksud dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala: ﴿ وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
مُبَارَكًا ﴾ maka demikian juga, telah hilang dari pikiran as-Sayyid ‘Alawiy
Maliki sebagaimana yang dikehendaki oleh sang pengarang.
Komentar
saya:
Ini
adalah salah satu bentuk ucapan yang tidak disukai oleh para ulama karena
menunjukkan adanya unsur kesombongan dari penulis bantahan tersebut, sehingga
penafsiran akan ayat al-Quran yang tidak sejalan dengan pendapatnya dianggapnya
keliru atau sesat.
Dalam
salah satu hadits Qudsi, Allah SWT berfirman:
العِزُّ إزَاري ، والكبرياءُ رِدائي ، فَمَنْ يُنَازِعُنِي في
وَاحِدٍ منهما فَقَد عَذَّبْتُهُ
“Keagungan
itu adalah selendang-Ku, dam kesombongan adalah jubah-Ku. Maka barang siapa
menentangku dengan salah satu dari keduanya, maka Aku akan menyiksanya.”
[HR
Muslim no 2602 dari Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah]
Rasulullah
juga bersabda:
( فَمَنْ تَوَاضَعَ ِللهِ رَفَعَهُ اللهُ،
وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللهُ )
“Barang
siapa rendah hati maka Allah akan mengangkatnya, dan barang siapa yang sombong
maka Allah akan merendahkannya.”
[HR
Abu Dawud no 4090, Ibnu Majah 4175 dan Ibnu Hibban no 328 dari Abu Hurairah]
Karena
jika kita lihat berdasarkan dalil-dalil tabarruk di atas dan arti keberkahan
dari pembahasan sebelumnya, penafsiran Sayyid Alawi al-Mailki dapat dibenarkan. Dan seandainya kita tidak setuju dengan
pendapat belau sebaiknya kita menghindari perkataan-perkataan yang kurang baik semacam ini yang memberikan
ke kesan sombong dan merendahkan ulama.
Sebaiknya
kita selalu ingat pesan Nabi:
( مَنْ
طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِى بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ يُمَارِى بِهِ الْفُقَهَاءَ
أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللهُ فِى النَّارِ )
“Barang
siapa mencari ilmu hanya untuk bersanding dengan ulama, atau berdebat dengan
ahli fiqih, atau memalingkan wajah-wajah manusia (kepadanya) maka akan Allah
masukkan ke dalam neraka.”
[HR
at-Turmudzi no 2792 dari Malik]
Ke
enam, ucapan penulis: Ini adalah sebuah kesalahan besar yang telah mereka
lakukan terhadap as-Sayyid ‘Alawiy. Dikarenakan air hujan itu tetap diberkahi
sekalipun turun di negeri kafir dan tidak memiliki kekhususan saat turun di
Masjidil Haram. Kami meminta mereka untuk menetapkan dalil bahwa air hujan
memiliki kekhususan dengan turunnya di Baitul Haram jika mereka mampu.
Komentar
saya:
Menurut
saya disinilah letak kekeliruan dari penulis bantahan kisah ini, karena ia
memulai pendapatnya dengan prasangka yang kurang baik kepada orang yang
bertabarruk dengan anggapan mereka meyakini air itu sendiri atau tempat itu
sendiri yang menjadi sumber berkah bukannya Allah SWT.
Seperti
yang saya jelaskan sebelumnya bahwa benda-benda yang digunakan hanya sebagai
tabarruk itu hanyalah merupakan wasilah (perantara) yang hasilnya kita serahkan
kepada Allah SWT. Jadi orang yang
bertabarruk tidaklah meyakini bahwa keberkahan itu berasal dari benda itu
sendiri, akan tetapi karena kedekatan pemiliknya kepada Allah SWT.
Misalnya
adalah air.
Air
pada dasarnya adalah benda yang sama, akan tetapi jika di tempat yang berbeda
terkadang hukumnya dan keberkahannya berbeda.
Air
zamzam yang ada di Melkkah adalah air yang paling banyak keberkahannya, hal ini
karena merupakan warisan penginggalan istri Nabi Ibrahim dan berada di kota
Mekkah yang dimuliakan oleh Allah.
Air
yang ditemukan oleh sebagian sahabat dalam suatu perjalanan yang sebenarnya mau mereka
pergunakan untuk bersuci akan tetapi kemudian dilarang oleh Nabi karena berasal
dari sumur-sumur kaum yang durhaka pada Allah SWT.
Sedangkan
air-air di tempat lain hukumnya sama saja.
Demikian
pula pahala shalat di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha dimana
pahalanya berlipat ganda dibandingkan masjid yang lain, itu sebenarnya yang
menyebabkan keutamaan pahalanya bukan bangunan masjidnya akan tetapi karena
kedekatan orang yang telah membangun Masjid-masjid tersebut dengan Allah SWT.
Masih
banyak contoh lain yang bisa diberikan sebagai dalil, akan tetapi saya cukupkan
sampai di sini agar tidak membuat bosan para pembaca.
Selain
itu jika kita lihat dialog dari kisah antara Syaikh Alawi dan Syaikh Sa’di,
tentang ayat ini beliau (Sayyid Alawi)
hanya menyatakan bahwa dalam air hujan ada barakahnya secara umum dan beliau tidak
mengkhususkan berkah air hujan saat di Masjidil Haram, ini dibuktikan dengan
ucapan beliau: berkah yang turun dari langit.
Sedang
perkataan penulis bantahan kisah ini bahwa beliau mengkhususkan berkah air
hujan yang turun di Masjidil Haram itu
hanyalah kesimpulan yang diambil oleh ia
sendiri dan jika kita lihat tidaklah sesuai dengan perkataan Syaikh
al-Alawi di atas. Maka akan menjadi
rancu dan lucu jika kita menghukumi seseorang berdasarkan kesimpulan orang lain
yang kesimpulannya itu belum tentu tepat atau sesuai dengan keinginan orang
yang berkata.
Ke
tujuh, ucapan penulis bantahan: Seandainya kami mengalah, bahwa air hujan
yang turun dari talang Ka’bah membawa dua keberkahan yang berarti bahwa manusia
akan mengambil manfaat besar dengannya, maka jika demikian, bagaimana hal itu
bisa hilang dari pengetahuan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak
pernah memberikan wasiat kepada umatnya dengan kebaikan agung ini sementara
as-Sayyid ‘Alawi Maliki mengetahuinya ? ….
Komentar
saya:
Dalam
perkataan ini –menurut saya- tersirat unsur kesombongan dan sikap menang
sendiri serta berburuk sangka kepada seorang ulama, yang seperti saya sebutkan
sebelumnya bukanlah merupakan sikap yang tidak sesuai dengan tuntunan al-Quran
dan as-Sunnah, serta dapat menghalangi seseorang untuk bersikap obyektif dalam
memutuskan suatu perkara.
Jika
kita lihat sejarah umat Islam (tarikh tasyri’ islam) akan kita temukan banyak
perkara yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW tapi diakui kebaikannya
oleh seluruh umat Islam.
Misalnya:
-
Pada zaman Abu Bakar beliau memerangi orang yang tidak
mau membayar zakat dan mengumpulkan
tulisan-tulisan al-Quran dalam satu mushaf
-
Pada zaman Umar beliau menjadikan shalat tarawih secara
berjamaah dan beliau melarang orang yang tidak tahu bahasa arab yang fasih
untuk mengajarkan al-Quran
-
Pada zaman Usman beliau menambahkan adzan shalat jumat
menjadi dua kali dan beliau membuat bacaan al-Quran dengan mengikuti satu
qiraah saja
-
Pada zaman Umar bin Abdul ‘Aziz para ulama memulai
penulisan hadits yang sebelumnya kebanyakan hanya berdasarkan hafalan
-
Pada zaman Imam-Imam Madzhab ilmu-ilmu agama Islam
mulai berkembang ke dalam bidang-bidang terterntu seperti ilmu al-Quran, ilmu
hadits, ilmu fiqih dan ushulnya, dan masih banyak contoh yang lainnya
Jika
mengikuti logika penulis bantahan kisah tersebut, berarti kita juga menganggap
Abu Bakar, Umar, Usman, para sahabat dan tabi’in lebih pandai dari Rasulullah SAW karena
mengerjakan sesuatu yang tidak pernah oleh beliau.
Selain
itu, sangatlah tidak adil jika kemudian kita membandingkan ke’aliman ulama zaman
muta’akhirin dengan ulama mutaqaddimin karena Rasulullah SAW sendiri telah
bersabda:
( خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ )
“Orang-orang
yang paling baik adalah orang di masaku, lalu setelah mereka, lalu setelah
mereka.”
[HR
Bukhori 2652 dan Muslim 2533]
Jika
kemudian Sayyid Alawi menemukan sesuatu hal yang belum ditemukan ulama
sebelumnya, bukan berarti kita lalu menganggap ke’aliman beliau melebihi
ulama-ulama sebelumnya. Misalnya Thomas Alva Edison menemukan lampu yang belum
pernah ditemukan ilmuwan lainnya, bukan berarti kepandaiannya melebihi
ilmuwan-ilmuwan lainnya. Demikian Imam Syaf’i yang merumuskan ilmu ushul fiqih
bukan berari ke’aliman beliau melebihi para sahabat atau para tabi’in
sebelumnya.
Jadi
ucapan penulis yang beranggapan as-Sayyid ‘Alawiy Malikiy lebih ‘alim dari
ulama lain bahkan para tabi’in, sahabat bahkan Rasulullah, lagi-lagi merupakan
kesimpulan yang ia ambil sendiri dan
tidak ada dalam kisah yang dulu saya sebutkan.
Selain itu menurut
sepengetahuan saya, para ulama (termasuk Sayyid Alawi dan Syaikh As-Sa’di)
sangat jauh dari sifat kesombongan semacam itu, jadi janganlah kita mudah
berburuk sangka kepada mereka, yaitu para ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar