3. Rincian Riwayat:
Pertama:
Ucapan penulis, Sebab, seandainya as-Sayyid ‘Alawiy beriman bahwa air hujan
yang turun dari talang ka’bah membawa dua keberkahan, maka pastilah saat itu
dia sendiri yang akan berdiri di bawah talang Ka’bah untuk mendapatkan
keberkahan tersebut, bukannya duduk di majelisnya
Komentar
saya:
Perbuatan
Sayyid Alawi yang tidak ikut berdiri di bawah talang Ka’bah tidak dapat dijadikan dalil bahwa riwayat ini
dusta atau bahwa Sayyid Alawi tidak mempercayainya.
Hal
ini sama yang terjadi dengan Nabi Muhammad SAW yang membagi-bagikan potongan
rambut beliau kepada sahabat-sahabatnya akan tetapi beliau sendiri tidak
menyimpannya sendiri.
Demikian
pula Umar RA yang menjadikan shalat tarawih secara berjamaah, akan tetapi
beliau ternyata justru shalat tarawih sendirian.
Perbuatan
Nabi dan Umar RA ini tidaklah dapat dijadikan dalil yang menyatakan riwayat ini
dusta.
Kedua,
ucapan penulis: saat orang-orang Badui melarang mereka, mereka pergi ke
as-Sayyid ‘Alawiy Maliki di majelisnya. Maksudnya bahwa as-Sayyid ‘Alawiy
Maliki sejak awal turunnya hujan tidak berada di bawah talang Ka’bah untuk
mendapatkan keberkahan dan keutamaan yang agung tersebut! Maka bagaimana
mungkin dia menjadikan keutamaan agung itu lepas darinya?! Di sinlah pengarang
kisah dusta tersebut menampakkan bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki bukanlah
termasuk para ulama yang mengamalkan ilmu mereka….
Komentar
saya:
Memang
dalam air hujan dan Ka’bah memberikan keberkahan dan keutamaan, akan tetapi
jika kita membaca kisah itu, disebutkan bahwa saat itu Sayyid Alawi sedang
berada di majlis ilmunya. Bukankah keutamaan majlis ilmu melebihi keutamaan berkah
air hujan dan Ka’bah seperti yang disebutkan dalam hadits-hadits Nabi SAW? Jadi
tidaklah salah jika beliau lebih mementingkan majlisnya dibandingkan mengambil
berkah air hujan.
Selain
itu berkah air hujan dan Ka’bah itu hanya terbatas pada pelakunya sendiri, lain
halnya dengan majlis ilmu.
Sesuai
kaidah ushul fiqh:
الْخَيْرُ الْمُتَعَدِّى أَفْضَلُ مِنَ
الْقَاصِرِ
“Kebaikan
yang bisa merambat itu lebih utama daripada kebaiakan yang terbatas.”
Jadi
ucapan penulis: “pengarang kisah dusta tersebut menampakkan bahwa as-Sayyid
‘Alawiy Maliki bukanlah termasuk para ulama yang mengamalkan ilmu mereka” itu
lagi-lagi merupakan kesimpulannya sendiri dan tidak dapat dijadikan dalil untuk
mendustakan kisah ini.
Ketiga,
ucapan penulis: Dimana keyakinan keberkahan air hujan yang turun dari talang
Ka’bah termasuk sarana kesyirikan dan termasuk syirik ashghor. Adapun jika
berkeyakinan bahwa itu merupakan wasilah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau
hujan itu yang memberi keberkahan maka menjadi syirik besar…
Komentar
saya:
Dalam
perkataannya ini –menurut saya- terjadi kerancuan antara definisi syrik asghor
dan syirik akbar dan menimbulkan kebingungan kepada pembacanya.
Adz-Dzahabi
dalam al-Kabair (hal 10) menjelaskan bahwa syirik itu ada dua macam
-
Syirik Akbar yaitu menjadikan sekutu bagi Allah baik
berupa batu, tumbuhan, matahari, bulan, dan
yang lainnya
-
Syirik yang kedua (ashgor) yaitu riya’
Dan
jika membaca karya para ulama-ulama yang lain, kebanyakan mereka membagi syrik
seperti yang diterangkan oleh adz-Dzahabi ini.
Sedangkan
permasalahan tawassul yang menurutnya adalah termasuk syirik besar (akbar) ,
ini juga merupakan kesimpulan yang diambil penulisnya sendiri tanpa didasari
dengan dalil dan argumentasi yang kuat.
Karena
setahu saya tawassul itu merupakan perkara yang diperselisihkan para ulama akan
kebolehannya, yang jika kita teliti lebih lanjut permasalahan ini dimunculkan oleh Ibnu
Taimiyyah dan dipopulerkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sedangkan
dalil-dalil dalam al-Quran dan hadits menunjukkan kebolehan mengamalkan
tawassul:
Misalnya
firman Allah SWT:
﴿ يَا آيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,” [Al-Maidah: 5]
Dalam
ayat ini Allah jelas memperbolehkan kita untuk bertawassul (menggunakan
perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Kata
al-wasilah ini artinya adalah umum, baik dengan iman, amal shaleh atau pun yang
lainnya. Sedangkan untuk membuatnya berarti khusus pada iman dan amal shaleh
saja, diperlukan dalil untuk hal ini.
Dan
firman Allah SWT:
﴿ وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ
اللهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلىَ
الَذِيْنَ كَفَرُوْا ﴾
“Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan
apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan
Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir,” [Al-Baqoroh: 89]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Yahudi Khaibar dahulu
memerangi kaum Ghathafan (bangsa Arab). Tiap kali bertempur bangsa Yahudi
kalah. Kemudian kaum Yahudi minta pertolongan dengan doa ini: "Ya Allah,
sesungguhnya kami minta kepada-Mu dengan hak Muhammad, Nabi yang ummi, yang
Engkau telah janjikan kepada kami, akan Engkau utus Dia di akhir zaman.
Tidakkah Engkau akan menolong kami untuk mengalahkan mereka?" Apabila
bertempur, mereka tetap berdoa dengan doa ini, sehingga kalahlah kaum
Ghathafan. Tetapi ketika Rasulullah diutus, mereka kufur terhadap Nabi SAW.
Maka Allah turunkan ayat ini (S. 2: 89) sebagai laknat kepada orang-orang yang
memohon pertolongan Allah, yang setelah dikabulkan mengingkarinya.
(Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak no 3042 dan al-Baihaqi dalam kitab ad-Dala'il dengan sanad yang lemah yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
(Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak no 3042 dan al-Baihaqi dalam kitab ad-Dala'il dengan sanad yang lemah yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum Yahudi minta
pertolongan untuk mengalahkan kaum Aus dan kaum Khazraj dengan memakai nama
Rasulullah SAW sebelum beliau diutus menjadi Rasul.
Kedua riwayat ini jelas
menunjukkan bahwa al-Quran membolehkan mengamalkan tawassul, karena jika tidak
boleh, maka mestinya ayat semacam ini tidak ada dalam al-Quran.
Demikian pula firman Allah
SWT:
﴿ وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ أَيَةَ
مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوْتُ فِيْهِ سَكِيْنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوْسَى وَآلُ هَارُوْنَ تَحْمِلُهُ الْمَلاَئِكَةُ
﴾
“Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia
akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat
ketenangan dari Tuhanmu dan sisa
dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat.”
[al-Baqoroh: 248]
Jika kita melihat dalam
penjelasan dalam kitab-kitab tafsir, diterangkan bahwa orang-orang Yahudi
membawa tabut dalam peperangan dan bertawassul dengannya untuk memperoleh
kemenangan.
Selain itu, jika kita
perhatikan dalam tabut itu juga terdapat peninggalan keluarga Musa dan Harun,
yang memberikan isyarat bahwa bertawassul dengan peninggalan orang-orang yang
saleh itu diperbolehkan dalam al-Quran.
Ibnu Katsir berkata: “Di
dalam tabut terdapat tongkat nabi Musa, tongkat nabi Harun, dua lempengan taurat dan baju nabi Harun. Ada
pula yang berkata: tongkat dan sandal.
(Tafsir Ibnu Katsir hal 313
juz 1)
Sedangkan hadits-hadits yang
memperbolehkan pengamalan tawassul itu banyak sekali, ada yang sohih, hasan dan
dhoif.
Misalnya:
-
Tawassul
Nabi Adam saat beliau mengakui kesalahannya dengan ucapan: Ya Tuhanku aku
memohon kepada-Mu dengan hak Muhamamd untuk mengampuniku
(HR al-Hakim no 4228, beliau berkata: Ini adalah hadis
sohih, dan As-Suyuti mensohihkannya dalam kitab al-Khoso-is)
-
Tawassul
seorang lelaki buta pada Nabi untuk menyembuhkan matanya, lalu ia diperintahkan Nabi untuk berwudlu dan shalat dua rakaat,
dan berdoa: Ya Allh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghada kepada-Mu
dengan Nabi Engkau Muhammad …. “
(HR Tirmidzi no 3649, beliau berkata: Ini hadis Hasan
Sohih. Dan Al-Hakim no 1180 beliau berkata: Hadis hohih sesuai dengan syarat
sohih Bukhori dan Muslim), keduanya dari Usman bin Hanif
-
Kisah
seseorang yang kesulitan bertemu khalifah Usman bin Affan, lalu ia bertemu
sahabat Usman bin Hanif dan diperintahkan melakukan hal sama dengan orang yang
buta tadi.
(HR Tabrani dalam al-Mu’jam ash-shogir no 509 dan Mu’jam
al-Kabir no 8232, dan beliau mensohihkannya seperti yang dikutip oleh
al-Mundizri dalam kitabnya at-Targhib, hadits ini juga disohihkan oleh Abu
Abdillah al-Maqdisi seperti yang dikutip oleh al-Mundziri, al-Haitsami dan Ibnu
Taimiyah)
Sebenarnya masih banyak
hadits-hadits lain yang menunjukkan kebolehan mengamalkan tawassul, bahkan
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab menganggap masalah tawassul ini merupakan
masalah fiqih dan para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, bahkan ia
berkata: “Dan yang benar adalah pendapat mayoritas ulama bahwa ini adalah
makruh, dan kami tidak mengingkari kepada orang yang melakukannya….
(lihat kitab Fatawi Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab dari kitab Majmu’atul Muallif bagianke 3 hal 68)
Jadi ucapan pengarang yang
menganggap wasilah (tawassul) termasuk syirik ashgor adalah ucapan yang tanpa
didasari oleh dalil dan argumentasi yang kuat, dan menurut saya bahkan terkesan
gegabah (sembrono). Karena jika ia mau meneliti al-Quran, hadis dan perkataan
para ulama salaf, saya rasa ia tidak akan menemukan salah seorang dari mereka
yang berkata atau berpendapat seperti dirinya.
Maka jika saya mengikuti
logikanya yang dulu ia sampaikan, berarti ia lebih pandai atau ‘alim dari
ulama-ulama terdahulu bahkan dari para tabi’in, sahabat maupun Nabi Muhammad
SAW sendiri.
Saya persilahkan
kepada para pembaca untuk menilainya secara obyektif dan ilmiah, tanpa disertai dengan hawa nafsu
dan kemarahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar