Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Rabu, 15 Mei 2013

Kisah Sayyid Alawi dan As-Sa'di Palsukah? bag-4



3. Rincian Riwayat:

Pertama: Ucapan penulis, Sebab, seandainya as-Sayyid ‘Alawiy beriman bahwa air hujan yang turun dari talang ka’bah membawa dua keberkahan, maka pastilah saat itu dia sendiri yang akan berdiri di bawah talang Ka’bah untuk mendapatkan keberkahan tersebut, bukannya duduk di majelisnya

Komentar saya:
Perbuatan Sayyid Alawi yang tidak ikut berdiri di bawah talang Ka’bah  tidak dapat dijadikan dalil bahwa riwayat ini dusta atau bahwa Sayyid Alawi tidak mempercayainya.
Hal ini sama yang terjadi dengan Nabi Muhammad SAW yang membagi-bagikan potongan rambut beliau kepada sahabat-sahabatnya akan tetapi beliau sendiri tidak menyimpannya sendiri.
Demikian pula Umar RA yang menjadikan shalat tarawih secara berjamaah, akan tetapi beliau ternyata justru shalat tarawih sendirian.
Perbuatan Nabi dan Umar RA ini tidaklah dapat dijadikan dalil yang menyatakan riwayat ini dusta.

Kedua, ucapan penulis: saat orang-orang Badui melarang mereka, mereka pergi ke as-Sayyid ‘Alawiy Maliki di majelisnya. Maksudnya bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sejak awal turunnya hujan tidak berada di bawah talang Ka’bah untuk mendapatkan keberkahan dan keutamaan yang agung tersebut! Maka bagaimana mungkin dia menjadikan keutamaan agung itu lepas darinya?! Di sinlah pengarang kisah dusta tersebut menampakkan bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki bukanlah termasuk para ulama yang mengamalkan ilmu mereka….

Komentar saya:
Memang dalam air hujan dan Ka’bah memberikan keberkahan dan keutamaan, akan tetapi jika kita membaca kisah itu, disebutkan bahwa saat itu Sayyid Alawi sedang berada di majlis ilmunya. Bukankah keutamaan majlis ilmu melebihi keutamaan berkah air hujan dan Ka’bah seperti yang disebutkan dalam hadits-hadits Nabi SAW? Jadi tidaklah salah jika beliau lebih mementingkan majlisnya dibandingkan mengambil berkah air hujan.
Selain itu berkah air hujan dan Ka’bah itu hanya terbatas pada pelakunya sendiri, lain halnya dengan majlis ilmu.
Sesuai kaidah ushul fiqh:
الْخَيْرُ الْمُتَعَدِّى أَفْضَلُ مِنَ الْقَاصِرِ
“Kebaikan yang bisa merambat itu lebih utama daripada kebaiakan yang terbatas.”
Jadi ucapan penulis: “pengarang kisah dusta tersebut menampakkan bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki bukanlah termasuk para ulama yang mengamalkan ilmu mereka” itu lagi-lagi merupakan kesimpulannya sendiri dan tidak dapat dijadikan dalil untuk mendustakan kisah ini.

Ketiga, ucapan penulis: Dimana keyakinan keberkahan air hujan yang turun dari talang Ka’bah termasuk sarana kesyirikan dan termasuk syirik ashghor. Adapun jika berkeyakinan bahwa itu merupakan wasilah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau hujan itu yang memberi keberkahan maka menjadi syirik besar…

Komentar saya:
Dalam perkataannya ini –menurut saya- terjadi kerancuan antara definisi syrik asghor dan syirik akbar dan menimbulkan kebingungan kepada pembacanya.
Adz-Dzahabi dalam al-Kabair (hal 10) menjelaskan bahwa syirik itu ada dua macam
-          Syirik Akbar yaitu menjadikan sekutu bagi Allah baik berupa batu, tumbuhan, matahari, bulan, dan  yang lainnya
-          Syirik yang kedua (ashgor) yaitu riya’
Dan jika membaca karya para ulama-ulama yang lain, kebanyakan mereka membagi syrik seperti yang diterangkan oleh adz-Dzahabi ini.
Sedangkan permasalahan tawassul yang menurutnya adalah termasuk syirik besar (akbar) , ini juga merupakan kesimpulan yang diambil penulisnya sendiri tanpa didasari dengan dalil dan argumentasi yang kuat.
Karena setahu saya tawassul itu merupakan perkara yang diperselisihkan para ulama akan kebolehannya, yang jika kita teliti lebih lanjut  permasalahan ini dimunculkan oleh Ibnu Taimiyyah dan dipopulerkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sedangkan dalil-dalil dalam al-Quran dan hadits menunjukkan kebolehan mengamalkan tawassul:
Misalnya firman Allah SWT:
﴿ يَا آيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ ﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,” [Al-Maidah: 5]
Dalam ayat ini Allah jelas memperbolehkan kita untuk bertawassul (menggunakan perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Kata al-wasilah ini artinya adalah umum, baik dengan iman, amal shaleh atau pun yang lainnya. Sedangkan untuk membuatnya berarti khusus pada iman dan amal shaleh saja, diperlukan dalil untuk hal ini.

Dan firman Allah SWT:
﴿ وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلىَ الَذِيْنَ كَفَرُوْا ﴾
Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir,” [Al-Baqoroh: 89]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Yahudi Khaibar dahulu memerangi kaum Ghathafan (bangsa Arab). Tiap kali bertempur bangsa Yahudi kalah. Kemudian kaum Yahudi minta pertolongan dengan doa ini: "Ya Allah, sesungguhnya kami minta kepada-Mu dengan hak Muhammad, Nabi yang ummi, yang Engkau telah janjikan kepada kami, akan Engkau utus Dia di akhir zaman. Tidakkah Engkau akan menolong kami untuk mengalahkan mereka?" Apabila bertempur, mereka tetap berdoa dengan doa ini, sehingga kalahlah kaum Ghathafan. Tetapi ketika Rasulullah diutus, mereka kufur terhadap Nabi SAW. Maka Allah turunkan ayat ini (S. 2: 89) sebagai laknat kepada orang-orang yang memohon pertolongan Allah, yang setelah dikabulkan mengingkarinya.
(Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak no 3042 dan al-Baihaqi dalam kitab ad-Dala'il dengan sanad yang lemah yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum Yahudi minta pertolongan untuk mengalahkan kaum Aus dan kaum Khazraj dengan memakai nama Rasulullah SAW sebelum beliau diutus menjadi Rasul.

Kedua riwayat ini jelas menunjukkan bahwa al-Quran membolehkan mengamalkan tawassul, karena jika tidak boleh, maka mestinya ayat semacam ini tidak ada dalam al-Quran.

Demikian pula firman Allah SWT:
﴿ وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ أَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوْتُ فِيْهِ سَكِيْنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوْسَى وَآلُ هَارُوْنَ تَحْمِلُهُ الْمَلاَئِكَةُ ﴾
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat.” [al-Baqoroh: 248]
Jika kita melihat dalam penjelasan dalam kitab-kitab tafsir, diterangkan bahwa orang-orang Yahudi membawa tabut dalam peperangan dan bertawassul dengannya untuk memperoleh kemenangan.
Selain itu, jika kita perhatikan dalam tabut itu juga terdapat peninggalan keluarga Musa dan Harun, yang memberikan isyarat bahwa bertawassul dengan peninggalan orang-orang yang saleh itu diperbolehkan dalam al-Quran.
Ibnu Katsir berkata: “Di dalam tabut terdapat tongkat nabi Musa, tongkat nabi Harun,  dua lempengan taurat dan baju nabi Harun. Ada pula yang berkata: tongkat dan sandal.
(Tafsir Ibnu Katsir hal 313 juz 1)

Sedangkan hadits-hadits yang memperbolehkan pengamalan tawassul itu banyak sekali, ada yang sohih, hasan dan dhoif.
Misalnya:
-          Tawassul Nabi Adam saat beliau mengakui kesalahannya dengan ucapan: Ya Tuhanku aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhamamd untuk mengampuniku
(HR al-Hakim no 4228, beliau berkata: Ini adalah hadis sohih, dan As-Suyuti mensohihkannya dalam kitab al-Khoso-is)
-          Tawassul seorang lelaki buta pada Nabi untuk menyembuhkan matanya, lalu ia diperintahkan  Nabi untuk berwudlu dan shalat dua rakaat, dan berdoa: Ya Allh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghada kepada-Mu dengan Nabi Engkau Muhammad …. “
(HR Tirmidzi no 3649, beliau berkata: Ini hadis Hasan Sohih. Dan Al-Hakim no 1180 beliau berkata: Hadis hohih sesuai dengan syarat sohih Bukhori dan Muslim), keduanya dari Usman bin Hanif
-          Kisah seseorang yang kesulitan bertemu khalifah Usman bin Affan, lalu ia bertemu sahabat Usman bin Hanif dan diperintahkan melakukan hal sama dengan orang yang buta tadi.
(HR Tabrani dalam al-Mu’jam ash-shogir no 509 dan Mu’jam al-Kabir no 8232, dan beliau mensohihkannya seperti yang dikutip oleh al-Mundizri dalam kitabnya at-Targhib, hadits ini juga disohihkan oleh Abu Abdillah al-Maqdisi seperti yang dikutip oleh al-Mundziri, al-Haitsami dan Ibnu Taimiyah)

Sebenarnya masih banyak hadits-hadits lain yang menunjukkan kebolehan mengamalkan tawassul, bahkan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab menganggap masalah tawassul ini merupakan masalah fiqih dan para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, bahkan ia berkata: “Dan yang benar adalah pendapat mayoritas ulama bahwa ini adalah makruh, dan kami tidak mengingkari kepada orang yang melakukannya….
(lihat kitab Fatawi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dari kitab Majmu’atul Muallif bagianke 3 hal 68)
Jadi ucapan pengarang yang menganggap wasilah (tawassul) termasuk syirik ashgor adalah ucapan yang tanpa didasari oleh dalil dan argumentasi yang kuat, dan menurut saya bahkan terkesan gegabah (sembrono). Karena jika ia mau meneliti al-Quran, hadis dan perkataan para ulama salaf, saya rasa ia tidak akan menemukan salah seorang dari mereka yang berkata atau berpendapat seperti dirinya.
Maka jika saya mengikuti logikanya yang dulu ia sampaikan, berarti ia lebih pandai atau ‘alim dari ulama-ulama terdahulu bahkan dari para tabi’in, sahabat maupun Nabi Muhammad SAW sendiri.
Saya persilahkan kepada para pembaca untuk menilainya secara obyektif  dan ilmiah, tanpa disertai dengan hawa nafsu dan kemarahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar