6. Pandangan Sejarah:
Pertama, ucapan penulis: Mengapa
kisah ini tidak menyebar saat kelompok shufiy memiliki peran di Makkah, dan
baru menyebar pada hari ini saat kelompok shufiy tidak memiliki peran ….
Komentar
saya:
Sebelumnya kita menjawabnya
marilah kita melihat sejarah yang terjadi pada tanah arab terlebih dahulu.
Pada tahun 1924-1925 Hijaz ditaklukkan
oleh Ibnu Saud dan beliau memproklamasikan berdirinya kerajaan Arab Saudi.
Mulai saat itu, pemerintahan melarang
kegiatan dan organisasi aliran tasawuf
yang ada sehingga wajar mulai saat itu kelompok shufiy kehilangan
pengaruh di Arab Saudi.
Sedangkan Sayyid Alawi
meninggal pada tahun 1971 setelah mengajar di masjidil haram selama 40 tahun
(berati beliau mulai mengajar kurang lebih tahun 1930-an).
Dan Syaikh Abdurrahman bin
Nashir as-Sa’di lahir pada tahun 1886 M dan mulai membuka pelajaran pada umur
23 tahun (mungkin sekitar tahun 1898-1899 M) dan pada tahun 1950 beliau
tertimpa sakit dan meninggal pada tahun 1955 M.
Jika kita memperhitungkan
maka ada kemungkinan kisah itu terjadi di antara 1930-1950 M atau sampai 1955
M, dan tidak mungkin terjadi sebelum tahun 1930 karena saat itu Sayyid Alawi
belum mengajar di Masjidil Haram, dan tidak mungkin terjadi setelah tahun 1955
M setelah Syaikh as-Sa’diy meninggal dunia.
Dari data-data yang saya
sampaikan, maka pertanyaan penulis bahwa “Mengapa kisah ini tidak
menyebar saat kelompok shufiy memiliki peran di Makkah, dan baru menyebar pada
hari ini saat kelompok shufiy tidak memiliki peran” adalah pertanyaan yang
aneh bahkan bisa dikatakan lucu (kalau tidak mau dikatakan ajaib), karena saat
kisah ini terjadi (antara 1930-1955 M) orang-orang sufi saat itu sudah tidak
punya pengaruh lagi di Arab Saudi.
Saya persilakan kepada para
pembaca untuk memikirkan dan hal ini merenungkannya dengan jernih dan tanpa
disertai hawa nafsu.
Kedua,
ucapan penulis: Mengapa orang-orang Hadhramaut tidak mengetahui kisah
ini sejak hari itu sementara Hadramaut adalah markas Syufiy, sementara
orang-orang Indonesia mengetahuinya belakangan ini?
Komentar saya:
Hal ini mungkin saja terjadi,
karena Sayyid Alawi memiliki banyak murid yang berasal dari asia tenggara
terutama di Indonesia, dan yang perlu diingat pula bahwa saat itu aliran sufi
pun berkemabang pesat di Indonesia.
Sedangkan mengapa orang-orang
Hadramaut yang menurut penulis tidak mengetahui ksah ini, ini pun dapat
dibenarkan dengan dalil dan logika.
Jika kita membaca kitab-kitab
ulumul hadits, kita akan tahu ada sebagian hadits yang hanya diketahui di
daerah tertentu atau diriwayatkan dari kota atau perowi tertentu, dan para
ulama hadits menerima hadits ini jika memang sanadnya sohih.
Apakah dengan demikian kita
akan menolak hadits-hadits semacam ini sama sekali?
Saya rasa tidak ada satu
ulama pun yang akan berpendapat seperti ini.
Demikian pula sebagian amalan
dalam fiqih hanya diketahui dan berkembang suatu dareah tertentu, contohnya talqin
jenazah setelah meninggal dunia hanya diamalkan di penduduk kota Syam si
awal-awal Islam dan mereka pun
meriwayatkan hadisnya. Para ulama pun berbeda pendapat tentang hadits talqin
ini ada yang melemahkannya ada pula yang menganggapnya baik.
(lihat talkhisul khobir hal
135 juz 1 dan kasyful khofa hala 376-377 juz 1)
Apakah dengan demikian kita
menolak adanya talqin mayyit ini karena hanya dikenal di kota Syam saja?
Dari uraian singkat tadi,
jelaslah perkataan penulis bantahan tadi tidak dapat dijadikan sebagai dalil
yang kuat untuk mendustakan cerita ini.
Ketiga,
ucapan penulis: Bukankah termasuk aneh, tidak ada seorang pun yang
mengetahui kisah ini dari waktu kejadiannya, dan sepanjang masa itu, kemudian
menjadi terkenal dan dikenal setelah kurang lebih enam puluh tahun setelah
kejadiannya? …
Komentar saya:
Hal ini mungkin saja terjadi,
seperti yang terjadi pada para ulama sebelum kita.
Contoh yang paling terkenal
adalah kisah hilangnya kitab tafsir ath-Thabari dari umat Islam, yang telah
dikenal para ulama zaman dahulu hingga ditemukan manuskripnya pada Amir Hamud
bin Abdirrasyid dari Najd.
Demikian pula, pada zaman
sekarang kita masih banyak kehilangan kitab-kitab karya ulama zaman dahulu dan belum
ditemukan, apakah dengan demikian kita mendustakan keberadaan kitab-kitab
tersebut.
Jika dalam masalah kitab
karangan ulama yang sudah banyak dijelaskan keberadaannya oleh banyak ulama
kita masih banyak kehilangan naskah dan beritanya, apalagi suatu kisah yang
sering tidak ditulis dalam suatu buku dan
hanya berdasarkan ingatan orang yang menyaksikan.
Ke empat: ucapan
penulis, Mengapa kisah ini tidak keluar pada masa hidupnya as-Syaikh ‘Abdul
Fattah Rawwah, lalu keluar setelah wafat beliau sementara beliau adalah saksi
terakhir atas kisah tersebut sesuai dengan riwayat yang telah diterjemah?
Komentar saya:
Darimana penulis bantahan
tahu dengan pasti bahwa kisah ini tidak keluar pada masa hidupnya
as-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah pada salah satu atau sebagian murid-muridnya?
Apakah
ia selalu bersama dengan beliau, selalu mengikuti majlis beliau, atau ada
pengakuan langsung dari beliau tentang ketidak benaran cerita ini ?
Para
pembaca yang kritis tentu akan mengetahui bahwa ini hanyalah persangkaan atau
pengakuan penulisan bantahan sendiri yang tanpa disertai dengan dalil atau
bukti yang nyata.
Sebagai
satu contoh lagi, para pembaca pasti sering mendengar kisah-kisah dari para
wali Allah, yang banyak dari kisah menjadi terkenal setelah mereka meninggal
dunia. Apakah dengan jika kisah ini tidak diceritakan sewaktu mereka masih
hidup, berarti kisah ini bohong atau dusta ?
Kelima,
ucapan penulis: Mengapa Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah tidak memberikan
wasiat kepada anak-anaknya sebagaimana dia telah belajar dari gurunya as-Sayyid
‘Alawiy Maliki dalam kehidupannya, atau setelah kematiannya agar mereka mandi
dari air hujan yang turun dari talang Ka’bah. Mengapa beliau menjadikan
keutamaan ini hilang dari mereka?
Komentar saya:
Menurut saya inilah salah
satu pikiran yang aneh dari penulis bantahan, karena seolah-seolah as-Syaikh
‘Abdul Fattah Rawwah harus berwasiat tentang masalah ini kepada anak-anaknya
untuk membuktikan kebenaran kisah ini. Jika ia tidak berwasiat, maka kisah ini
menurut penulis bantahan pasti tidak benar.
Saya
tidak tahu, ia mengambil istimbath ini dari mana, karena jika kita lihat
masalah wasiat adalah hak perogratif dari orang yang mau memberikan wasiat,
bukan hak orang lain. Dan biasanya jika para ulama dan orang yang saleh akan
meninggal dunia ia akan mewasiatkan sesuatu yang dianggapnya paling penting,
misalnya pesan agar anak-anaknya bertakwa atau yang lainnya. Jadi seandainya
beliau tidak berwasiat tentang masalah ini, ini adalah hal yang wajar, karena
beliau mementingkan perkara yang paling utama menurut beliau di antara
perkara-perkara yang lain.
Ke enam, ucapan penulis: As-Sayyid ‘Alawiy Maliki dulu
tinggal di distrik yang persis bersebelahan dengan kami, yaitu distrik
al-‘Utaibah, dan kisah ini sama sekali tidak pernah diketahui dari orang-orang
tua di distrik al-‘Utaibah, atau penduduk distrik al-Hujun yang bersebelahan
dengannya dari majelis-majelis mereka. Lalu bagaimana kisah tersebut tidak
menyebar di distrik yang as-Sayyid ‘Alawiy Maliki tinggal di sana, serta
menyampaikan kajian di dalamnya lalu bisa menyebar di Indonesia? Demikian juga
mengapa penduduk Makkah yang kejadian itu terjadi di sana tidak mengetahuinya,
lantas orang-orang Indonesia justru yang mengetahuinya?
Komentar saya:
Menurut saya salah satu
kemungkinan sebab kenapa kisah ini tidak tersebar di distrik al-‘Utaibah atau
di disrik as-Sayyid ‘Alawi Maliki dan justru tersebar di Indonesia, karena bisa jadi pemerintah Arab Saudi saat itu
menutup-nutupi peristiwa tersebut karena tidak sesuai dengan kepercayaan
(aqidah) mereka. Karena setahu saya, pemerintahan Arab Saudi itu begitu keras
dalam menerapkan peraturan mereka sehingga kitab-kitab atau buku-buku yang tidak sesuai dengan
kepercayaan mereka tidak boleh diterbitkan atau disebarkan di sana, meskipun itu berasal dari warga negara
mereka sendiri. Contohnya bisa para
pembaca lihat pada putra Sayyid Alawi sendiri yaitu Sayid Muhammad, dimana
kitab-kitabnya yang bagus dan ilmiah yang dilarang beredar di sana hingga
beliau dilarang mengajar di Masjidil Haram dan Universitas karena di anggap memiliki
kepercayaan yang berbeda.
Jika terhadap ulama dan kitab
yang tidak sejalan dengan kepercayaan pemerintah saja mereka bisa berbuat
hingga sejauh itu, apalagi hanya pada suatu peristiwa yang dengan mudah bisa
ditutupi atau dianggap dusta.
Ke tujuh, ucapan penulis: Maka
sesungguhnya jika demikian, lalu mengapa putranya, yaitu as-Sayyid Muhammad
‘Alawiy tidak pernah meriwayatkannya sepanjang hidupnya, sementara dia adalah
orang yang paling tahu tentang ayahandanya
Komentar saya:
Menurut saya, alasan mengapa as-Sayyid
Muhammad ‘Alawiy tidak pernah meriwayatkannya sepanjang hidupnya (jika memang
ini benar sesuai dengan persangkaan penulis bantahan) , karena jika kita
membaca dan mengamati buku-buku karya beliau, maka kita akan tahu beliau adalah
orang ilmiah dan selalu memberikan bukti-bukti yang kuat berdasarkan al-Quran
dan Hadits dalam setiap pendapat yang
disampaikan beliau.
Selain
itu, mungkin beliau menyadari, bahwa orang-orang yang beliau hadapi tidak akan
percaya jika beliau hanya menyampaikan suatu kisah saja karena setahu saya
banyak di antara penentang beliau yang
tidak mempercayai akan kekeramatan wali Allah.
Jadi
wajar saja beliau tidak menyampaikan kisah ini kepada orang-orang tersebut.
Ke delapan, ucapan penulis: Jika
kisah ini benar, maka bagaimana kisah ini bisa hilang dari orang-orang shufiah
untuk kemudian mereka bisa menggunakannya, merekamnya dengan suara as-Sayyid
‘Alawiy Maliki sendiri agar menjadi bukti-bukti kemenangan mereka atas pengikut
manhaj salaf (wahhabiy)? Dan perlu diketahui bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki
telah wafat pada tahun 1971 M, dan kala itu kamera video telah banyak, maka
mengapa para pengikutnya tidak merekam realitas ini kemudian menetapkannya
untuk sejarah?
Komentar saya:
Dari perkataan penulis ini,
para pembaca akan mengetahui ketidak tahuannya tentang sejarah kisah yang ia
bicarakan.
Seperti yang terangkan
sebelumnya kisah ini terjadi diantara tahun 1930-1955 M. Kita harus ingat,
Syaikh as-Sa’di meninggal di tahun 1955.
Sedangkan kamera video yang
bisa merekam gambar dan suara baru berhasil diciptakan oleh Philips dan Sony pada tahun 1979.
Jadi bagaimana mungkin
orang-orang saat itu (1930-1955 M) merekam kisah itu dengan alat yang baru
ditemukan beberapa puluh tahun berikutnya (1979 M)
Selain itu perkataan penulis
yang menyatakan “as-Sayyid ‘Alawiy Maliki telah wafat pada tahun 1971
M, dan kala itu kamera video telah banyak” menunjukkan kerancuannya dalam
pengambilan dalil yang tidak sesuai dengan sejarah dan terkesan sembarangan.
Dari
bukti-bukti yang saya sebutkan di atas, tuduhannya bahwa kisah ini adalah
fiktif adalah tuduhan yang berdasarkan
persangkaan penulis saja tanpa dalil-dalil yang kuat.
Kedelapan, ucapan penulis: Saya
tutup bagian ini bahwa Sang Pengarang yang dusta tidak memberikan tanggal bagi
kita akan waktu terjadinya kejadian itu jika benar. Jika tidak, seandainya dia
menyebut tanggal begitu saja, maka pekara dia akan terbongkar dengan mudah.
Komentar saya:
Kisah atau cerita yang
disebutkan dalam suatu kitab tanpa disertai tanggal atau waktu kejadian,
tidaklah secara otomatis membuat kisah atau
cerita lemah atau fiktif. Jika kita lihat dalam kitab-kitab tafsir, hadits,
sejarah atau biografi seseorang, sering kita dapati kisah-kisah atau
cerita-cerita yang tidak disertai dengan tanggal atau waktu kejadiannya.
Apakah dengan demikian kita
lalu melemahkan atau mendustakan kisah atau cerita tersebut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar