Alamat

Jl Diponegoro Gg. III Cepu - Jawa Tengah Indonesia

Rabu, 15 Mei 2013

Kisah Sayyid Alawi dan As-Sa'di Palsukah? bag-6

6. Pandangan Sejarah:

Pertama, ucapan penulis: Mengapa kisah ini tidak menyebar saat kelompok shufiy memiliki peran di Makkah, dan baru menyebar pada hari ini saat kelompok shufiy tidak memiliki peran ….

Komentar saya:
Sebelumnya kita menjawabnya marilah kita melihat sejarah yang terjadi pada tanah arab terlebih dahulu.
Pada tahun 1924-1925  Hijaz  ditaklukkan oleh Ibnu Saud dan beliau memproklamasikan berdirinya kerajaan Arab Saudi. Mulai saat itu, pemerintahan melarang  kegiatan dan organisasi aliran tasawuf  yang ada sehingga wajar mulai saat itu kelompok shufiy kehilangan pengaruh di Arab Saudi.
Sedangkan Sayyid Alawi meninggal pada tahun 1971 setelah mengajar di masjidil haram selama 40 tahun (berati beliau mulai mengajar kurang lebih tahun 1930-an). 
Dan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di lahir pada tahun 1886 M dan mulai membuka pelajaran pada umur 23 tahun (mungkin sekitar tahun 1898-1899 M) dan pada tahun 1950 beliau tertimpa sakit dan meninggal pada tahun 1955 M.
Jika kita memperhitungkan maka ada kemungkinan kisah itu terjadi di antara 1930-1950 M atau sampai 1955 M, dan tidak mungkin terjadi sebelum tahun 1930 karena saat itu Sayyid Alawi belum mengajar di Masjidil Haram, dan tidak mungkin terjadi setelah tahun 1955 M setelah Syaikh as-Sa’diy meninggal dunia.
Dari data-data yang saya sampaikan, maka pertanyaan penulis bahwa “Mengapa kisah ini tidak menyebar saat kelompok shufiy memiliki peran di Makkah, dan baru menyebar pada hari ini saat kelompok shufiy tidak memiliki peran” adalah pertanyaan yang aneh bahkan bisa dikatakan lucu (kalau tidak mau dikatakan ajaib), karena saat kisah ini terjadi (antara 1930-1955 M) orang-orang sufi saat itu sudah tidak punya pengaruh lagi di Arab Saudi.
Saya persilakan kepada para pembaca untuk memikirkan dan hal ini merenungkannya dengan jernih dan tanpa disertai hawa nafsu.

Kedua, ucapan penulis: Mengapa orang-orang Hadhramaut tidak mengetahui kisah ini sejak hari itu sementara Hadramaut adalah markas Syufiy, sementara orang-orang Indonesia mengetahuinya belakangan ini?
Komentar saya:
Hal ini mungkin saja terjadi, karena Sayyid Alawi memiliki banyak murid yang berasal dari asia tenggara terutama di Indonesia, dan yang perlu diingat pula bahwa saat itu aliran sufi pun berkemabang pesat di Indonesia.
Sedangkan mengapa orang-orang Hadramaut yang menurut penulis tidak mengetahui ksah ini, ini pun dapat dibenarkan dengan dalil dan logika.
Jika kita membaca kitab-kitab ulumul hadits, kita akan tahu ada sebagian hadits yang hanya diketahui di daerah tertentu atau diriwayatkan dari kota atau perowi tertentu, dan para ulama hadits menerima hadits ini jika memang sanadnya sohih. 
Apakah dengan demikian kita akan menolak hadits-hadits semacam ini sama sekali?
Saya rasa tidak ada satu ulama pun yang akan berpendapat seperti ini.
Demikian pula sebagian amalan dalam fiqih hanya diketahui dan berkembang suatu dareah tertentu, contohnya talqin jenazah setelah meninggal dunia hanya diamalkan di penduduk kota Syam si awal-awal  Islam dan mereka pun meriwayatkan hadisnya. Para ulama pun berbeda pendapat tentang hadits talqin ini ada yang melemahkannya ada pula yang menganggapnya baik.
(lihat talkhisul khobir hal 135 juz 1 dan kasyful khofa hala 376-377 juz 1)
Apakah dengan demikian kita menolak adanya talqin mayyit ini karena hanya dikenal di kota Syam saja?
Dari uraian singkat tadi, jelaslah perkataan penulis bantahan tadi tidak dapat dijadikan sebagai dalil yang kuat untuk mendustakan cerita ini.

Ketiga, ucapan penulis: Bukankah termasuk aneh, tidak ada seorang pun yang mengetahui kisah ini dari waktu kejadiannya, dan sepanjang masa itu, kemudian menjadi terkenal dan dikenal setelah kurang lebih enam puluh tahun setelah kejadiannya? …
Komentar saya:
Hal ini mungkin saja terjadi, seperti yang terjadi pada para ulama sebelum kita.
Contoh yang paling terkenal adalah kisah hilangnya kitab tafsir ath-Thabari dari umat Islam, yang telah dikenal para ulama zaman dahulu hingga ditemukan manuskripnya pada Amir Hamud bin Abdirrasyid dari Najd.
Demikian pula, pada zaman sekarang kita masih banyak kehilangan kitab-kitab karya ulama zaman dahulu dan belum ditemukan, apakah dengan demikian kita mendustakan keberadaan kitab-kitab tersebut.
Jika dalam masalah kitab karangan ulama yang sudah banyak dijelaskan keberadaannya oleh banyak ulama kita masih banyak kehilangan naskah dan beritanya, apalagi suatu kisah yang sering tidak ditulis dalam suatu buku dan  hanya berdasarkan ingatan orang yang menyaksikan.

Ke empat: ucapan penulis, Mengapa kisah ini tidak keluar pada masa hidupnya as-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah, lalu keluar setelah wafat beliau sementara beliau adalah saksi terakhir atas kisah tersebut sesuai dengan riwayat yang telah diterjemah?
Komentar saya:
Darimana penulis bantahan tahu dengan pasti bahwa kisah ini tidak keluar pada masa hidupnya as-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah pada salah satu atau sebagian murid-muridnya?
Apakah ia selalu bersama dengan beliau, selalu mengikuti majlis beliau, atau ada pengakuan langsung dari beliau tentang ketidak benaran cerita ini ?
Para pembaca yang kritis tentu akan mengetahui bahwa ini hanyalah persangkaan atau pengakuan penulisan bantahan sendiri yang tanpa disertai dengan dalil atau bukti yang nyata.
Sebagai satu contoh lagi, para pembaca pasti sering mendengar kisah-kisah dari para wali Allah, yang banyak dari kisah menjadi terkenal setelah mereka meninggal dunia. Apakah dengan jika kisah ini tidak diceritakan sewaktu mereka masih hidup, berarti kisah ini bohong atau dusta ?

Kelima, ucapan penulis: Mengapa Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah tidak memberikan wasiat kepada anak-anaknya sebagaimana dia telah belajar dari gurunya as-Sayyid ‘Alawiy Maliki dalam kehidupannya, atau setelah kematiannya agar mereka mandi dari air hujan yang turun dari talang Ka’bah. Mengapa beliau menjadikan keutamaan ini hilang dari mereka?
Komentar saya:
Menurut saya inilah salah satu pikiran yang aneh dari penulis bantahan, karena seolah-seolah as-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah harus berwasiat tentang masalah ini kepada anak-anaknya untuk membuktikan kebenaran kisah ini. Jika ia tidak berwasiat, maka kisah ini menurut penulis bantahan pasti tidak benar.
Saya tidak tahu, ia mengambil istimbath ini dari mana, karena jika kita lihat masalah wasiat adalah hak perogratif dari orang yang mau memberikan wasiat, bukan hak orang lain. Dan biasanya jika para ulama dan orang yang saleh akan meninggal dunia ia akan mewasiatkan sesuatu yang dianggapnya paling penting, misalnya pesan agar anak-anaknya bertakwa atau yang lainnya. Jadi seandainya beliau tidak berwasiat tentang masalah ini, ini adalah hal yang wajar, karena beliau mementingkan perkara yang paling utama menurut beliau di antara perkara-perkara yang lain.

Ke enam, ucapan penulis: As-Sayyid ‘Alawiy Maliki dulu tinggal di distrik yang persis bersebelahan dengan kami, yaitu distrik al-‘Utaibah, dan kisah ini sama sekali tidak pernah diketahui dari orang-orang tua di distrik al-‘Utaibah, atau penduduk distrik al-Hujun yang bersebelahan dengannya dari majelis-majelis mereka. Lalu bagaimana kisah tersebut tidak menyebar di distrik yang as-Sayyid ‘Alawiy Maliki tinggal di sana, serta menyampaikan kajian di dalamnya lalu bisa menyebar di Indonesia? Demikian juga mengapa penduduk Makkah yang kejadian itu terjadi di sana tidak mengetahuinya, lantas orang-orang Indonesia  justru yang mengetahuinya?
Komentar saya:
Menurut saya salah satu kemungkinan sebab kenapa kisah ini tidak tersebar di distrik al-‘Utaibah atau di disrik as-Sayyid ‘Alawi Maliki dan justru tersebar di Indonesia, karena  bisa jadi pemerintah Arab Saudi saat itu menutup-nutupi peristiwa tersebut karena tidak sesuai dengan kepercayaan (aqidah) mereka. Karena setahu saya, pemerintahan Arab Saudi itu begitu keras dalam menerapkan peraturan mereka sehingga kitab-kitab  atau buku-buku yang tidak sesuai dengan kepercayaan mereka tidak boleh diterbitkan atau disebarkan  di sana, meskipun itu berasal dari warga negara mereka sendiri.  Contohnya bisa para pembaca lihat pada putra Sayyid Alawi sendiri yaitu Sayid Muhammad, dimana kitab-kitabnya yang bagus dan ilmiah yang dilarang beredar di sana hingga beliau dilarang mengajar di Masjidil Haram dan Universitas karena di anggap memiliki kepercayaan yang berbeda.
Jika terhadap ulama dan kitab yang tidak sejalan dengan kepercayaan pemerintah saja mereka bisa berbuat hingga sejauh itu, apalagi hanya pada suatu peristiwa yang dengan mudah bisa ditutupi atau dianggap dusta.


Ke tujuh, ucapan penulis: Maka sesungguhnya jika demikian, lalu mengapa putranya, yaitu as-Sayyid Muhammad ‘Alawiy tidak pernah meriwayatkannya sepanjang hidupnya, sementara dia adalah orang yang paling tahu tentang ayahandanya

Komentar saya:
Menurut saya, alasan mengapa as-Sayyid Muhammad ‘Alawiy tidak pernah meriwayatkannya sepanjang hidupnya (jika memang ini benar sesuai dengan persangkaan penulis bantahan) , karena jika kita membaca dan mengamati buku-buku karya beliau, maka kita akan tahu beliau adalah orang ilmiah dan selalu memberikan bukti-bukti yang kuat berdasarkan al-Quran dan Hadits  dalam setiap pendapat yang disampaikan beliau.
Selain itu, mungkin beliau menyadari, bahwa orang-orang yang beliau hadapi tidak akan percaya jika beliau hanya menyampaikan suatu kisah saja karena setahu saya banyak di antara  penentang beliau yang tidak mempercayai akan kekeramatan wali Allah.
Jadi wajar saja beliau tidak menyampaikan kisah ini kepada orang-orang tersebut.


Ke delapan, ucapan penulis: Jika kisah ini benar, maka bagaimana kisah ini bisa hilang dari orang-orang shufiah untuk kemudian mereka bisa menggunakannya, merekamnya dengan suara as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sendiri agar menjadi bukti-bukti kemenangan mereka atas pengikut manhaj salaf (wahhabiy)? Dan perlu diketahui bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki telah wafat pada tahun 1971 M, dan kala itu kamera video telah banyak, maka mengapa para pengikutnya tidak merekam realitas ini kemudian menetapkannya untuk sejarah?

Komentar saya:
Dari perkataan penulis ini, para pembaca akan mengetahui ketidak tahuannya tentang sejarah kisah yang ia bicarakan.
Seperti yang terangkan sebelumnya kisah ini terjadi diantara tahun 1930-1955 M. Kita harus ingat, Syaikh as-Sa’di meninggal di tahun 1955.
Sedangkan kamera video yang bisa merekam gambar dan suara baru berhasil diciptakan  oleh Philips dan Sony pada tahun 1979.
Jadi bagaimana mungkin orang-orang saat itu (1930-1955 M) merekam kisah itu dengan alat yang baru ditemukan beberapa puluh tahun berikutnya (1979 M)
Selain itu perkataan penulis yang menyatakan “as-Sayyid ‘Alawiy Maliki telah wafat pada tahun 1971 M, dan kala itu kamera video telah banyak” menunjukkan kerancuannya dalam pengambilan dalil yang tidak sesuai dengan sejarah dan terkesan sembarangan.
Dari bukti-bukti yang saya sebutkan di atas, tuduhannya bahwa kisah ini adalah fiktif  adalah tuduhan yang berdasarkan persangkaan penulis saja tanpa dalil-dalil yang kuat.
  
Kedelapan, ucapan penulis: Saya tutup bagian ini bahwa Sang Pengarang yang dusta tidak memberikan tanggal bagi kita akan waktu terjadinya kejadian itu jika benar. Jika tidak, seandainya dia menyebut tanggal begitu saja, maka pekara dia akan terbongkar dengan mudah.

Komentar saya:
Kisah atau cerita yang disebutkan dalam suatu kitab tanpa disertai tanggal atau waktu kejadian, tidaklah secara otomatis  membuat kisah atau cerita lemah atau fiktif. Jika kita lihat dalam kitab-kitab tafsir, hadits, sejarah atau biografi seseorang, sering kita dapati kisah-kisah atau cerita-cerita yang tidak disertai dengan tanggal atau waktu kejadiannya.
Apakah dengan demikian kita lalu melemahkan atau mendustakan kisah atau cerita tersebut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar